“Tenang saja, Gaby. Aku akan kembali menemuimu,” ujar Max kepada wanita yang sedang berjuang menahan air mata. Kasurnya sudah hampir tiba di pintu, tetapi sang istri masih enggan melepas tangannya.
“Kau harus bangun seperti sediakala,” bisik Gabriella dengan alis yang terus berkerut.
“Ya. Lalu, kita akan segera mengundang Pangeran Kecil,” timpal sang pria dengan senyum tipis.
Ketika pintu menuju ruang operasi terbuka, Gabriella akhirnya mengendurkan genggaman. Dengan berat hati, ia menyaksikan sang suami didorong menjauh sampai pandangannya terhalang oleh pintu.
“Nyonya, tidak perlu cemas. Tuan Max pasti akan baik-baik saja,” ucap Minnie sambil bergeser ke sisi sang wanita.
“Entah mengapa, perasaanku tidak enak, Bi,” aku Gabriella dengan tampang kaku.
“Itu hanya perasaan Anda saja, Nyonya. Anda terlalu mencintai Tuan sehingga kekhawatiran menjadi berlebihan,” celetuk Mia membantu ibunya menenangkan Gabriella.
Melihat dukungan d
“Ada apa, Nyonya?” tanya Mia dengan kerut alis tak mengerti. Tanpa memberikan jawaban, Gabriella berjalan dengan membawa tas yang berisi banyak “senjata”. Namun, belum jauh ia melangkah, sang sekretaris telah menahan lajunya. “Nyonya mau ke mana?” tanya gadis itu masih dengan raut bingung. “Seseorang mengirimkan pesan aneh,” sela Minnie dengan tangan saling meremas. “Ya, dan aku harus menangkapnya,” celetuk Gabriella sebelum kembali mengayunkan kaki. Akan tetapi, baru satu langkah ia maju, sang sekretaris telah menariknya mundur. “Tolong jangan gegabah, Nyonya,” ucap Mia dengan kerutan kecil di pangkal alisnya. Sedetik kemudian, gadis itu merebut ponsel sang wanita dan memeriksa pesan yang dimaksud. Selang satu kedipan, helaan napas cepat berembus dari mulutnya. “Siapa lagi ini?” gumamnya sebelum menggertakkan gigi. “Itu pasti penjahat yang telah menyerang Max, Mia. Aku harus menghentikannya,” ujar Gabriella sembari men
“Benarkah?” seru Gabriella dengan nada gembira. Setelah mendapat konfirmasi dari seberang ponsel, wanita itu melirik ke arah sang suami dengan mata berbinar-binar. Selang beberapa saat, ia mendesah lega dan mengangguk ringan. “Baiklah, terima kasih, Bi.” Begitu sang istri menurunkan ponsel, Max langsung meraih tangan istrinya. “Apakah operasi Papa sudah selesai?” tanyanya penuh harap. “Ya. Operasinya berjalan lancar. Saat ini, Papa sedang dipindahkan ke ruang ICU. Jika hasil pemantauan untuk beberapa hari ke depan baik, Papa sudah bisa pulang,” terang Gabriella dengan lengkung bibir yang lebar. “Semoga saja tubuh Papa bisa menerima hatiku dan tidak ada komplikasi yang terjadi,” gumam Max memanjatkan doa. Sang wanita pun mengangguk, mengamini. Ia senang karena kekhawatirannya ternyata tidak terbukti. “Sekarang tidurlah. Kau butuh istirahat yang banyak,” ucapnya sembari membelai pipi sang suami. Tiba-tiba, ekspresi Max berubah datar. Sel
“Kau tidak perlu mengarang cerita, Mia. Aku baru saja menghentikan mobil di parkiran. Sebentar lagi, kau bisa melihatku berdiri di hadapanmu. Aku sudah bukan pengecut lagi, kau tahu?” celetuk Julian sebelum membuka sabuk pengaman. Mendengar respon sang CEO yang begitu santai, Mia semakin terdesak menuju keputusasaan. Dengan kerongkongan yang menyempit, ia berkata, “Ini bukan soal keberanian Anda lagi, Tuan, melainkan nyawa Nyonya Evans.” Meragukan pendengarannya, Julian pun bergeming dan mengerutkan alis. Samar-samar, telinganya mulai mendeteksi isak tangis dari ponsel seberang. “Saya mohon, selamatkan Nyonya, Tuan ...” desah sang sekretaris dengan suara bergetar. “Saya tidak mungkin memberitahu Tuan Max. Dia akan panik kalau tahu istrinya hilang. Saya hanya menemukan tas Nyonya dan pulpen yang telah berlumuran darah.” Mengetahui keseriusan sang sekretaris, Julian sontak menelan ludah. Dengan tangan mencengkeram erat roda kemudi, pria itu memaksa otak
“Tidak,” erang Julian sembari menekan perutnya. Dengan susah payah, ia berjalan menggapai pundak si penjahat. “Jangan ....” Merasa kesal, No Name pun berbalik dan menepis tangan Julian dari tubuhnya. “Ternyata, kau memang mementingkan perempuan ini daripada nyawamu, huh?” Tanpa sedikit pun iba, pria itu melayangkan tinju ke rahang si penghambat. Selagi lawannya terhuyung-huyung, ia kembali mendekati Gabriella. Merasa tenaganya banyak terkikis, Julian akhirnya menyergap si penjahat dengan kedua lengannya. Dengan segenap usaha, ia menyeret leher pria itu untuk mundur dari sang wanita. “Ternyata, kau gigih juga, huh?” ucap No Name dengan suara yang tak jelas. Sedetik kemudian, ia menyerang pinggang orang di balik punggungnya. Erangan tertahan sontak bergema, menggetarkan udara. “Apakah kau masih mau bermain?” tantang pria berbadan besar itu sembari kembali memutar gagang dalam genggamannya. Bukannya mengendur, Julian malah mengeratkan kun
