Share

3. Bukan Pria Baik?

“Jadi, Pak Hans mengambil semua sisa cuti untuk pulang ke Indonesia?”

“Iya. Saya masih mempertimbangkan untuk mengundurkan diri dari perusahaan itu,” jawab Hans sambil merapikan pakaiannya dari dalam koper.

“Mengundurkan diri? Kenapa?”

“Kamu ingin tahu?”

“Oh, tidak juga.” Cuek sebenarnya bukan sifat aslinya. Dulu, Maya adalah wanita yang periang dan murah senyum. Semenjak anaknya meninggal, dia merasa sangat terpukul dan mulai menutup diri.

“Ingin makan sesuatu? Kita belum sarapan, ‘kan?”

Mata Maya melihat kearah dapur yang kosong melompong. “Sepertinya tidak ada apa-apa di dapur?”

Hans mencoba memahami maksud Maya. “Maksudku apakah kamu mau saya pesankan makanan?”

Maya sedikit tersentak dengan tawaran tersebut, menyadari kalau dia kurang fokus. “B-boleh.”

“Apa yang kamu inginkan?”

“Hmm, saya ingin sarapan yang sederhana saja. Mungkin seperti croissant dengan secangkir kopi? Bagaimana?”

Hans tersenyum ramah, "Baiklah, saya akan memesannya."

Dia segera mengambil ponsel dan mulai memesan makanan dari kafe terdekat. Maya duduk di ruang tamu, merasa agak canggung dengan situasi yang sedang terjadi. Dia mencoba merapikan pikirannya dan menenangkan diri.

Dalam hati Maya berkata, “Tenang, Maya. Kamu hanya melakukan ini karena dia meminta bantuanmu. Kamu melakukannya juga karena untuk menghargainya. Tidak perlu secanggung ini, tenanglah.”

Sementara itu, Hans ternyata merasakan hal yang sama. Dia merasa gugup dan dalam hatinya berpikir, “Aku tidak boleh terlihat kaku atau terlalu frontal. Cobalah untuk menjadi lebih santai, Hans. Lakukan seperti yang Maya ucapkan tadi. Lakukan secara natural, jangan terlalu frontal, oke?”

Beberapa saat kemudian bel pintu berbunyi, menandakan kedatangan pengantar makanan. Hans segera membukakan pintu dan seorang wanita yang berdiri di depan pintu membuatnya diam terpaku. “Rachel?”

“Ternyata benar kamu di sini?”

“Dari mana kamu tahu?”

“Jangan bertanya seperti itu kalau kamu kenal betul siapa ayahku.”

“Ada perlu apa?”

“Tidakkah lebih baik kamu persilahkan aku untuk masuk dulu?”

“Aku sedang ada tamu.”

Setelah beres menyiapkan piring, Maya penasaran kenapa Hans lama sekali, jadi dia berjalan dan mengintip ke arah pintu. “Ternyata benar. Pantas saja aku seperti mendengar suara perempuan,” ucap Maya pelan setelah melihat seorang wanita yang menatapnya dari kejauhan.

“Siapa wanita itu?” tanya Rachel saat melihat Maya yang mengintip. “Apa itu targetmu selanjutnya?”

Dengan cepat Hans menarik Rachel keluar dari apartemennya, meninggalkan Maya tanpa pamit lebih dulu. Mereka bahkan adu mulut saat di lift sampai ke dalam mobil yang Rachel naiki.

“Tidak bisa begitu! Kamu harus ingat janjimu dengan ayahku!” bentak Rachel.

“Tentu saja aku mengingatnya. Tapi bukan dia orangnya.”

“Kenapa? Memangnya dia siapa?”

“Itu bukan urusanmu. Intinya, aku tidak mungkin membawanya pada ayahmu.”

“Hah, aku merasa dihina karena kamu mengencani wanita seperti itu setelah putus dariku.”

“Jangan libatkan dia ke dalam masalah kita.” Hans berhenti setelah berhasil keluar dari mobil itu.

***

Maya sudah mulai terbiasa untuk tidak ikut campur dan tidak penasaran dengan urusan orang lain. Namun kali itu dia terus memikirkan kejadian tadi. Bertanya-tanya siapa wanita itu? Apakah Hans mencoba mempermainkannya?

Segelas kopi panas diseruput perlahan. “Ah, sudah kuduga. Mana mungkin Pak Hans mencitaiku? Dia hanya penasaran karena aku selalu cuek padanya. Untung saja aku tidak mudah jatuh cinta.”

Berkat Hans, Maya dapat kembali memakan donat setelah sekian lama menghindarinya. Kali itu, secangkir kopi pahit hampir habis padahal 2 donat gula belum disentuh sama sekali. Saat hendak memakannya, ponselnnya berdering.

“Aidan?” dengan tangan gemetar, Maya mengangka panggilan itu.

“Halo, May? Ini aku, Aidan. Aku rasa kamu sudah menghapus nomor teleponku?”

“Tidak, aku masih menyimpannya. Ada apa menghubungiku pagi-pagi begini?”

“Bagaimana kabarmu?”

“Kabarku baik.”

