Share

4. Teror Yang Hans Ketahui

"Reza?"

"Apa aku membuatmu terkejut?"

"O-oh, t-tidak."

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu?"

"T-tidak." Maya membuka pintu rumahnya. "Ayo, silahkan masuk. Lisa sedang membuat makan malam."

Dengan langkah panjangnya, Reza masuk dan langsung menemui Lisa di dapur. "Kamu menangis? Ada apa?" tanya Reza pada kekasihnya itu.

"Kamu benar akan pergi sekarang?"

"Iya. Ini perintah dari Aidan."

"Tidak bisakah kamu beri aku kepastian kapan akan kembali?"

"Aku sendiri tidak tahu. Tapi, aku janji akan selalu menghubungimu."

Melihat betapa lembutnya sikap Reza terhadap Lisa, membuat Maya teringat kenangan masa lalunya. Dia kembali masuk ke kamar sang anak lalu melamunkan hal yang selalu membuatnya menangis.

"Dulu, sikap Aidan yang lembut dan tulus sangat membuatku yakin kalau kita akan terus bersama. Namun nyatanya, kita berakhir seperti ini."

Pintu kamar terbuka lebar, Reza bicara empat mata pada mantan istri dari atasannya tersebut. "Kamu tidak menginginkannya?"

"Entahlah. Aku hanya mengikuti kata hati."

"Sepertinya masih ada keraguan?"

"Semuanya sudah terjadi. Sekarang aku hanya perlu fokus pada diri sendiri, seperti yang Lisa katakan."

"Ini pesanan dari Aidan." Buket mawar putih dengan harum alaminya sangat segar dipandang. "Dia mengatakan untuk segera hubunginya jika kamu butuh bantuan. Dia juga akan selalu ada jika kamu butuh teman."

"Dia benar-benar mengatakannya?"

"Iya. Apa yang aku katakana ini tentu tidak terdengar tulus. Namun, Aidan benar-benar mengatakannya dengan lembut dan tulus."

"S-sungguh?"

"Tadi dia cemas karena kamu seperti sedang ada masalah saat sedang teleponan dengannya. Apa kamu baik-baik saja?"

"Teleponan? Oh, ponselku ...." Mulai dari saku jas, tas, dan mobil dia periksa dengan teliti. "Apa mungkin tertinggal di kafe itu?"

"Maya, ada tamu datang. Aku tidak mengenalnya."

Hanya satu orang yang terlintas dipikirannya. Benar saja, Hans datang dengan raut wajah tidak cerah seperti biasanya. "Kamu meninggalkan ponselmu." Hans memberikan ponsel yang dimaksud.

"Di mana Pak Hans menemukannya?"

"Saya ingin bicara denganmu."

"Kalau sekarang saya tidak ada waktu."

"Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya ...."

"Saya tahu. Rachel sendiri yang mengatakannya."

Perbincangan itu terlihat mulai serius. Lisa menarik kekasihnya untuk masuk ke masuk ke dalam kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Namun, dia tetap berusaha mendengarnya dengan menempelkan telinganya ke pintu.

“Sayang, itu siapa?” tanya Reza.

“Sepertinya itu atasannya Maya.”

Mereka masih berdiri, saling menatap dan terlihat serius akan hal yang bagi Maya tidak ada urusan dengannya. “Apa dia melakukan sesuatu padamu?”

“Dia hanya memperkenalkan diri.”

“Karenamu, saya jadi harus menghabiskan 2 cangkir kopi sendirian.” Ucapannya tidak mendapat respon apa pun dari wanita dihadapannya yang terus menunduk canggung. “Lagi-lagi, saya membuatmu tidak nyaman, ya? Ah, saya sulit mengendalikan diri.”

“Tidak, kok. Sepertinya malah sikap saya yang membuat Pak Hans tidak nyaman.”

“Iya, benar. Jadi, bisakah bicara santai pada saya? Seperti aku dan kamu? Lagi pula, saya bukan atasanmu lagi sekarang.”

“Kalau begitu, berarti Pak Hans tetap tidak boleh bicara santai pada saya karena saya lebih tua dari Pak Hans.”

Tidak menyangka kalau Maya akan mengucapkan lelucon itu, Hans jadi diam sejenak sebelum akhirnya tertawa. “Baiklah, Mbak Maya?”

“Ah, jangan seperti itu. Anggap saja kita seumuran, deh.”

“Kalau anggap saja kita suami istri, bagaimana?”

***

Reza dengan sangat berat meninggalkan sang kekasih untuk waktu yang tidak pasti. Demi pekerjaan dan tanggung jawabnya sebagai asisten pribadi Aidan, tanpa berpikir panjang Reza langsung pergi ke Kanada saat Aidan memerintahnya.

Sesampainya di Kanada, Aidan menyambutnya dengan santai layaknya teman, bukan rekan kerja. “Aku merasa tenang saat ada kamu di sini.”

“Pak Aidan, bukankah itu terlalu ….”

“Hey, aku masih menyukai wanita. Pikiranmu itu kotor sekali,” kata Aidan sesaat setelah menyeruput kopinya. “Berkali-kali kuperingatkan, jangan bicara formal padaku jika di luar kantor dan diluar urusan pekerjaan. Bahkan usiamu saja lebih tua dariku.”

