"Dimana wanita itu di rawat?" Nathan bertanya pada Arnold.
Nathan sengaja menemui Arnold di ruangannya. Untuk memastikan bahwa memang benar Celline di bawa ke Rumah Sakit ini. Dia juga ingin mengetahuai semua informasi mengenai keadaan Celline saat ini secara rinci.
"Saat ini dia berada di ruang bersalin, karena kecelakaan itu, bayi yang di kandungnya meninggal di dalam perut. Tadi perawat sudah memberikannya suntik perangsang, agar bayi itu bisa keluar dengan alami layaknya persalinan normal. Meningat usia kandungannya sudah memasuki 8 bulan saat ini." Jelas Arnold panjang lebar.
"Baik lah. Buat dia merasakan sakit yang luar biasa saat mengeluarkan bayi itu. Aku ingin membuatnya merasakan sakit yang sama dengan yang di alami oleh Rachel. Jangan memberikannya suntikan tenaga atau apa pun itu untuk mempermudah prosesnya. Ingat itu!" Perintah Nathan, membuat Arnold bergidik saat mendengar suaranya yang terdengar sangat kejam saat memberi perintah ini.
"
Seorang perawat menggendong tubuh bayi yang telah dingin, ia bersiap untuk membawa bayi tersebut keluar. Karena mereka mendapat perintah untuk melakukan tes DNA pada bayi tersebut. Celline yang melihat bayinya akan di bawa, kembali histeris. "Hei kau, kemana kau akan membawa bayiku? Tinggalkan dia di sini. Aku yakin sebentar lagi dia akan bangun. Kau tau Nathan? Cepat telepon dia, bayi itu adalah anaknya. Dia anak Nathan. Nathan harus mengakuinya. Aku melahirkan anak untuk Nathan." Jeritannya semakin melemah, karena tenaga yang sudah terkuras habis. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk terus berteriak dan menangis histeris. Akhirnya dia terbaring dengan lemah. Air mata terus mengalir dari sudut matanya. Perawat membersihkan semua hal yang bersangkutan dengan persalinan Celline tadi. Lalu membawa semua itu untuk di segera di buang. Setelah semua perawat pergi, tinggal lah Dokter wanita itu yang menemani Celline. Saat ia akan memasang infus untuk Celline, Roy masuk
Nathan masih setia duduk di samping ranjang tempat Rachel berbaring. Kedua tangannya menggenggam sebelah tangan Rachel yang di hiasi selang infus. Cukup lama sudah Rachel tertidur. Tak sedetik pun Nathan meninggalkannya. Pintu kamar itu di ketuk. Tok... Tok... Tok... "Masuk." Jawab Nathan. Terlihat Roy membuka pintu, lalu melangkah masuk. Ia hanya berdiri si belakang pintu. Memberi salam dengan membungkuk kan badan. "Boss, semua sudah selesai. Tinggal menunggu hasil tes DNA keluar. Di perkirakan itu akan memakan waktu dua sampai tiga hari." Lapor Roy, setelah tadi ia menemui Dokter Bram dan Arnold menanyakan perihal tes itu. "Baik lah. Rachel akan pulang hari ini. Aku akan melanjutkan perawatannya di mansion. Tolong kau urus semuanya, Roy." Perintah Nathan. "Baik, Boss." Ucapnya, lalu undur diri. Keluar dari kamar itu. Nathan menatap lembut wajah kekasihnya. Dia ingin menjaga dan merawat Rachel sendiri di bawah pengawasan
Setelah penyambutan yang haru pilu itu. Semua kembali pada tempat dan tugasnya masing -masing. Rachel berbaring di kamar yang cukup besar. Dimana ia pernah berada sebelumnya. Namun, terlihat berbeda. Setelah beberapa menit berpikir, tentang apa yang berbeda dari kamar ini. Akhirnya Rachel menyadarinya. "Kapan kau mengganti dekorasi kamar ini? Warna ini terlihat sangat indah dan cocok untuk suasana hatiku." Ungkap Rachel dengan senyum bahagia. "Aku tidak sempat mengerjakannya, Roy lah yang bekerja keras melakukan semua ini." Jawab Nathan dengan sedikit tersenyum. "Kau ini, selalu saja menyusahkan Roy. Apa kau mau dia tidak bertenaga saat malam pertamanya nanti? Hah?" Rachel memberikan sedikit cubitan di perut Nathan. "Aaaww... Kenapa kau terus mengkhawatirkan Roy? Dia itu bawahanku, tentu saja kusuruh melakuan semua pekerjaan." Nathan tak mau di salah kan. "Tapi, mendekor kamar ini bukan tugasnya. Ada tukang yang ahli dalam hal in
Cukup lama kedua sahabat itu berbincang. Bella memastikan Rachel meminum obatnya sampai habis. Setelah puas, Bella menyuruh Rachel untuk kembali beristirahat. Karena, dalam masa pemulihan ini, Rachel tidak bolej terlalu banyak bergerak. Setelah melihat sahabatnya itu tertidur, Bella keluar dari kamar dengan langkah yang hati-hati. "Terima kasih, sudah mengizinkanku bertemu dengannya di mansion ini." Ucap Bella tulus pada Nathan. "Tidak masalah. Aku seharusnya berterima kasih padamu. Selama ini, kau telah menjaga dan merawatnya dengan baik selama aku tak di sampingnya." Nathan juga bersungguh-sungguh mengatakan hal itu. "Itu sudah menjadi kewajibanku. Aku sahabatnya. Tapi, bagiku dia sudah seperti adikku sendiri. Jadi, aku akan memastikan hidupnya bahagia dan baik-baik saja." Jawab Bella lagi. "Ya, aku rasa dia sangat beruntung memiliki sahabat seperti dirimu." Nathan merasa sangat bersyukur, setidaknya ada Bella yang menemani Rachel selama ini.
