Slice story sudah bab 4, yaaa ~~ silakan yang mau nengokin ~~ free ~~~
“Aku nggak ngerti, kenapa acaranya mendadak jadi formal kayak gini?”Cita menatap aneka contoh dekorasi private room, yang diperlihatkan Sandra pada ponselnya. Yang mengejutkan, private room tersebut ternyata ada di restoran Duta. Itu berarti, Sandra telah bicara dengan Duta dan menyewa sebuah ruangan khusus untuk pertemuan dua keluarga sabtu malam nanti.“Itu karena ... Arya bilang, dia mau menjalani proses seperti orang-orang,” terang Sandra mengutip kalimat Arya. “Dan ternyata, isi kepalanya sama dengan omongan Mami waktu itu, kan?”Cita mengembalikan ponsel Sandra pada wanita itu, lalu menjatuhkan diri ke pangkuan sang mami. Cita menjadikan paha Sandra yang bersandar di headboard tempat tidurnya, sebagai bantal.Beberapa waktu lalu, Cita baru pulang dari Yogyakarta. Seperti biasa, tanpa lelah Sandra masih membuatkan susu dan menemani Cita untuk bercerita.“Kenapa Mami sama papa setuju aku balik lagi sama Arya?” tanya Cita. Tubuhnya memang merasa lelah, tetapi matanya tidak kunjung
“Habis riwayatmu.” Cita terkekeh saat mengingat ucapan Lee. Ia berjalan pelan menuruni tangga dengan Arya dan meninggalkan orang tua mereka yang masih ngobrol di dalam ruang.“Olok aja terus.” Arya meraih tangan kiri Cita, lalu melihat jari manis gadis itu. “Yang penting, cincinnya sudah nempel di sini, nih!”Cita menahan senyum bahagianya. Sebuah cincin emas dengan desain sederhana, yang bertahtakan berlian di tengah, sudah melingkar begitu manis di jarinya. Kendati begitu, Cita belum bisa menyingkirkan rasa was-was yang sudah bersarang di lubuk hati.Cita bisa percaya dengan semua ucapan Lee dan Gemi yang terdengar manis dan begitu menjanjikan. Namun, bagaimana dengan Arya?Bisakah, Cita menaruh kepercayaan pada pria itu seutuhnya?“Tapi, kenapa aku masih belum bisa yakin kalau—”“Kamu masih konseling, kan?” Arya memotong cepat, karena tidak mau lagi mendengar ucapan pesimis dari Cita.“Masih.”“Yang rajin konselingnya.” Arya merangkul Cita, ketika mereka sudah berada di lantai satu
“Hi, Kak,” sapa Cita sudah berdiri di samping Duta, sambil melipat kedua tangannya di atas meja bar.“Hei!” Duta berseru, karena terkejut dengan kemunculan Cita. Ia sudah tahu gadis itu akan datang ke restorannya, tetapi Duta tidak tahu pasti mengenai waktunya. “Hampir aja kena sikut, kan.”Cita terkekeh dan sedikit menjauh dari Duta yang duduk di stool bar. “Arya belum selesai, ya?”“Masih di kitchen,” Duta menunjuk dinding yang berseberangan dengan meja bar. “Masuk aja. Mereka masih pemotretan. Bentar lagi juga selesai.”“Oh ...”Sulit sekali rasanya untuk tersenyum. Mengingat, pagi ini Arya melakukan pemotretan dengan Rinai, yang tidak tahu malu itu.“Hei.” Duta segera merentangkan satu tangannya, sebelum Cita pergi menuju dapur. “Aku tahu masalahmu sama Rinai. Dan aku cuma mau bilang, anak itu memang harus ditegasin kalau mulai kurang ajar. Dia itu, cuma terlalu di manja sama pak Restu, jadinya begitu.”Akhirnya, Cita bisa menyematkan senyum dengan kekehan kecil. Sepertinya, Cita
“Kenapa harus nunggu sampai satu tahun lagi?” Geeta mempertanyakan perihal waktu pernikahan Arya dan Cita, yang menurutnya cukup lama.“Biarlah, Bun,” ujar Aries yang duduk bersebelahan dengan sang istri dan berseberangan dengan Arya. “Mereka masih harus belajar menyesuaikan diri. Asal, jangan keluar dari jalur,” pesan Aries tegas. “Ngerti, Ar?”Mengingat bagaimana masa mudanya bersama Gemi dahulu kala, Aries tidak menginginkan hal seperti itu terjadi pada kedua anaknya. Terutama dengan Rashi. Aries benar-benar menjaga putri satu-satunya itu, agar tidak salah jalan. Ia harus tahu benar, dengan siapa saja Rashi berhubungan dan bagaimana latar belakang teman-temannya.Untuk perihal Arya, Aries menyerahkan sepenuhnya pada Gemi dan Lee. Ia tidak ingin ada lagi pergesekan, agar mereka bisa hidup tenang dan damai seperti sekarang. Meskipun, hubungan mereka harus renggang karena semua rahasia telah terungkap, tetapi semua itu justru membuat kelegaan bagi semua orang.“Ngerti, Yah,” angguk Ar
