Setelah menunggu beberapa saat, Julian tidak juga mendapat jawaban. Sembari mengelus pundak sang kakek, ia kembali bertanya, “Apakah ada masalah?”
Selang satu tarikan napas panjang, Tuan Hunt menyeka wajah. Ia baru sadar bahwa air mata sudah hampir menitik.
“Tidak ada apa-apa, Julian,” sahutnya dengan volume suara yang sama. Sambil berusaha mengukir senyum, pria tua itu menunjuk balita yang masih bersemangat meluapkan kegembiraan. “Mari kita simak cerita dari Cayden.”
Mengerti bahwa sang kakek enggan mengungkap perasaan, Julian pun mengatupkan rahang. Setelah mengangguk-angguk sejenak, ia menarik napas cepat dan mengalihkan pandangan.
“Baiklah,” ujarnya pelan, seraya mengusap punggung yang terasa dingin meski suasana sedang hangat.
“Ada apa, Julian?” tanya wanita yang sedang mendekatkan bibir ke telinga sang suami.
Setelah mempertemukan pandangan, Julian menggeleng. &l
“Apalagi setelah menyimak kisah cinta kalian ..., bayangan nenekmu menjadi semakin jelas dalam ingatan. Itu membuatku bertambah rindu padanya,” ucap Tuan Hunt sebelum menelan ludah yang amat pahit.“Aku ingin sekali bertemu dengan nenekmu lagi, Julian. Mengecupnya lembut dan mendekapnya hangat,” desah sang kakek seraya mengangkat jemarinya yang keriput dan menjatuhkan pandangan di sana. Selang satu embusan napas yang merana, pria tua itu meraba udara. “Andai saja tangan ini masih bisa membelai wajahnya, kebahagiaanku pasti sempurna.”Tak tahu harus berkata apa, Julian pun berkedip menahan air mata. Dengan gerak canggung, ia memberi tepukan ringan pada punggung yang terlihat begitu kesepian.“Kau tahu? Nenekmu itu adalah orang yang sangat ceria. Jika kau berpikir bahwa Greta mewarisi sifatku, maka kau salah. Binar matanya, senyum lebarnya, nada bicaranya yang penuh semangat ... setiap hal yang memancarkan kegembiraan dari
“Kenapa kau mendadak panik? Tenang dulu, Julian. Aku belum selesai bicara,” timpal Tuan Hunt sebelum menepuk-nepuk punggung tangan sang cucu dengan jemarinya yang lain.“Lalu apa?”Sembari melukiskan senyum misterius, si pria tua memicingkan mata. “Ya, aku sering menerka-nerka kapan hidupku akan berakhir. Ya, aku terkadang berharap dapat bertemu dengan nenekmu secepatnya. Tapi ..., jika mengingat tentang anak dan cucu-cucuku, pemikiran itu buyar.”Sedetik kemudian, Tuan Hunt mencondongkan badan agar Julian dapat mendengar ucapannya dengan lebih jelas.“Percaya atau tidak, aku masih memiliki banyak impian. Salah satunya adalah melihat Grace tumbuh dewasa. Aku bahkan ingin menghadiri pernikahannya. Jika harus mencapai umur ratusan tahun, aku akan mengusahakannya. Kau tahu kalau pola hidupku sangat sehat bukan? Satu-satunya hal yang kurang dari diriku hanyalah ingatan. Entah apa yang harus kulakukan untuk membuatnya
“Menurutmu, apakah Grace akan heran jika kita membawanya ke sana?” bisik Julian sembari memperhatikan wajah putrinya yang terlelap. “Kurasa tidak. Kita sudah pernah mengajaknya mengunjungi makam ayahmu. Kau ingat responnya?” timpal Mia sambil melirik dengan lengkung bibir kecil. Seraya memasang ekspresi yang serupa, sang pria mengangguk. “Ya. Tidak biasanya Grace ingin turun dari gendongan.” “Mungkin saja, dia bisa merasakan kasih sayang Papa kepadanya. Karena itulah, Putri Kecil merengek ingin menyentuh kakeknya,” tutur Mia seraya mengangkat bahu. Rasa kantuk telah membuat imajinasinya melampaui batas. Merasa gemas dengan pemikiran sang istri, Julian spontan mengecup kepala wanita itu lembut. “Mari kita lihat apakah besok Grace juga bisa merasakan kasih sayang dari nenek buyutnya.” “Ya,” angguk Mia sebelum tertawa kecil dan mendekap suaminya lebih erat. *** “Selamat pagi, Mia, Greta. Apakah kalian melihat ibuku?” sapa balita y
Setelah berkedip-kedip sesaat, Mia mulai melihat ke segala arah. Sambil memeriksa di balik lemari, di bawah tempat tidur, dan di bawah meja, wanita itu terus memanggil putrinya. “Grace? Grace?” Malangnya, beberapa detik berlalu, ia belum juga menemukan sang bayi. Tak mampu mencerna situasi, Mia pun memegangi kepalanya yang mendadak berdenyut-denyut. “Ck, kenapa bisa begini?” gumamnya lirih. Mengetahui keresahan sang istri, Julian bergegas memegangi kedua pundak wanita itu. “Jangan panik, Mia. Grace tidak mungkin ke mana-mana. Dia pasti masih di rumah ini. Sekarang, mari kita mulai mencari!” tutur pria itu, berusaha meredam detak jantung agar tidak menekan pita suara. Belum sempat sang wanita memaparkan logika, Max sudah lebih dulu masuk ke ruangan bersama putranya dan menyela. “Apakah ada masalah? Kenapa kalian terlihat gusar?” Melihat keberadaan balita yang menatapnya dengan mata bulat, Mia sontak mendesah samar. Tanpa menghiraukan pe
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq