"Jenia!"
Perempuan bertubuh ringkih itu tampak berkeringat. Hari masih pagi, tetapi suara melengking dari dalam kamar, membuatnya harus sigap menghampiri."Kenapa bajuku seperti ini?" Thomas sudah berkacak pinggang seraya mengacungkan setelan jas yang tampak rapi di gantungan baju."Sebentar, biar aku ganti dengan jas yang lain saja." Jenia memilih untuk mengalah. Hanya karena ada bekas lipatan yang luput dari setrika."Cepatlah! Aku tak mau datang terlambat." Thomas mendengkus keras.Dengan cekatan Jenia mengambil setelan jas pengganti dari lemari pakaian, lalu keluar untuk menyerahkannya. "Yang ini bagaimana?"Thomas meraih setelan itu tanpa berkata apa-apa. Jenia menghela napas panjang. Dia keluar dari kamar untuk menata makanan di meja.Jenia menatap gugup pada sosok yang sudah tampak rapi dengan setelan jasnya itu. Thomas menghampirinya untuk sarapan. Ada rasa resah yang menggelepar karena kalimat itu sudah ada di ujung lidah Jenia."Bi-bisakah hari ini pulang lebih awal?" Sulit sekali permintaan itu terucap dari bibir tipis Jenia.Thomas yang baru saja duduk di kursi makan, menoleh sebentar. "Aku tak tahu dan tidak janji. Jangan menungguku!"Jenia menelan ludah. "Tap-tapi tolong usahakan untuk pulang cepat. Untuk malam ini saja."Tak peduli kalimat itu terdengar seperti memelas perhatian suaminya sendiri, Jenia tetap saja berusaha."Ck! Kau ini keras kepala sekali. Pulang cepat atau tidak, aku belum tahu. Sudahlah, aku kehilangan selera makan. Menyebalkan!" Thomas menyambar tas kerja berisi laptop lalu pergi begitu saja.Tidak ada kecupan manis seperti layaknya pasangan suami istri normal di luar sana. Semua berjalan kaku dan datar. Seakan-akan hangatnya cinta enggan menyapa pasangan itu.Jenia menghela napas. Dinding tinggi yang dibangun suaminya, terlalu menguras tenaga untuk dipanjat. Namun, Jenia masih belum ingin menyerah.Jenia ingin memperbaiki keadaan. Maka dengan cekatan, Jenia menyelesaikan semua pekerjaan rumah, tanpa cela. Semua sudut rumah yang dibeli Thomas sebagai hadiah pernikahan itu, harus tampak rapi dan bersih.Usai berberes rumah, Jenia ingin duduk untuk meluruskan kaki. Dibawanya nampan berisi kentang tumbuk beserta sosis dan secangkir teh lemon ke arah gazebo belakang.Bagi Jenia yang terbiasa hidup sendiri, *me time* seperti ini sudah sangat menyenangkan. Dengan tenang, dia melahap perlahan sarapan pagi yang agak kesiangan itu.Jenia memindai sekeliling. Taman kecil yang menjadi titik pemandangan setiap hari itu menjadi hiburan tersendiri baginya. Tak mengapa jika dia seperti terkurung dalam sangkar. Toh, Jenia tak punya banyak pilihan.Jenia sudah terbiasa dengan semua rutinitas yang ada sejak menjadi istri Thomas. Senyum getir tercetak di wajah cantik berlesung pipi itu. "Dia mencintai aku, dengan cara yang berbeda."Kalimat itu selalu diulangi Jenia setiap pagi, di tempat yang sama. Jenia mendoktrin diri dan alam bawah sadarnya, agar tetap tegak berdiri sekeras apa pun badai dalam rumah tangga mereka.Setiap pagi, Jenia menyempatkan diri untuk mengenang masa-masa awal sampai akhirnya mantap setuju menikah dengan Thomas. Afirmasi positif itu mampu mengusir semua