“Hanya beda 2 bulan saja!” balas Reza dengan suara yang meninggi, tidak sesopan sebelumnya.

“Wah, kamu membentak atasanmu?”

“Sudahlah.”

Reza membaringkan tubuhnya di atsa sofa, sedangkan Aidan duduk dilantai beralaskan karpet bulu yang lembut. “Sopankah seperti itu?”

“Aku lebih tua darimu,” jawab Reza dengan mata yang terpejam dan tangan sebagai bantalannya.

“Ck, sekarang aku yang emosi.”

“Aidan, kamu ingat tidak dengan pria yang pernah menawarkan kerja sama padamu?”

“Sudah terlalu banyak. Siapa yang kamu maksud?”

“CEO perusahaan game yang beberapa kali meminta bekerjasama denganmu. Kalau tidak salah nama perusahaannya adalah Wildfire Productions, kamu ingat?” Pertanyaannya tidak mendapat jawaban. “Kamu tidur, ya?”

“Tidak, aku sedang mengingatnya. Memang ada apa dengan pria itu?”

“Asisten pria itu kenal dengan Maya. Dia menemuinya saat aku datang untuk pamit. Namanya Hans, kamu mengenalnya?”

“Aku bahkan asing dengan nama itu.”

“Kalau aku dengar dari pembicaraan mereka, sepertinya pria itu menyukai Maya.”

Aidan langsung merasa hatinya melemah. “Benarkah?”

“Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu.”

“Bagaimana keadaan Maya?”

“Dia terlihat lusuh dan raut wajahnya tidak bersinar, walau masih tetap cantik. Lisa bilang, Maya menjadi wanita yang sangat cuek dan sangat menutup diri. Dia pasti tidak baik-baik saja. Hari itu pun, dia terlihat kaget dan seperti ketakutan saat aku datang,” ungkap Reza sambil mengingatnya.

“Tugas baru untukmu. Segera cari tahu apa yang membuatnya seperti itu.”

***

Hans belum juga pulang dikarenakan hujan tiba-tiba turun dengan sangat deras disertai petir yang bersahutan. Bahkan, listrik mati dan mereka hanya ditemani beberapa lilin yang menyala. Itu adalah jam tidurnya. Maya menemani Lisa untuk tidur di kamarnya, kemudian meninggalkannya bersama sebuah lilin untuk menemani tidurnya.

“Kamu tidak tidur?” tanya Hans karena melihat Maya datang kembali.

“Belum sampai di jam tidurku.”

“Maya, aku ingin tahu sesuatu darimu.”

“Aku sulit untuk jatuh cinta lagi setelah kehilangan orang yang sangat kucintai.”

“Bukan itu. Apakah kamu percaya kalau aku benar-benar jatuh cinta padamu?” tanya Hans dengan serius.

“Sejujurnya tidak. Kamu adalah pria yang tampan, cerdas, baik, dan sukses. Pasti banyak wanita yang suka padamu. Namun kenapa kamu bisa jatuh cinta padaku?”

“Aku senang kamu memujiku seperti itu.” Hans tersenyum malu. “Memangnya apa yang salah darimu? Kamu adalah wanita yang cantik, cerdas, baik, dan sukses. Pasti banyak pria yang suka padamu, salah satunya aku,” jawab Hans dengan mengulang kalimat Maya.

“Aku sudah pernah menikah dan bahkan memiliki anak. Usiaku juga lebih tua darimu.”

“Apa pun itu, cinta adalah hal yang paling penting. Aku mencintaimu juga karena hal baik dalam dirimu. Tidak ada yang salah. Intinya, aku benar-benar mencintaimu.”

Untuk pertama kalinya Maya menatap Hans dengan tulus, walau dalam kegelapan. Dia perlahan bisa merasakan ketulusan dari semua yang Hans ucapkan. “Aku memberimu kesempatan.”

Hans terkejut. “S-sungguh? Itu harapan untukku?”

Prang!

Sebuah kaca jendela pecah. Hans dengan sigap menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Maya yang menyembunyikan wajah dengan kedua lengannya. Seperti ada orang yang sengaja melempar sesuatu. Untuk yang kedua kalinya, Hans terkena lemparan itu.

“Aw!”

“Kamu baik-baik saja, Hans?”

“Bawa Lisa dan sembunyi di dapur. Cepat!”

Dengan cepat, Hans pergi ke luar dan melihat seseorang yang hendak melarikan diri. Dibawah hujan yang masih deras, Hans sudah sadar siapa orang tersebut. Pasalnya, orang itu berhenti saat tau Hans yang mengejarnya.

“Ini perintah dari Nona Rachel.”

“Apa Tuan Marco sudah tahu?”

“Nona Rachel akan langsung memberitahunya kalau kamu tidak menurutinya.”

“Jika dia memerintahmu untuk menyakiti wanita di rumah ini, tolong jangan kamu lakukan.”

Pria yang pernah menjadi temannya itu, dengan berani menyayatkan pisau ke lengan Hans. “Kamu memang temanku, tapi aku bekerja untuk Tuan Marco. Tolong berhenti, Hans. Jangan membuat hidupmu dan hidup wanita itu celaka.” Setelahnya, dia pergi tanpa peduli dengan hujan yang deras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status