“Grace memiliki mata yang sangat indah, Julian,” desah Mia kagum. Sebelumnya, ia menduga bahwa sang bayi akan bermata gelap seperti dirinya.
“Tunggulah sampai warnanya berubah menjadi hazel. Kau akan semakin terpukau,” gumam sang pria sambil tersenyum simpul.
“Kau sedang memuji Putri Kecil atau dirimu sendiri?” selidik wanita yang kini menyipitkan mata.
Setelah tertawa ringan, Julian kembali mengecup kepala istrinya. “Aku tidak mengatakan kalau Grace mewarisi mataku.”
“Kau menyatakannya secara tersirat,” protes Mia sebelum mengembalikan fokus kepada putrinya. Selang satu tarikan napas panjang, lengkung bibir wanita itu kembali melebar. “Tapi aku senang Putri Kecil memiliki warna mata yang sama denganmu.”
“Kenapa?” tanya sang pria sembari meninggikan alis.
“Warna hazel selalu berhasil mencuri hatiku,” sahut Mia, sukses mengundang desah tawa suaminya.
Tanpa mereka ketahui, tiga orang yang mengintip ikut tersenyum. Tak ingin mengg
“Kenapa kau menatap Grace seperti itu, Pangeran Kecil?” tanya wanita yang tidak bisa berhenti tersenyum. Wajah putranya terlalu menggemaskan dengan mata bulat yang berbinar dan mulut mungil yang terbuka tanpa kata.Selang satu kedipan, Cayden akhirnya mengalihkan pandangan dari sepupunya. Kini, kedua alis bayi laki-laki itu terangkat penuh semangat di hadapan sang ibu yang juga duduk di tepi kasur.“Ace kecil,” bisiknya, seolah takut membangunkan sang adik.Mendengar pernyataan itu lagi, Gabriella sontak mendesahkan senyum. “Ya, Grace kecil karena dia baru berumur satu minggu. Karena itu pula, kau harus menjaganya dengan baik. Mengerti?”Masih dengan ekspresi yang sama, Cayden kembali menjatuhkan mata pada bayi yang mengenakan baju putih bermotif bunga-bunga dan matahari. Selang keheningan sejenak, ia tiba-tiba tertawa kecil.Menyaksikan keceriaan yang begitu mendadak, Mia sontak melengkungkan bibir dan mengerutk
Cayden tertawa cekikikan ketika berhasil lolos dari tangkapan Max. Bayi mungil itu tidak peduli dengan wajahnya yang memerah ataupun keringat yang mengucur dari sela anak rambutnya. Ia hanya ingin terus berlari, membiarkan butiran pasir menggelitik telapak kaki. Selagi angin membawa aroma laut yang melekat pada kulit, Pangeran Kecil tidak akan bosan menggetarkan udara dengan keceriaan. “Cacacaca!” pekiknya mengalahkan deburan ombak. Mendengar seruan gembira itu, seorang wanita berpakaian tipis yang sedang duduk di atas tikar pun ikut tertawa. Ia senang menyaksikan semangat putranya yang tak pernah padam. “Pangeran Kecil, kemarilah! Saatnya menambahkan sunscreen di kulitmu,” seru Gabriella, sukses mengubah arah laju sang bayi. Selang beberapa saat, Cayden akhirnya berhenti menggerakkan kaki-kaki kecilnya dan membenamkan diri ke dalam pelukan sang ibu. Menyaksikan hal itu, Max langsung menjatuhkan diri ke sisi sang istri. Sambil berselonjor, ia
“Woah!” desah Cayden saat menapakkan kaki di rumah kedua. Itulah pengalaman pertamanya memasuki bangunan berdinding transparan dengan pemandangan laut lepas. Sambil tersenyum lebar, bayi mungil itu melangkah cepat menuju salah satu sudut ruangan. Setelah menempelkan telapak tangan dan jidat ke kaca, ia mengamati nuansa biru yang sangat berbeda dengan tempat asalnya. “Kurasa, keputusanmu untuk menginap di hotel terlebih dahulu sangatlah tepat, Max. Jika kita langsung datang ke sini dalam keadaan jetlag, Pangeran Kecil tidak akan seantusias ini,” bisik Gabriella seraya menyandarkan kepala pada pundak suaminya. “Aku selalu menginginkan yang terbaik untuk kalian, Gaby,” sahut sang pria seraya menggosok lengan istrinya dan meninggikan sudut bibir. Selang satu helaan napas, sang wanita mendongakkan wajah dan menunjukkan ekspresi penuh cinta. “Kau tahu? Aku juga senang karena kau sudah menyewa seseorang untuk membersihkan rumah ini sebelum kita data