lintasan suara buruk yang menggema di kepala dan hatinya.Jenia menghela napas panjang. Teh dan sarapannya sudah habis. Dia membawa peralatan makan bekas pakai itu menuju dapur. Dalam sekejap, semuanya sudah kembali bersih dan nyaman dipandang.Tidak banyak yang bisa dilakukan Jenia. Tuhan belum menitipkan anak di rahimnya. Sebuah hal yang menjadi bumerang bagi perempuan berbulu mata lentik itu.Dua tahun usia pernikahan mereka. Masih sangat pagi untuk menyerah. Karena Jenia tahu, Thomas pernah begitu memanjakan dan menyanjungnya penuh cinta.Jenia menatap penuh harap ke sekeliling kamar. "Aku akan membuat malam ini sebagai titik awal hubungan kami. Aku akan meraih kembali hati Tom yang dulu pernah begitu lembutnya."Untuk malam ini saja, perempuan berpinggang ramping itu ingin menjadi sosok yang berbeda. Demi menuruti perintah ibu mertua yang terus-menerus menagih hasil dari alat uji kehamilan dengan dua garis merah tercetak jelas.Jenia membuka kotak beludru yang menampilkan merk pakaian ternama. Sehelai gaun berpotongan rendah yang akan menampilkan lekuk tubuh rampingnya itu membuat Jenia berekspektasi tinggi.Gaun berwarna merah itu diletakkan di atas ranjang. Jenia memilih untuk berbaring meringkuk di sebelahnya. Jemari lentiknya menyusuri lekukan gaun yang memiliki belahan memanjang hingga ke setengah paha."Apa kau akan kembali menatap penuh cinta jika aku mengenakan gaun ini?" Jenia menatap ke arah foto pernikahan yang terpajang di dinding kamar itu.Jenia menatap sendu sebelum menghela napas panjang. "Sepertinya aku harus menyiapkan semuanya lebih spesial, agar kau mengerti tentang perasaanku."Jenia memilih untuk menghabiskan waktu di dapur. Masakan spesial untuk malam penting ini harus diselesaikan dengan cepat. Siapa tahu Thomas berubah pikiran lalu pulang lebih awal, begitu pikir Jenia.Aroma harum menguar tajam. Ada asinan kol, irisan daging kalkun, sosis daging sapi juga kentang tumbuk. Tak lupa keju karena Thomas sangat menyukainya. Untuk pencuci mulut, Jenia membuat pie apel dalam ukuran loyang mini.Setelah memastikan semua makanan itu mampu menggugah selera Thomas, Jenia mengulum senyum. "Ah, ya, jangan lupakan botol wine yang menjadi penghangat suasana malam ini."Jenia melirik jam. "Sebentar lagi jam pulang kantor, tapi aku masih punya sedikit waktu untuk mempersiapkan diri."Jenia memilih untuk berendam sebentar di bak mandi yang sudah berisi busa sabun. Hal yang tidak bisa dilakukannya setiap hari. Mengingat semua pengeluaran harus diminimalisir seriit mungkin.Tanpa sadar, Jenia malah tertidur di dalam bak mandi berisi air hangat itu. Ketika tersentak, Jenia gelagapan. "Astaga, bisa-bisanya aku ketiduran di sini."Jenia langsung sibuk membersihkan diri. Tak lupa dipakainya baju tidur tipis di balik gaun yang sudah dipersiapkan itu. Agar tampak maksimal, Jenia membubuhi riasan tipis di wajah. Bibirnya sengaja diberi lipstik yang menampilkan kesan kenyal dan basah.Jenia mematut diri di depan cermin. Sebagai pelengkap, disemprotnya parfum di titik-titik tertentu. "Malam ini, ulang tahun pernikahan kami yang kedua. Semoga saja dia tidak lupa."Jika tahun lalu rencana itu gagal