“Apakah kau takut?” bisik gadis yang menyadari bahwa wajah sang kekasih sudah mulai memucat.
“Tidak,” sahut Julian datar, tanpa bergerak sedikit pun. Kepalanya terlalu tegang untuk bisa digelengkan.
Sembari mengulum senyum, Mia pun menggenggam tangan sang pria. “Cobalah untuk tidak menghitung ketinggiannya! Fokus saja pada pemandangan yang tidak akan pernah dijumpai di tempat lain,” ucap gadis itu, menanamkan sugesti.
Sedetik kemudian, ia menunjuk ke luar jendela. Mereka baru saja melewati daun tertinggi dari sebatang pohon. “Lihatlah! Kapan lagi kita bisa sejajar dengan puncak pinus? Bukankah ini sangat keren?”
Alih-alih memperhatikan arah telunjuk sang kekasih, Julian hanya melirik sekilas dan mengangguk.
“Ya. Sangat keren,” desah pria yang harus hemat oksigen. Ia sadar bahwa tempat yang mereka tuju akan lebih tinggi dari gondola beberapa waktu lalu.
Merasa dirinya gagal menenangkan Julian, Mia pun menghela napas samar.
Usai mengamati setiap bentuk pahatan es di istana gletser, Julian dan Mia akhirnya kembali menyapa alam terbuka. Dari peron yang memiliki ketinggian 3.883 meter di atas permukaan laut, pemandangan puncak pegunungan bersalju tampak lebih jelas. Hal itu sontak memukau sang gadis sekaligus menghambat peredaran darah sang pria. “Ini sangat luar biasa, Julian,” desah Mia sembari merentangkan tangan dan menghirup udara dalam-dalam. Gadis itu sama sekali tidak terdampak pada atmosfer yang lebih tipis dari biasanya. Sementara itu, Julian masih berjuang mengusir rasa takut. Dengan tangan terkepal erat, ia memaksa keceriaan untuk tetap melekat pada wajahnya. “Benar. Kalau saja kau masih memiliki cincin, aku pasti akan melamarmu lagi,” gurau pria itu, berusaha mengalahkan kekakuan dalam sel-sel tubuhnya. Selang satu tawa kecil, Mia menggeleng lambat. “Tolong jangan lakukan itu lagi. Hatiku bisa melambung menembus awan saking terharunya,” celetuk gadis itu sambil
“Jadi, kabar tentangmu dan model terkenal itu tidak benar?” selidik Amber sembari menarik cangkir berisi cokelat hangat ke hadapannya. “Ya, itu hanya kesalahpahaman,” angguk Julian sembari meninggikan alis sekilas. “Percaya atau tidak, sejak awal aku sudah curiga dengan kebenaran berita itu. Mengingat betapa setianya kau kepadaku dulu membuatku ragu kalau kau tega mengkhianati Mia seperti itu,” celetuk sang wanita, sama sekali tidak mempertimbangkan konsekuensi dari ucapannya. Meski Amber sudah mengikhlaskan masa lalu, sang sekretaris masih belum memandangnya begitu. Sembari menahan kekhawatiran, gadis itu memaksakan bibir untuk melengkung. “Aku memang bodoh sempat meragukan kesetiaan Julian padaku,” gumam Mia, menyamarkan kecemburuan yang baru bertumbuh. Sedetik kemudian, Amber mendengus seolah mencemooh ucapan sang sekretaris. “Kau hanya akan membuang energi jika mencurigai Julian seperti itu. Dia bukanlah laki-laki yang gampang berpindah ke
“Kau sangat mencintai gadis itu, hm?” gumam Amber, menyita perhatian. Setelah menggeser tatapan ke arah sang wanita, Julian mengangkat sebelah sudut bibir lebih tinggi. “Sangat,” sahutnya sambil kembali duduk. “Melebihi cintamu kepadaku dulu?” tanya Amber, terdengar jelas menyelipkan kekecewaan. “Ya,” angguk Julian tanpa ragu. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman lagi di antara mereka. Sambil menjaga bibir tetap melengkung, sang wanita mengangguk-angguk. “Tentu saja. Gadis itu tidak pernah menyakitimu,” ujarnya, kental dengan penyesalan. Selang satu helaan napas cepat, Amber kembali mengangkat dagu. “Sekarang, karena Mia tidak di sini, kau bisa menjawab dengan jujur. Seandainya saat itu, kau tahu bahwa aku memang mencintaimu, apakah kau akan memberiku kesempatan terakhir?” Dalam sekejap, keheningan mengudara. Lewat tatapannya yang datar, Julian mengamati raut wajah sang mantan kekasih. “Apakah kau diam-diam berharap dapat menggeser posisi