Begitu melihat sang istri berjalan menghampiri, Max spontan mengangkat tangan dari laptop. Dengan mata lebar, ia memutar kursi hingga menghadap wanita yang hanya mengenakan sehelai gaun tipis itu. “Apakah Cayden sudah tidur?” bisiknya dengan alis tersangga semangat. “Sudah, tapi di kasur. Dia tidak mau tidur di boksnya,” jawab Gabriella seraya menempatkan diri di pangkuan sang suami. Dengan bibir yang agak mengerucut, ia mengamati desain yang terpampang pada layar. “Apakah pekerjaanmu masih belum selesai?” “Sedikit lagi, tapi aku bisa menyelesaikannya besok pagi,” sahut Max cepat. Sedetik kemudian, tangannya mulai menjelajah. “Jadi, apakah kita bisa mulai sekarang?” tanyanya dengan nada rendah dan agak mendesah. Mengetahui bahwa sang suami sudah tak sabar, Gabriella meruncingkan telunjuk ke arah laptop. “Apakah kau yakin tidak ingin menyelesaikannya lebih dulu? Bukankah kau harus mempresentasikan desain ini saat bertemu dengan klien besok?” “A
“Apakah kau mendengar yang barusan kudengar?” tanya pria yang mengira bahwa dirinya berhalusinasi. “Suara Pangeran Kecil?” bisik wanita yang juga terbelalak meski pandangannya remang-remang. “Tapi dia sudah tertidur pulas tadi.” Selang satu kedipan, Max kembali mendesah. “Haruskah kita memeriksanya? Bisa saja, dia terbangun karena teriakanmu tadi.” “Tapi aku tidak berteriak sekencang itu,” celetuk Gabriella, malu mengakui kecerobohannya. “Pekikanmu nyaring, Gaby. Pangeran Kecil bisa saja terbangun,” tutur sang pria meyakinkan. Ia tidak mau jika keegoisan mereka menggeser Cayden dari puncak prioritas. Sadar bahwa ucapan sang suami memang benar, sang wanita akhirnya membetulkan gaunnya yang tersingkap. “Kalau begitu, kita sudahi saja,” ujarnya dengan nada kecewa. Selagi ia mulai beranjak, Max pun memerintahkan lampu untuk menyala. “Lights on!” Begitu ruangan kembali diwarnai oleh cahaya, Gabriella sontak terkesiap. Cayden sedang
“Kau sungguh tidak keberatan dengan gaya berpakaianku ini, bukan?” tanya Gabriella sembari meringis. Ia merasa canggung karena semua mata tertuju padanya.“Percayalah padaku, Gaby. Apa pun baju yang kau kenakan, kau tetap sempurna,” timpal Max seraya membuat satu anggukan tegas.Sekali lagi, sang wanita melirik ke meja tinggi di sekitarnya. Beberapa orang kini berbisik sambil menyembunyikan tawa.“Termasuk ini?” tanya Gabriella sebelum memajukan sebelah kaki agar sang suami dapat melihat sepatu karet yang berwarna putih.“Ya, itu sangat cocok dengan dengan gaunmu. Warna mereka sama,” angguk Max sebelum membelai bayi yang sedang duduk dalam carrier di depan tubuhnya. “Kau setuju dengan Papa, bukan? Mama terlihat sangat cantik.”“Mamamama ...” sahut Cayden sembari berkedip lambat.Namun, bukannya terurai, alis sang wanita malah semakin kusut. “Pasti mereka m
Begitu memasuki ballroom yang luas dan megah, mata Cayden sontak berbinar. Padanan warna emas dan putih terlihat seperti kue lezat baginya. Selang satu kedipan lambat, ia pun mendesah, “Woah ....” Mendengar suara mungil itu, Gabriella otomatis menaikkan sudut bibir dan memeriksa raut wajah putranya. “Ada apa, Cayden? Apakah kau senang datang kemari?” “Cacacaca!” sahut sang bayi seraya meruncingkan telunjuk ke lantai dansa yang tampak mengilap. “Kau mau bermain di sana?” selidik Gabriella sembari menaikkan alis. Tanpa mengucap sepatah kata, Pangeran Kecil tiba-tiba meluruskan badan. Mengetahui keinginan putranya, sang wanita akhirnya menurunkan bayi berdasi kupu-kupu itu dari gendongan. “Jangan berlari terlalu cepat karena Papa sedang tidak bersama kita. Mengerti?” Seolah memahami perintah ibunya, Cayden mendesah, “Yah!” Namun, begitu kakinya menapak, bayi mungil itu melaju tanpa rem ke lantai dansa. Sambil tertawa leba
“Wow! Ada apa dengan ciuman ini?” tanya Max saat sang istri mengembalikan jarak di antara mereka. “Tidak ada apa-apa. Aku tiba-tiba saja merindukanmu,” sahut Gabriella sembari mengelus sudut bibir sang suami dan mengangkat pundak sekilas. Sedetik kemudian, ia membelai kepala bayi yang sedang memainkan kancing putih di bawah leher sang ayah. “Pangeran Kecil juga merindukanmu. Dia tadi sempat kebingungan karena tidak ada teman berlari.” “Begitukah?” timpal Max sebelum memasukkan wajahnya ke dalam bingkai pandang sang bayi. “Apakah kau bosan bermain tanpa Papa?” Alih-alih menjawab, Cayden malah tertawa kecil. “Mamamama ...” ocehnya sambil meruncingkan telunjuk ke arah piano. Kemudian, dengan penuh semangat, ia mengulangi gerakan kepalanya saat mendengarkan lagu favorit. “Oh, kau berjoget saat Mama memainkan lagu bayi paus?” terka Max dengan mata yang tak kalah lebar. “Bayi hiu, Max,” koreksi Gabriella untuk kesekian kalinya. “Ah, ya ... i