karena Thomas menghadiri pesta pernikahan orang terdekatnya. Maka Jenia berharap malam ini semuanya akan berjalan lancar.Jenia duduk di depan meja makan yang sudah diberi dua lilin berwarna merah itu. Tak lupa Jenia mengabadikan momen itu di ponsel keluaran lama miliknya. Tanpa berniat mengunggah foto itu ke sosial media mana pun.Jenia juga mengambil beberapa foto diri. Karena sangat langka dirinya berdandan seperti ini. "Kau cantik sekali, Nyonya Thomas Evra."Sayang, sampai akhirnya Jenia tertidur dengan posisi kepala bertelungkup di meja, Thomas tak kunjung kembali.Jenia terbangun ketika jarum jam menunjukkan angka tiga pagi. Tubuhnya terasa pegal. Matanya mengerjap berkali-kali."Dia tidak pulang?" Jenia seakan-akan bertanya kepada dua batang lilin merah yang sudah hampir padam.Sambil berlinang air mata, Jenia memakan semua yang ada di meja. Lalu menutup luka hatinya dengan menenggak wine."Ternyata sekeras apa pun berusaha, aku hanyalah sampah di matamu." Sempoyongan Jenia berjalan, menuju kamar untuk merebahkan tubuhnya.Dia bahkan tidak peduli dengan maskara yang sudah luntur meninggalkan jejak hitam di sepanjang pipi. Jenia tidur dalam posisi telungkup. Membawa lelah dan sedihnya ke alam mimpi.Sementara di tempat yang menjadi pelarian banyak orang, di mana dentum musik terdengar memekakkan telinga, Thomas terkekeh sendiri sambil menenggak cairan alkohol. "Jangan kau pikir aku lupa, apa tujuanmu memintaku agar cepat pulang malam ini."Seorang perempuan dengan tinggi 167cm tampak tidur nyenyak di atas sofa. Rambut cokelat gelap miliknya tampak berantakan. Tadinya dia berniat untuk menunggu sang suami yang sudah dua hari belum kembali. Namun, malah ketiduran di ruang keluarga.Suara pintu yang dibuka tak mampu membuatnya terbangun. Karena seharian tadi, ibu mertuanya memaksa untuk ditemani ke supermarket. Wanita itu baru kembali setelah Jenia memasak makanan yang dibawa pulang tanpa disisakan sama sekali.Tubuh sempoyongan Thomas berhenti di depan sofa. "Lihatlah, Keledai ini! Seharian di rumah kerjanya hanya bermalas-malasan."Melihat bawahan piyama pendek yang dikenakan Jenia agak tersingkap, seringai nakal muncul di kepala Thomas. Tanpa aba-aba, dilemparnya tas kerja ke lantai. Lalu ditindihnya tubuh Jenia. Tentu saja istrinya terkejut."Thomas, kau sudah pulang?" tanya Jenia dengan suara serak. Khas bangun tidur.Thomas tak menjawab, malah sibuk mencari kepuasannya sendiri. Jenia meringis. "Ah. Sakit. Bi-bisakah
Jenia membuka mata lalu mengerjap berkali-kali. Matanya terasa panas. Akibat demam yang menyerang. Dia merasa heran ketika mengingat seharusnya sedang pingsan di ruang depan, bukan di kamar."Kenapa aku bisa pindah ke kamar? Apa Thomas yang melakukannya?" Jenia hendak duduk, tetapi rasa nyeri di kepala langsung terasa. Jenia menghela napas sejenak. "Ini bukan pertama kalinya aku sakit. Aku pasti bisa mengurus diri sendiri."Jenia memaksakan diri untuk berjalan ke dapur. Tertatih-tatih langkahnya. Dia harus duduk di kursi untuk mengatur napas yang terasa berat. Jenia menahan semua keinginan untuk berbaring meringkuk di dalam selimut. Tidak ada alasan untuk mengasihani diri. Jenia harus makan dan minum obat.Hanya ada roti yang bisa langsung dimakan. Maka Jenia menyeduh teh agar bisa langsung mengisi perutnya. Sebutir pereda demam dan sakit kepala, pun ditelan setelah perut rampingnya terisi.Jenia merasa tenaganya terkuras banyak. Dia kembali tertatih-tatih menuju sofa. Ada ingatan m