Wajah Rachel memerah karena malu saat mendengar ucapan Arnold. Nathan langsung menendang kaki Arnold dengan sedikit bertenaga. "Apa yang kau katakan? Apa kau tidak melihat ada anak di bawah umur di sini?" Ucapnya lalu melirik ke arah Key yang sedang asik memijit lembut tangan Ibunya. "Wah, lihat itu. Sekarang dia malu di depan Putrinya. Haha." Kelakar Arnold lagi. "Aku tidak yakin, mereka sudah pernah berolah raga malam sejak bertemu kembali." Selidik Bella, matanya menatap Rachel yang kini terlihat canggung. "Apa dia sangat payah? Ya, mungkin saja akibat kecelakaan dulu sistem reproduksinya mengalami sedikit gangguan." Sepertinya, Arnold senang sekali menganggu Nathan kali ini. "Bukan begitu, malam pernikahan akan menjadi malam yang sangat panjang. Jadi kami perlu menyiapkan tenaga untuk malam itu. Kau ingin lihat betapa perkasa dan berkualitasnya cairanku?" Nathan membela diri karena merasa terpancing oleh ucapan Arnold. "Oh ya? Bena
Tiga hari telah berlalu.Di kamar utama.Nathan, Rachel dan Key menghabiskan waktu bersama-sama. Dengan sabar, Nathan dan Rachel mendengarkan semua cerita yang di ucapkan Key. Mulai dari cerita tentang sekolah, tentang Nathan yang mendampinginya mengambil raport waktu itu, hal itu membuat Rachel terkejut. Karena ia sama sekali belum tau mengenai hal itu. Namun akhirnya, ia merasa sangat bangga pada Nathan. Ia sungguh-sungguh menerima Key sebagai Putrinya. Dulu, Rachel sempat berpikir saat mengatakan kebenaran ini, Nathan akan menyangkal. Bagaimana pun juga, Rachel belum sempat mengatakan kebenaran itu dulu. Di tambah, mereka tak pernah bertemu lebih dari tujun tahun.Key juga bercerita tentang penculikan yang di alaminya saat itu. Nathan dan Rachel memeluk Putrinya itu. Sungguh merasa bersyukur, Key memiliki ide-ide yang akhirnya bisa menyelamatkan hidupnya.Mungkin, karena terlalu lelah setelah bercerita banyak, Key tertidur di atas pangkuan Nathan. Di s
Nathan kembali ke rumah tua. Di sana, Roy sudah menunggu. Roy menyambut kedatangan Nathan dari gerbang utama. Lalu mulai mengikuti laju mobil ke depan rumah tempat mobil Nathan di parkir. "Boss." Sapa Roy dengan sedikit menundukkan badan. "Dimana surat itu, Roy?" Tanya Nathan tanpa basa-basi. "Ada di dalam, Boss. Tuan besar dan Nyonya sudah menunggu di ruang tamu." Jawab Roy dengan serius. Nathan melangkahkan kakinya ke rumah tua dengan raut wajah yang tak bisa di artikan. Sudah lama sekali ia tidak pulang ke rumah ini. Sejak pernikahannya dengan Celline, ia hanya tidur di apartemennya. Bisa di hitung berapa kali dia menginap di rumah pernikahannya itu. Tentu saja di kamar yang berbeda dengan Celline. Saat langkah besarnya memasuki ruangan yang cukup besar itu. Matanya langsung menangkap sepasang suami isteri yang usianya sudah senja. Mereka adalah Frans dan Jeny. Orang tua Nathan. "Putraku... Akhirnya, kau pulang." Jeny berdiri
"Mami akan kursus memasak, jika memang Papi berkata begitu." Jawab Jeny sambil tersenyum. Namun, dari jawaban itu Nathan dapat menyimpulkan, bahwa Jeny belum bisa menerima Rachel ke dalam keluarganya. "Mami, aku berharap Mami bisa bersikap baik dan sopan pada Rachel saat kami berkunjung besok siang." Permintaan Nathan hanya di jawab Jeny dengan suara mendehem saja. Frans melihat watak keras kepala isterinya yang memang dari dulu susah untuk dia taklukan. "Biarkan Mami bertemu dengannya besok, mungkin Mami bisa menerima setelah berjumpa langsung dengannya." Frans berusaha menengahi. "Ya, mungkin begitu lebih baik." Nathan pun menimpali. "Aku akan pergi sekarang. Ada sesuatu yang harus kukerjakan." Lanjut Nathan, setelah melihat arlojinya sudah menunjukkan jam lima sore. "Kenapa begitu terburu-buru. Mami akan membuatkan makanan kesukaanmu. Tinggal lah untuk makan malam." Bujuk Jeny. "Maafkan aku, Mi. Tapi aku benar-bensr tidak bi