“Di mana kamu sekarang.”

“Aku sudah di Indonesia. Terima kasih bunganya.”

“Aku akan belikan bunga yang segar lain waktu.”

“Tidak masalah, aku masih menyukainya walau bunganya sudah layu.” Berbeda dengan saat bersama Hans. Dengan Aidan, Maya banyak bicara dan tidak cuek sama sekali.

“Kita memang sudah resmi berpisah. Tapi, bolehkah kalau aku sering-sering menghubungimu?”

“Tidak masalah selama tidak ada yang marah.”

“Aku masih sendiri sekarang. Bagaimana denganmu?”

“Aku juga,” jawab Maya dengan suara pelan, mencoba menyembunyikan kebingungannya.

“Aku rasa kamu tidak sendiri di sana. Pasti ada banyak orang yang peduli padamu.”

“Tentu saja. Tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa aku merasa sendiri dan kesepian.”

Mereka sudah berpacaran 3 tahun dan menjalin rumah tangga selama 4 tahun. Aidan bisa dengan mudah mengetahui apa yang Maya rasakan hanya dengan mendengar suaranya. “Kamu baik-baik saja? Sepertinya tidak. Ada masalah apa?”

Maya diam sejenak. “Aku hanya sedang takut untuk jatuh cinta lagi. Mungkin karena trauma, takut kehilangan lagi. Menurutmu, apa hal itu akan menyakiti orang lain?”

"Maya, aku paham bahwa kamu telah mengalami banyak hal yang sulit. Setiap pertemuan, pasti ada perpisahan. Kamu juga harus percaya bahwa tidak semua orang akan menyakitimu. Kamu sendiri yang menentukan ingin hidup dengan siapa dan seperti apa. Jangn terlalu mengkhawatirkan hal itu.”

“Sepertinya, sampai saat ini memang hanya kamu yang bisa membuatku merasa tenang disaat cemas.”

“Aku senang jika kamu mengandalkanku.”

“Aidan, bisakah kita ….”

Wanita yang datang bertamu pada Hans tadi, datang dan menyapa Maya dengan sopan. “Salam kenal. Saya Rachel, mantan kekasih Hans.”

“Oh, salam kenal.”

Rachel menunjukkan senyum ramah. “Bisa kita bicara sebentar?”

“Maaf, saya harus pergi sekarang. Bisakah kita bicarakan nanti?" Maya mencoba mengatasi kecanggungannya, meskipun hatinya berdebar kencang.

“Saya hanya ingin mengatakan kalau Hans bukan pria yang baik. Berhati-hatilah dengannya.”

***

Beberapa kali ditelepon, tidak diangkat. Pesan juga tidak dibaca apalagi di balas. Hans memutuskan untuk menunggu di depan rumah Maya. Namun, dia menyadari sikapnya yang sepertinya terlalu berlebihan.

“Sepertinya Maya akan risih kalau aku menunggunya seperti ini.”

Nyatanya, beberapa menit setelah Hans pergi, Maya datang bersama seorang wanita. Dia adalah Lisa, sahabatnya sejak masih sekolah. Maya meminta Lisa tinggal bersamanya untuk beberapa hari.

Ketika sedang menyapu halaman, Lisa menemukan sesuatu. “Maya, ini milikmu?”

Sebuah pulpen tergeletak di tengah rerumputan. Pulpen itu sangat tidak asing baginya. Tentu Maya tau siapa pemiliknya, ditambah lagi selalu ada nama di badan pulpen tersebut. “Oh, itu puplen Pak Hans.”

“Siapa dia?”

“Mantan atasanku. Mungkin tadi dia ke sini. Aku akan mengembalikannya jika bertemu nanti.”

“Benar hanya sebatas rekan kerja?”

“Benar, Lis.”

“Ingat, ya? Jangan terburu-buru jatuh cinta. Kamu harus menenangkan dirimu dulu sebelum melangkah lebih jauh di kehidupan barumu nantinya,” pesan Lisa sambil tersenyum. "Maksudku, kamu baru saja melewati masa yang sulit. Mungkin ini waktu yang tepat untuk fokus pada dirimu sendiri dan memperbaiki diri.”

Maya mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan Lisa. "Aku akan mencobanya. Tidak ingin terjebak lagi dalam masalah yang sama."

“Kalau begitu mandilah dulu. Aku akan membuatkan makan malam untukmu.”

“Wah, akhirnya aku bisa merasakan lagi masakan seorang chef terkenal,” canda Maya.

Lisa sibuk di dapur dan Maya masih menyelesaikan pekerjaannya menyapu halaman. Sesuatu yang janggal membuat Maya tak tenang. Dia merasa seperti sedang dipantau. Merasa seolah-olah ada mata yang memperhatikannya dari kejauhan, membuatnya merasa tidak nyaman.

Maya berusaha menepis perasaan takutnya. Mungkin hanya imajinasinya yang berlebihan setelah mendapat peringatan dari Rachel tadi. Ketika hendak masuk ke dalam rumah, Maya merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.

Maya berbalik cepat dan mendapati seorang pria berdiri di sana. “Reza?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status