Langkah Max dan Gabriella terhenti ketika mata mereka menangkap bayangan seseorang yang tak terduga. Suasana yang sebelumnya hangat seketika berubah beku. Tidak ada lagi percakapan ataupun desah tawa yang mengudara. Keheningan telah menemani pasangan yang berdiri diam menyambut sang tamu.
“Apa kabar, Max?” sapa orang itu dengan sudut bibir yang terangkat kaku.
Mendengar nada sok akrab itu, pria yang masih menggandeng tangan istrinya sontak mendengus. “Ada apa kau datang kemari? Apakah kau dikirim oleh ayahmu untuk membunuhku secara langsung?” balasnya sinis.
Dengan raut bersalah, tamu yang tidak diundang itu menggeleng. “Bukan begitu. Aku datang ke sini atas kemauanku sendiri.”
“Untuk apa?” tanya Max seolah tak mengenal kata ramah.
Bukannya mengutarakan maksud kedatangan, pria dengan kerut alis resah itu malah berkedip-kedip mencari keberanian. Lelah menunggu, Max akhirnya menarik tangan sang istri untuk ikut melangkah bersamanya.
“Jik
Begitu pintu kamar tertutup rapat, Max akhirnya melepas tangan sang istri. Pria itu terlihat kesulitan mengatur napas. Sesak dalam dada telah menjadi duri bagi jantungnya. “Max, apakah kau baik-baik saja?” tanya Gabriella dengan penuh keraguan. Bahkan, tangannya pun maju mundur hendak menyentuh lengan sang suami. Setelah membasahi kerongkongannya yang gersang dan mendongak menahan air mata, pria itu menarik napas cepat. “Rasanya sakit sekali, Gaby,” sahutnya sambil memukul dada, berharap jika paru-paru dapat kembali normal. Malangnya, udara di sekitar malah semakin berat, mendesak kesedihan untuk tumpah dari pelupuknya. “Kita sudah menjauh dari mereka, tapi kenapa mereka malah meminta kita kembali dengan alasan yang tidak masuk akal seperti itu? Apakah mereka tidak bisa membiarkan kita hidup damai?” “Max,” desah Gabriella dengan mata yang ikut berkaca-kaca. Wanita itu dapat merasakan kesakitan suaminya. Sang pria telah bersusah payah menata hati yang
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Gabriella sembari mengintip pekerjaan suaminya. Mendapat perhatian dari sang istri, pria yang semula mengerutkan alis pun langsung tersenyum. “Mengurusi hal-hal yang sempat tertunda,” sahut Max sebelum mengecup kening istrinya. “Ada apa?” Bibir sang wanita perlahan mengerucut. “Bisakah kau meninggalkan pekerjaanmu lagi hari ini? Mia sedang berada di sini. Bagaimana kalau kita mengajaknya berjalan-jalan? Itu akan menyenangkan.” Hanya dalam sekejap, lengkung bibir Max berubah kaku. Setelah memiringkan kepala, ia menyipitkan mata. “Apakah dia yang mengusulkan ide ini kepadamu?” “Kenapa kau jadi mudah curiga seperti ini? Tentu saja tidak. Ini sepenuhnya ideku. Kasihan dia jika jauh-jauh datang kemari hanya untuk memasak,” celetuk Gabriella dengan tampang lugu. Melihat kejujuran di mata sang istri, sang pria sontak bersandar di kursi dan mendesah. “Memangnya, kau mau mengajaknya ke mana?” Bola ma
“Akulah anak haram yang sesungguhnya, Max. Bukan kau,” ucap Julian sebelum menelan ludah yang sangat tajam. “Karena takut akan dibuang, aku mengarang cerita yang membuat Papa percaya bahwa kau bukan anaknya.” Usai memberi pengakuan, pria itu terisak semakin hebat. Kerongkongannya yang menyempit kini terasa membara. “Maafkan aku, Max. Aku tidak menduga kalau kebohonganku akan melaju sampai sejauh ini.” Di tengah tangis sang kakak, Max tiba-tiba tertawa hambar. Dengan mata berkaca-kaca, ia membuang muka. “Dasar bodoh,” gumamnya sukses membuat kedipan mata Julian tertahan. “Kenapa kau tertawa? Aku tidak berbohong, Max. Kau adalah anak kandung Herbert. Kaulah bagian dari keluarga Evans yang sebenarnya,” terang sang kakak dengan suara serak. “Aku sudah tahu.” Mendengar pernyataan tersebut, tangis Julian mendadak terhenti. Setelah beberapa kali menarik napas, mengirim oksigen untuk menjernihkan pikiran, pria itu menggeleng-geleng meminta penjelasan.