Dengan napas yang bergemuruh, Julian melihat ke sana kemari. Pria itu berharap dapat melihat calon istrinya di sekitar situ. Malangnya, berapa kali pun ia memeriksa setiap wajah, tidak ada satu pun yang mampu meredakan kekhawatiran. “Tidak,” desahnya sembari menggeleng samar. Sang pria masih berusaha menyangkal kenyataan bahwa Mia telah lolos dari pengawasannya. Mengetahui kepanikan si mantan kekasih, Amber sontak memiringkan kepala. “Ada apa, Julian? Kenapa kau ketakutan seperti ini?” Dengan bola mata bergetar hebat, sang pria membalas tatapan yang penuh tanya itu. “Mia,” sahutnya samar. Setelah menelan ludah, ia akhirnya melangkah maju dan mencengkeram lengan sang wanita. “Kita harus segera menemukannya. Dia sedang berada dalam bahaya!” “Apa maksudmu?” tanya Amber tanpa berkedip. Matanya jelas memancarkan keheranan. “Jangan panik dulu, Julian! Mungkin saja, dia sedang—” “Mia tidak mungkin pergi tanpa mengabariku!” hardik Julian, tida
“Hentikan omong kosong Anda, Nyonya! Istriku bukan penculik. Kenapa tidak kau tenangkan dulu putrimu itu agar kita bisa mendengar keterangan darinya?” tanya Julian lantang. Mendapat tantangan semacam itu, si ibu muda sontak menelan ludah dengan susah payah. “Anakku menangis karena takut pada perempuan ini. Apa lagi yang ingin kau ketahui? Semuanya sudah jelas,” sangkalnya dengan suara serak. Sedetik kemudian, wanita itu berlutut di hadapan putrinya. Setelah mengalungkan kamera di leher, barulah ia membelai kepala sang anak. “Tenang saja, Audrey. Ibu tidak akan membiarkan orang jahat mendekatimu lagi. Sekarang, berhentilah menangis.” Alih-alih mereda, isak tangis si gadis kecil malah semakin membahana. Tanpa menurunkan tangan dari depan mata, ia menggeleng-geleng. “Lihatlah betapa takutnya putriku ini! Bagaimana mungkin kalian bisa percaya kalau perempuan ini bukan penculik?” seru si ibu muda dengan mata yang membara. “Tentu saja anak itu ketak
Mengetahui alasan paniknya laki-laki itu, Mia pun termenung. Selang keheningan sejenak, ia akhirnya menghela napas samar. “Maaf, aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu panik.” Dengan senyum minim, Julian mengangguk. “Tidak apa-apa. Aku tahu kalau kau hanya ingin menolong gadis kecil tadi. Tapi,” ucap pria itu sambil mengacungkan telunjuk, “mulai detik ini, jangan pergi tanpa kabar. Aku tidak mau menggila lagi karena takut kehilanganmu.” “Baiklah, aku akan mengingatnya baik-baik,” sahut Mia seraya berkedip tegas. “Jangan hanya diingat, Mia, tapi dilaksanakan,” celetuk sang pria sembari membetulkan topi sang kekasih. Lewat lengkung bibir yang tipis, sang gadis mengekspresikan penyesalan. “Ya, aku tidak akan pergi ke mana-mana tanpamu lagi.” “Bagus,” desah Julian sebelum menarik kepala sang gadis untuk bertemu dengan bibirnya. Selagi pasangan itu saling mengusap punggung, seorang wanita yang sedari tadi menyimak percakapan mereka tiba-
“Sayang sekali Nona Amber tidak ikut turun bersama kita. Padahal, kita bisa berbincang lebih lama di cable car,” gumam Mia sembari menoleh ke arah pria yang berjalan di sampingnya. “Mungkin, dia tidak ingin mengganggu kita lagi. Biarkan saja dia bersenang-senang dengan salju di atas sana,” timpal Julian seraya menaikkan sudut bibir dan mengusap lengan gadis yang tidak lagi mengenakan topi rajut. Udara sudah tidak sedingin di istana gletser. “Sekarang, kita kembali ke hotel?” sambung pria itu meminta konfirmasi. Alih-alih mengangguk, sang gadis malah berkedip datar. “Kalau aku ingin ke toko cokelat, apakah masih sempat? Aku sudah berjanji untuk membawakan cokelat yang banyak untuk Cayden.” Sembari mengerucutkan bibir, Julian mengerutkan alis sejenak. “Kurasa tidak masalah. Selagi kau berbelanja, aku bisa mencari tiket untuk kita berdua.” “Baiklah. Kalau begitu, ayo bergegas ke sana! Kita masih harus mengemas koper dan kereta menuju ban
“Apakah semua sudah siap?” tanya Julian setelah menurunkan koper dari tempat tidur dan menarik gagangnya. “Ya,” sahut Mia seraya menutup ritsleting, “sudah. Tasku jadi lebih penuh dibandingkan dengan saat berangkat kemari.” Sambil membantu sang kekasih menurunkan koper yang menggembung, Julian menyunggingkan senyum. “Aku yakin, Cayden akan senang ketika melihatmu membuka koper.” “Kuharap begitu. Jika tidak, aku akan sangat kecewa,” gurau sang gadis sebelum menghela napas cepat. “Mari kita pulang!” ucapnya sembari mengangguk yakin. Ia enggan menunjukkan kerinduan yang mulai tumbuh dalam hati. Mengetahui perasaan yang disembunyikan oleh Mia, sang pria spontan melebarkan senyum. “Setelah menikah nanti, mari kita kembali ke sini untuk berbulan madu. Kita bisa melanjutkan perjalanan yang terputus ini.” “Itu ide yang sangat bagus, Julian,” gumam sang gadis seraya membentuk lengkung kecil dengan bibirnya. “Ya, aku tahu,” desah sang pria semba