Melihat angkuhnya sosok berstatus Ibu mertua itu, Jenia berkali-kali meneguk ludah. Kesan tak ramah yang selama ini selalu muncul, sekarang semakin tampak saja.Wanita paruh baya yang sudah dihinggapi dengan kerut-kerutan halus di wajah itu, hanya menatap masam. "Kenapa lama sekali?"Thomas mendengkus keras. "Mama jangan menambah buruk moodku. Semua gara-gara siput tak berguna di belakangku."Jenia menggigit bibirnya. Padahal sejak turun dari mobil tadi, Thomas hanya melenggang santai. Semua barang bawaan Jenia lah yang membawanya sampai ke hadapan sang mertua. "Bawa masuk ke kamar putraku. Astaga, bisakah aku meletakkan kau di kamar pembantu saja?" Daisy tampak sangat kesal. "Terserah Mama saja. Aku lapar." Thomas masuk begitu saja, mengabaikan Jenia yang masih direpotkan dengan koper-koper itu.Tidak ada satu pun yang berniat untuk membantu Jenia. Lagipula Jenia sudah mengetahui di mana letak kamar Thomas, di lantai dua. Jadi semuanya seperti membiarkan saja kegiatan itu. Jenia n
Otak Jenia dipaksa untuk berpikir keras. Baginya ini semua seperti halusinasi yang sudah lama tidak muncul. Hanya saja, rasanya seperti tak tahu diri jika masih menganggap sosok laki-laki itu nyata."Berhentilah bersikap bodoh!" Thomas menghardik, pelan, tetapi berdesis di telinga Jenia."Ini suamiku. Jamael Morgan." Freya menoleh ke arah laki-laki bermata kehijauan itu. Tentu saja Jenia tidak tahu-menahu tentang pernikahan Freya. Karena Thomas dan Daisy melarang keras Jenia untuk datang ke acara pesta. Jenia mengerjap, lagi. 'Ternyata ini bukan halusinasi. Dia ... nyata dan masih hidup.'Luka dalam yang ditinggalkan oleh sosok tinggi tegap dengan tatapan hangat meneduhkan hati itu, kembali berdenyut. Jenia terpaksa menundukkan pandangan."Dasar perempuan aneh! Ayo, Jamie. Kita masuk. Aku rindu masakan Mama." Freya menggandeng lengan Jamael.Tawa ceria yang terdengar dari bibir seksi Freya, semakin menambah luka hati Jenia. Bagaimana bisa sang mantan pacar, pemilik cinta pertama, se
Cuaca di kota Chesnut cukup baik pagi ini. Sayangnya, tubuh Jenia terasa remuk. Semalam, Thomas tega membiarkannya tidur di lantai yang dingin. Hanya berlapis selembar selimut tipis, milik Jenia sendiri.Tak hanya itu, entah jam berapa akhirnya Jenia bisa memejamkan mata. Karena tak mudah baginya untuk membuang rasa yang bercampur aduk. Mengingat ada Jamael di lantai bawah. Jenia benci melihat sikap sok tenang yang ditampilkan mantan kekasihnya itu. Jenia benci melihat bagaimana mesranya Freya menggelayut manja di lengan kokoh yang pernah menawarkan kedamaian padanya. Entah berapa lama dan banyak Jenia membatin sambil menatap hampa ke langit-langit kamar. Bukan hanya itu, Jenia pun melengkapinya dengan ratapan tanpa suara. Hanya air mata yang berlinang sampai akhirnya dia kelelahan.Sekarang, Jenia terbangun dengan wajah yang mengerikan. Mata panda itu berpadu dengan cekungan yang tampak makin dalam. Belum lagi tulang pipi yang menonjol.Jenia bergegas bangun lalu melipat selimut. T
