“Akulah anak haram yang sesungguhnya, Max. Bukan kau,” ucap Julian sebelum menelan ludah yang sangat tajam. “Karena takut akan dibuang, aku mengarang cerita yang membuat Papa percaya bahwa kau bukan anaknya.”
Usai memberi pengakuan, pria itu terisak semakin hebat. Kerongkongannya yang menyempit kini terasa membara. “Maafkan aku, Max. Aku tidak menduga kalau kebohonganku akan melaju sampai sejauh ini.”
Di tengah tangis sang kakak, Max tiba-tiba tertawa hambar. Dengan mata berkaca-kaca, ia membuang muka. “Dasar bodoh,” gumamnya sukses membuat kedipan mata Julian tertahan.
“Kenapa kau tertawa? Aku tidak berbohong, Max. Kau adalah anak kandung Herbert. Kaulah bagian dari keluarga Evans yang sebenarnya,” terang sang kakak dengan suara serak.
“Aku sudah tahu.”
Mendengar pernyataan tersebut, tangis Julian mendadak terhenti. Setelah beberapa kali menarik napas, mengirim oksigen untuk menjernihkan pikiran, pria itu menggeleng-geleng meminta penjelasan.
“Menyingkirlah, kau menghalangi jalanku,” ucap Max dingin dan datar. Mendengar suara yang tak terduga itu, Julian pun mendongak dan menaikkan alis. Tanpa membuang waktu, pria itu berlutut di hadapan sang adik. “Aku tahu kalau kesalahanku terlalu besar untuk bisa dimaafkan. Tidak apa-apa jika kau tidak mau memberi maaf. Tapi kumohon, untuk satu kali ini saja, dengarkan perkataanku. Pulanglah, temui Papa! Dia sangat ingin bertemu denganmu.” Alih-alih membalas tatapan sang kakak, Max malah membuang muka dan mendengus. “Sungguh tidak konsisten. Sepuluh detik yang lalu, kau memohon maaf dariku. Sekarang, kau malah meminta hal lain?” “Karena kondisi Papa sangat kritis, Max. Aku tidak mau dia pergi tanpa sempat memandangmu sebagai anak kandungnya. Aku tidak akan sanggup menanggung penyesalan itu,” terang Julian dengan tangan terkepal erat. Untuk pertama kalinya, Max menyaksikan sang kakak mengesampingkan ego. Untuk pertama kalinya pula, pria pengecut
“Max?” panggil Gabriella saat mendapati rumah yang sepi. Dengan mata terbuka waspada, wanita itu masuk memeriksa meja kerja sang suami. Alih-alih mendapati Max, ia malah disambut oleh isak tangis Julian. Melihat pria bermata merah itu meratapi penyesalan, jantung sang wanita seketika berdebar. “Di mana Max?” tanyanya dengan mata bulat dan napas menderu. Alih-alih menjawab, Julian malah menumpahkan air mata lebih deras dan menjatuhkan lutut ke lantai. “Maafkan aku, Gabriella. Aku sungguh menyesal atas kemalangan yang menimpamu.” “Kemalangan apa?” tanya wanita dengan suara yang lebih tinggi. “Aku menyesal telah mendukung rencana ayahku untuk menjatuhkan Max. Jika saja aku menentangnya, Max tidak akan diusir dari perusahaan dan mengalami kecelakaan. Kalian tidak akan pindah ke sini dan masih bisa bersama buah hati kalian.” Gabriella menatap Mia yang juga mengerutkan alis. Setelah membaca kebingungan yang sama, ia kembali menghadap kakak i
Sambil menahan gemuruh dalam dada, Max melangkah cepat menuju ruang ICU. Sepanjang jalan, ia terus memikirkan kalimat apa yang harus dikatakan ketika tiba di hadapan sang ayah. Haruskah ia menyapa, mengatakan semua akan baik-baik saja, atau memberi maaf? Tidak ada yang terasa tepat untuk mewakili perasaannya. “Tuan,” panggil Minnie saat menyadari kedatangan sang pria. Dengan mata yang berkaca-kaca, wanita itu menunjuk ke arah pintu. “Ayah Anda sudah menunggu.” Tanpa sempat mengucap terima kasih, Max mengangguk dan bergegas menuju pintu. Langkahnya begitu cepat. Ia tidak pernah menghadapi momen yang semenegangkan itu seumur hidup. Namun, saat pintu terbuka, gerak kakinya tiba-tiba melambat. Udara di sekitar telah bertambah berat. Butuh usaha lebih untuk Max mampu menembusnya. Setelah menarik napas cepat dan mengepalkan tangan erat-erat, barulah ia menjejaki kamar Herbert. Pada detik pertama matanya menangkap bayangan sang ayah, napasnya mendadak tertah