“Kenapa dia masih ada di Antariksa?”Duta mematung. Mengurungkan niatnya mendorong pintu ruang kerja Restu yang sedikit terbuka, setelah mendengar suara Rinai. Kendati bisa menebak “dia” yang dimaksud Rinai, tetapi Duta tetap tidak mengerti dengan maksud perkataan sepupunya itu.Karenanya, Duta tetap berdiri di tempat dan ingin mendengar semua percakapan ayah dan anak itu.“Karena perempuan itu, titipan Dewa,” jawab Restu. “Karena dia karyawan titipan langsung dari owner, jadi nggak ada yang berani mecat dia.”“Titipan? Si Cita itu titipan pak Dewa? Kok, bisa?”“Nai—”“Oh, bentar, Pa, bentar,” sela Rinai. “Jangan-jangan, Cita itu selingkuhannya pak Dewa. Dia, kan, tiap hari diantar sama mobil mewah. Atau, saudaranya pasti sopir yang kerja di keluarga Lee, jadi—”“Sayang, sudah,” pinta Restu menghentikan ucapan Rinai. “Papa nggak mau berurusan dengan keluarga Lee. Mereka punya banyak preman di belakang dan itu nggak main-main. Papa sudah bilang dari dulu, kan, jangan pernah dekat dan c
“Kak Duta di mana?” tanya Cita sembari mendongak, menatap gedung Antasena yang menjulang tinggi di hadapan. Setelah usai mengikuti rapat redaksi dan sebelum pergi liputan, ia menyempatkan diri menelepon Duta guna menyampaikan sesuatu.“Di jalan, Cit,” jawab Duta. “Otewe Ambasador. Kenapa?”Cita menghela panjang, lalu berbalik. Kembali melangkah menuju Antariksa dan segera pergi menuju warehouse.“Pak Restu nelpon pemredku, Kak,” terang Cita kemudian menyampaikan obrolannya dengan Hanan pagi tadi pada Duta.Bagi Cita, Duta termasuk pria yang cukup bijak dan sangat baik. Karena itulah, Cita tidak ragu menceritakan permasalahan yang dihadapinya. Terlebih lagi, Restu masih ada hubungan keluarga dengan pria itu.“Kalau gitu, aku ke Antasena sekarang,” ujar Duta mengambil keputusan dengan cepat. “Kamu di mana?”“Aku di Antariksa, tapi ini mau pergi liputan,” jawab Cita lalu duduk pada kursi kayu panjang di depan warehouse. “Barusan juga sempat nelpon resepsionis Antasena, Kak, tapi pak Restu
“Aku, jadi pindah ke Surabaya.” Cita mengutarakan keinginannya saat berada di meja makan.Setelah melihat foto rumah yang dikirimkan Arya dan memikirkan beberapa hal semalaman, Cita akhirnya mengambil satu keputusan. Ada hal yang memang harus dihadapi dan ada masalah yang memang harus diabaikan, seperti pertikaiannya dengan Rinai.“Mas Arya sudah dapat rumah, terus ... aku juga bisa langsung kerja di Metro Surabaya,” tambah Cita lalu menerima sepiring nasi goreng dari Sandra yang baru menghampiri meja makan.“Antara setuju dan nggak setuju,” ujar Sandra sambil mengitari meja makan, lalu duduk di samping Harry yang sedang menyantap sarapannya lebih dulu. “Mami setuju, karena dengan begitu kalian nggak LDR-an lagi. Tapi Mami nggak setuju, karena kalian belum resmi nikah tapi sudah ada rumah sendiri. Ngerti maksud Mami, Cita?”“Mami nggak percaya sama Cita?” tanya Harry menoleh pelan pada Sandra. “Mereka berdua sudah dewasa—"“Justru karena mereka sudah dewasa,” potong Sandra tidak jadi
“Sarapan, Ar!”Arya yang baru keluar kamar, lantas berbelok mengikuti Duta yang melewatinya. Mereka menuju dapur, dengan posisi Arya tetap berada di belakang Duta yang sudah terlihat rapi.“Mau pergi, Mas?” tanya Arya lalu menggaruk kepala ketika Duta membuka tudung saji di meja makan. Melihat menu sarapan yang tersaji di meja, cukup membuat Arya bengong untuk sesaat. Meskipun menu tersebut tidak akan cocok dengan lidahnya, tetapi Arya akan tetap menghormati pria yang sudah sering menolongnya.“Iya.” Duta segera duduk dan mengambil sarapan yang memang sudah disiapkannya lebih dulu sebelum mandi. “Disuruh ke rumah bunda. Makanya, pagi ini kita sarapan yang simple aja.”“Besok-besok, nggak usah bikinin aku sarapan, Mas.” Arya belum duduk, karena masih ada hal yang harus dilakukannya lebih dulu. Namun, ia mengambil satu buah pancake dari piring lain dan langsung menyantapnya begitu saja, tanpa menuang madu yang sudah disiapkan di meja. “Aku nggak enak ngerepotin terus.Duta menggeleng. “