“Kenapa Gabriella dan Mia lama sekali? Ke mana mereka pergi?” gerutu Max sembari terus menatap pintu dan jam dinding secara bergantian. “Apakah mereka sengaja membuatku menunggu sendirian?” desah pria yang tidak bisa menguraikan kerutan di alis. Sesuatu telah mengganjal dalam hatinya. “Atau jangan-jangan, terjadi sesuatu di luar sana dan mereka sengaja tidak memberitahuku?” Setelah menimbang-nimbang sejenak, Max akhirnya mengulur tangan ke arah meja. Takut jika lukanya kembali menganga, ia pun menekan perut dengan tangan yang lain. “Ah, kenapa Gaby meletakkan ponselku jauh sekali?” Sembari meringis, pria itu mencoba menggeser ponselnya dengan ujung jari. Tanpa sengaja, benda itu malah keluar dari garis meja dan jatuh ke lantai. Embusan napas kecewa sontak terlepas ke udara. Ia sedang tidak bisa membungkuk mengambil barang yang terjatuh. “Ck, kalau seperti ini, aku tidak punya pilihan lain,” gumam Max sebelum menarik napas panjang. Sedetik kemu
“Keluarga Tuan Julian?” tanya petugas medis dengan tampang serius. “Ya, Dok. Saya adiknya,” sahut Max di sela napas yang terengah-engah. Ia tidak tahu apakah laki-laki itu seorang dokter atau bukan. Yang penting, ia sudah memberikan jawaban yang benar. “Dokter spesialis sudah memeriksa. Ternyata, kerusakan dalam perut pasien cukup parah. Karena itu, beliau memutuskan untuk melakukan operasi reseksi usus. Jadi, semua usus yang rusak terpaksa harus dipotong.” “Apakah itu cara terbaik untuk menyelamatkan Julian?” tanya Max dengan alis melengkung tinggi. Tanpa berpikir ulang, pria berpakaian hijau itu mengangguk. “Ya, itulah satu-satunya cara untuk menghentikan pendarahan,” sahutnya tegas. “Kalau begitu, lakukan saja, Dok. Selamatkan kakak saya,” desah Max dengan penuh harap. “Ya, kami pasti melakukan yang terbaik. Sekarang, saya akan mengabarkan bahwa keluarga pasien sudah menyetujui. Operasi akan dilanjutkan.” Selang satu anggukan, pria
Sembari memegangi perban barunya, Max terus menatap ke arah pintu. Selang beberapa saat, apa yang ditunggu akhirnya datang. Beberapa orang perawat mendorong kasur dengan Gabriella yang tertidur di atasnya. “Gaby,” desah pria yang mencoba untuk beranjak. Namun, belum sempat pundaknya meninggalkan kasur, seseorang telah menekan kepalanya kembali melekat pada bantal. “Tolong jangan bodoh! Aku tidak mau membawamu ke IGD lagi,” omel Sebastian sukses mengundang tatapan sinis dari Max. “Benar, Tuan. Tolong jangan bergerak dulu. Istri Anda tidak apa-apa. Dia akan segera sadar begitu efek obat bius habis,” ujar seorang perawat sembari mengunci kasur Gabriella di samping sang pria. Mendapat larangan yang sama, Max tidak jadi membantah. Setelah menghela napas samar, dengan tangan masih terpasang oleh selang infus, ia berusaha meraih jemari istrinya. Mengetahui kesulitan pria itu, sang perawat pun mendekatkan tangan Gabriella. “Sekarang beristirahatlah, T
Dengan mata berkaca-kaca dan napas terengah-engah, Gabriella berjalan cepat. Ia sama sekali tidak memedulikan keributan yang terjadi di belakang. Kemarahan Amber tidak lebih penting dibandingkan kakak iparnya. Begitu ia membuka pintu, sang sekretaris langsung menoleh dengan lengkung alis tinggi. Tanpa menunggu perintah, gadis itu cepat-cepat menyerahkan kursi yang didudukinya. “Nyonya?” “Bagaimana kondisi Julian?” tanya Gabriella dengan suara pelan. “Operasinya berjalan lancar, Nyonya. Kita tinggal menunggu Tuan sadar,” terang Mia sembari menoleh ke arah pria yang dikelilingi oleh banyak selang. Merasa ragu, Gabriella pun memegangi pundak sang gadis. “Kau tidak berbohong demi membuatku tenang, ‘kan?” Dengan wajah tanpa senyum, Mia menggeleng. “Aku berkata jujur, Nyonya. Tuan sudah melewati masa kritis. Sekarang, kita hanya perlu menunggunya sadar.” “Jadi, dia tidak akan mati, bukan?” tanya Gabriella tak mampu lagi menyaring kata-kata.