Max tidak bisa berdiam diri. Ia terus berjalan mondar-mandir sambil mencengkeram kepala. Sesekali, ia mendesah, berharap tekanan dalam dada dapat berkurang. Malangnya, ketakutan dalam benaknya malah semakin tergambar jelas. “Max,” desah Gabriella yang tak tega melihat kerisauan suaminya. Mendengar suara lirih wanita itu, sang pria akhirnya mengubah haluan dan berhenti di pelukan istrinya. “Bagaimana ini, Gaby? Masih ada banyak hal yang harus kita bicarakan dengan Papa. Kita belum menceritakan tentang Pangeran Kecil, belum juga mengucapkan terima kasih. Aku bahkan baru satu menit memeluknya,” bisik Max menumpahkan kegundahan. Mendapat pengakuan semacam itu, alis sang wanita berkerut semakin dalam. Dengan lembut, ia mengusap punggung suaminya. “Kita berdoa saja semoga Papa bisa bertahan, Max,” ucap Gabriella pelan. Wanita itu tidak tahu apakah kata-katanya berguna, tetapi ia tidak bisa diam saja. “Aku seharusnya datang menemuinya lebih awal, Gab
“Jadi, hasil evaluasi medis saya memenuhi persyaratan, Dok?” tanya Max dengan alis terangkat maksimal. “Ya,” angguk sang dokter tegas. “Saya akan mempersiapkan operasi transplantasi untuk Tuan Herbert secepatnya.” Helaan napas lega sontak berembus ke udara. Sedetik kemudian, Max menoleh ke arah wanita yang masih menggenggam tangannya dengan erat. “Jangan khawatir, Gaby. Aku akan tetap baik-baik saja,” ucap pria yang mengetahui arti di balik lengkung bibir kaku sang istri. “Benar, Nyonya. Anda tidak perlu cemas. Suami Anda memiliki tubuh yang fit. Mendonorkan sebagian kecil dari hatinya tidak akan menimbulkan masalah,” tutur sang dokter meyakinkan. Dengan bibir yang agak mengerucut, Gabriella akhirnya melepas tekanan dalam paru-parunya. “Kuharap operasi ini akan berjalan lancar,” ucapnya kemudian. Max sontak membelai dan mengecup kepala istrinya. “Amin. Sekarang, bagaimana kalau kita mengunjungi Papa? Aku ingin menemuinya sebelum pulang dan ber
“Tenang saja, Gaby. Aku akan kembali menemuimu,” ujar Max kepada wanita yang sedang berjuang menahan air mata. Kasurnya sudah hampir tiba di pintu, tetapi sang istri masih enggan melepas tangannya. “Kau harus bangun seperti sediakala,” bisik Gabriella dengan alis yang terus berkerut. “Ya. Lalu, kita akan segera mengundang Pangeran Kecil,” timpal sang pria dengan senyum tipis. Ketika pintu menuju ruang operasi terbuka, Gabriella akhirnya mengendurkan genggaman. Dengan berat hati, ia menyaksikan sang suami didorong menjauh sampai pandangannya terhalang oleh pintu. “Nyonya, tidak perlu cemas. Tuan Max pasti akan baik-baik saja,” ucap Minnie sambil bergeser ke sisi sang wanita. “Entah mengapa, perasaanku tidak enak, Bi,” aku Gabriella dengan tampang kaku. “Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya. Anda terlalu mencintai Tuan sehingga kekhawatiran menjadi berlebihan,” celetuk Mia membantu ibunya menenangkan Gabriella. Melihat dukungan d
“Ada apa, Nyonya?” tanya Mia dengan kerut alis tak mengerti. Tanpa memberikan jawaban, Gabriella berjalan dengan membawa tas yang berisi banyak “senjata”. Namun, belum jauh ia melangkah, sang sekretaris telah menahan lajunya. “Nyonya mau ke mana?” tanya gadis itu masih dengan raut bingung. “Seseorang mengirimkan pesan aneh,” sela Minnie dengan tangan saling meremas. “Ya, dan aku harus menangkapnya,” celetuk Gabriella sebelum kembali mengayunkan kaki. Akan tetapi, baru satu langkah ia maju, sang sekretaris telah menariknya mundur. “Tolong jangan gegabah, Nyonya,” ucap Mia dengan kerutan kecil di pangkal alisnya. Sedetik kemudian, gadis itu merebut ponsel sang wanita dan memeriksa pesan yang dimaksud. Selang satu kedipan, helaan napas cepat berembus dari mulutnya. “Siapa lagi ini?” gumamnya sebelum menggertakkan gigi. “Itu pasti penjahat yang telah menyerang Max, Mia. Aku harus menghentikannya,” ujar Gabriella sembari men
“Benarkah?” seru Gabriella dengan nada gembira. Setelah mendapat konfirmasi dari seberang ponsel, wanita itu melirik ke arah sang suami dengan mata berbinar-binar. Selang beberapa saat, ia mendesah lega dan mengangguk ringan. “Baiklah, terima kasih, Bi.” Begitu sang istri menurunkan ponsel, Max langsung meraih tangan istrinya. “Apakah operasi Papa sudah selesai?” tanyanya penuh harap. “Ya. Operasinya berjalan lancar. Saat ini, Papa sedang dipindahkan ke ruang ICU. Jika hasil pemantauan untuk beberapa hari ke depan baik, Papa sudah bisa pulang,” terang Gabriella dengan lengkung bibir yang lebar. “Semoga saja tubuh Papa bisa menerima hatiku dan tidak ada komplikasi yang terjadi,” gumam Max memanjatkan doa. Sang wanita pun mengangguk, mengamini. Ia senang karena kekhawatirannya ternyata tidak terbukti. “Sekarang tidurlah. Kau butuh istirahat yang banyak,” ucapnya sembari membelai pipi sang suami. Tiba-tiba, ekspresi Max berubah datar. Sel