“Menyingkirlah, kau menghalangi jalanku,” ucap Max dingin dan datar. Mendengar suara yang tak terduga itu, Julian pun mendongak dan menaikkan alis. Tanpa membuang waktu, pria itu berlutut di hadapan sang adik. “Aku tahu kalau kesalahanku terlalu besar untuk bisa dimaafkan. Tidak apa-apa jika kau tidak mau memberi maaf. Tapi kumohon, untuk satu kali ini saja, dengarkan perkataanku. Pulanglah, temui Papa! Dia sangat ingin bertemu denganmu.” Alih-alih membalas tatapan sang kakak, Max malah membuang muka dan mendengus. “Sungguh tidak konsisten. Sepuluh detik yang lalu, kau memohon maaf dariku. Sekarang, kau malah meminta hal lain?” “Karena kondisi Papa sangat kritis, Max. Aku tidak mau dia pergi tanpa sempat memandangmu sebagai anak kandungnya. Aku tidak akan sanggup menanggung penyesalan itu,” terang Julian dengan tangan terkepal erat. Untuk pertama kalinya, Max menyaksikan sang kakak mengesampingkan ego. Untuk pertama kalinya pula, pria pengecut
“Max?” panggil Gabriella saat mendapati rumah yang sepi. Dengan mata terbuka waspada, wanita itu masuk memeriksa meja kerja sang suami. Alih-alih mendapati Max, ia malah disambut oleh isak tangis Julian. Melihat pria bermata merah itu meratapi penyesalan, jantung sang wanita seketika berdebar. “Di mana Max?” tanyanya dengan mata bulat dan napas menderu. Alih-alih menjawab, Julian malah menumpahkan air mata lebih deras dan menjatuhkan lutut ke lantai. “Maafkan aku, Gabriella. Aku sungguh menyesal atas kemalangan yang menimpamu.” “Kemalangan apa?” tanya wanita dengan suara yang lebih tinggi. “Aku menyesal telah mendukung rencana ayahku untuk menjatuhkan Max. Jika saja aku menentangnya, Max tidak akan diusir dari perusahaan dan mengalami kecelakaan. Kalian tidak akan pindah ke sini dan masih bisa bersama buah hati kalian.” Gabriella menatap Mia yang juga mengerutkan alis. Setelah membaca kebingungan yang sama, ia kembali menghadap kakak i
Sambil menahan gemuruh dalam dada, Max melangkah cepat menuju ruang ICU. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan kalimat apa yang harus dikatakan ketika tiba di hadapan sang ayah. Haruskah ia menyapa, mengatakan semua akan baik-baik saja, atau memberi maaf? Tidak ada yang terasa tepat untuk mewakili perasaannya. “Tuan,” panggil Minnie saat menyadari kedatangan sang pria. Dengan mata yang berkaca-kaca, wanita itu menunjuk ke arah pintu. “Ayah Anda sudah menunggu.” Tanpa sempat mengucap terima kasih, Max mengangguk dan bergegas menuju pintu. Langkahnya begitu cepat. Ia tidak pernah menghadapi momen yang semenegangkan itu seumur hidup. Namun, saat pintu terbuka, gerak kakinya tiba-tiba melambat. Udara di sekitar telah bertambah berat. Butuh usaha lebih untuk Max mampu menembusnya. Setelah menarik napas cepat dan mengepalkan tangan erat-erat, barulah ia menjejaki kamar Herbert. Pada detik pertama matanya menangkap bayangan sang ayah, napasnya mendadak tertah
Max tidak bisa berdiam diri. Ia terus berjalan mondar-mandir sambil mencengkeram kepala. Sesekali, ia mendesah, berharap tekanan dalam dada dapat berkurang. Malangnya, ketakutan dalam benaknya malah semakin tergambar jelas. “Max,” desah Gabriella yang tak tega melihat kerisauan suaminya. Mendengar suara lirih wanita itu, sang pria akhirnya mengubah haluan dan berhenti di pelukan istrinya. “Bagaimana ini, Gaby? Masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan dengan Papa. Kita belum menceritakan tentang Pangeran Kecil, belum juga mengucapkan terima kasih. Aku bahkan baru satu menit memeluknya,” bisik Max menumpahkan kegundahan. Mendapat pengakuan semacam itu, alis sang wanita berkerut semakin dalam. Dengan lembut, ia mengusap punggung suaminya. “Kita berdoa saja semoga Papa bisa bertahan, Max,” ucap Gabriella pelan. Wanita itu tidak tahu apakah kata-katanya berguna, tetapi ia tidak bisa diam saja. “Aku seharusnya datang menemuinya lebih awal, Gab
“Jadi, hasil evaluasi medis saya memenuhi persyaratan, Dok?” tanya Max dengan alis terangkat maksimal. “Ya,” angguk sang dokter tegas. “Saya akan mempersiapkan operasi transplantasi untuk Tuan Herbert secepatnya.” Helaan napas lega sontak berembus ke udara. Sedetik kemudian, Max menoleh ke arah wanita yang masih menggenggam tangannya dengan erat. “Jangan khawatir, Gaby. Aku akan tetap baik-baik saja,” ucap pria yang mengetahui arti di balik lengkung bibir kaku sang istri. “Benar, Nyonya. Anda tidak perlu cemas. Suami Anda memiliki tubuh yang fit. Mendonorkan sebagian kecil dari hatinya tidak akan menimbulkan masalah,” tutur sang dokter meyakinkan. Dengan bibir yang agak mengerucut, Gabriella akhirnya melepas tekanan dalam paru-parunya. “Kuharap operasi ini akan berjalan lancar,” ucapnya kemudian. Max sontak membelai dan mengecup kepala istrinya. “Amin. Sekarang, bagaimana kalau kita mengunjungi Papa? Aku ingin menemuinya sebelum pulang dan ber