Tubuh Jenia yang ringkih itu sudah banjir peluh. Seisi rumah yang biasa ditempati bersama Thomas, sudah dibersihkan. Jenia masih sibuk mengatur napas yang terasa ngos-ngosan sambil duduk di depan televisi. Benda yang cukup jarang ditonton di waktu pagi hingga petang. Jenia duduk di kursi makan. Semilir angin berhembus masuk dari jendela kaca yang sengaja dibiarkan terbuka lebar. Bahan makanan yang masih tersisa di kulkas, bisa diolah agar Jenia bisa makan. Tanpa harus pulang ke kediaman mertuanya dengan perut lapar. Apalagi Thomas hanya memberikan uang sekadar untuk ongkos saja. Jenia menarik napas dalam-dalam. Berkali-kali diembuskannya agar merasa lebih lega. Nyatanya, tidak. Ganjalan di dalam hatinya tetap saja enggan beranjak."Kenapa takdir hidup selucu ini? Aku harus bertemu dengan mantan pacar yang berengsek itu dengan status ipar." Jenia menatap kesal pada satu titik objek di depan matanya. Terlebih lagi melihat sikap sok polos yang ditampilkan Jamael. Jenia benci. Ingin
Plakkk!Satu tamparan mendarat telak lagi di pipi Jamael. Jari telunjuk Jenia mengacung seiring dengan tatapan marah. "Kau! Benar-benar tidak tahu malu. Kenapa kau melakukan hal seperti tadi, hah? Kau sengaja ingin menempatkan aku seperti perempuan murahan?"Jamael tersenyum, menahan rasa sedih yang menjalar di dada. Padahal tadi ia sudah merasa jemawa. Merasa sudah bisa menggapai kembali hati satu-satunya perempuan yang sangat dicintainya itu."Sampai kapan pun, jangan berakting kalau kita pernah saling kenal! Jangan menambah berat masalah dalam hidupku. Bagiku, kau sudah lama mati, Tuan Jamael Morgan!" Jenia menatap penuh benci dan marah sebelum pergi dari ruang keluarga itu.Air matanya luruh tanpa bisa dicegah. Dia merasa sudah mengkhianati pernikahan bersama Thomas. Walau selama ini, dia sendiri tidak bisa memastikan apakah Thomas setia. Namun, bagi Jenia, pernikahan mereka tetaplah hal yang paling sakral di dunia.'Ampuni aku, Tuhan. Aku malah seperti terkena hipnotis. Bodohnya
"Kenapa kau?" Thomas menatap heran pada wajah pucat Jenia.Jenia tak mampu berkata apa pun. Detak jantungnya menggila. Takut kalau Thomas mendengar semua kalimat ketusnya untuk Jamael."Apa kau sudah selesai membersihkan kamar Freya?" Tatapan Thomas malah semakin tidak bersahabat."I-iya, sudah." Telapak tangan Jenia semakin lembab."Bagus. Aku tak suka mendengarnya menggerutu tentang lambannya kau. Pergilah. Kau bau!" Thomas mengusir Jenia.Dengan segera Jenia berlalu. Tak bisa dipungkiri bahwa di balik sikap takutnya, ada rasa lega luar biasa. Karena Thomas tidak tahu ada hubungan apa di antara dirinya dengan Jamael.Sayangnya, Jamael mendengar ucapan ketus yang dilontarkan Thomas untuk Jenia. Lelaki itu memejamkan mata, merasa bersalah karena ada andilnya dalam kemalangan yang menimpa sang mantan pacar.'Maafkan aku, Jenia. Si pengecut ini memang sangat buruk. Dengan apa aku bisa menebus semua dosa di masa lalu?' Jamael menghela napas berat.Sudah ada ikatan yang sakral di antara m