Share

Cinta Pengganti
Cinta Pengganti
Penulis: Kanietha

1. Tetap Tenang

"Seharusnya, kamu bilang dari awal kalau sudah pernah nikah, dan punya anak." Bumi berdecak kesal dan kecewa. Tatapannya berlari sejenak, pada seorang wanita paruh baya yang tengah menggandeng seorang bocah. Perkiraan Bumi, anak laki-laki tersebut baru berusia sekitar satu tahun, karena masih belum lancar berjalan.

Kiya menghela panjang. “Aku sudah punya rencana mau bilang, tapi—“

“Rencana?” putus Bumi kembali berdecak, sambil mengacak-acak rambut cepak yang baru saja dipotongnya. “Kalau aku nggak ada liputan di sekitar sini, aku nggak yakin kamu bakal bilang itu semua.”

“Mi, dengerin—“

“Aku kecewa, Ki.” Bumi kembali memutus ucapan Kiya, tanpa mau mendengar ucapan gadis itu. “Aku nggak tahu, apalagi yang kamu sembunyikan selain ini.”

“Nggak ada,” jawab Kiya cepat. “Aku berani sumpah!”

“Kemana ayahnya? Suamimu?”

“Dia … ada,” jawab Kiya menelan ludah. “Kami sudah cerai dan—“

“Aku nggak mau …” Lidah Bumi kembali berdecak, lalu membuang kasar napasnya. “Lebih baik, kita instropeksi diri masing-masing dulu. Kita … pikirkan lagi hubungan ini, karena aku nggak tahu mau dibawa ke mana.”

“Maksudnya?”

Bumi mengendik gusar. “Kita break dululah, Ki. Banyak yang harus aku pikirkan ke depannya kalau masih harus jalan sama kamu. Sorry.”

~~~~

“Gila!” Gilang tertawa sinis saat melihat Kiya benar-benar menandatangani surat yang dibuat pagi tadi. Tidak ada beban sama sekali saat Kiya membaca ulang seluruh isi kontrak yang sudah disepakati, lalu membubuhkan tanda tangannya. “Di kepala lo itu, isinya cuma uang, uang dan uang, ya, Ki!”

“Saya realistis, Mas.” Setelah menandatangani berkasnya, gadis yang bernama Saskiya Syahputri itu memberikan kertas tersebut pada Gilang. “Kalau pacaran sama Mas Gilang bisa bikin kerjaanku berkurang, tapi uangku jadi banyak. Kenapa, nggak? Lagian, Mas butuh saya buat meyakinkan pak Adi biar bisa megang Jurnal, kan? Jadi, anggap aja ini simbiosis mutualisme.”

Sejak putus dari Bumi dahulu kala, seluruh dunia Kiya berubah. Ucapan pria itu, membuat sudut pandang Kiya terhadap hidupnya berbalik 180 derajat. Kiya sama sekali tidak butuh pria untuk bersandar. Yang Kiya butuhkan hanyalah menjadi diri sendiri, dan bekerja keras untuk membahagiakan keluarga kecilnya.

“Selain matre, lo licik juga.” Gilang melihat dua buah tanda tangan Kiya di kertas yang berbeda. Setelahnya, barulah ia juga membubuhkan tanda tangan di tempat yang sudah tersedia di sana.

“Seengaknya, saya nggak ngerugiin orang,” sanggah Kiya sembari memberikan senyum manisnya pada Gilang. “Dengan adanya surat perjanjian ini, Mas Gilang untung, saya juga untung. Oia, kalau ada wacana nikah, jawaban kita harus sama.”

“Maksudnya?” Gilang menunda untuk membubuhkan tanda tangan pada berkas yang kedua. Menunggu Kiya menjawab pertanyaannya.

“Saya mau Mas Gilang jadi CEO dulu, baru kita nikah,” ucap Kiya yang baru saja memikirkan hal tersebut. “Dengan begitu—”

“Aduuh!”

Kiya terbelalak, dan segera berdiri dari tempat duduknya. Berjalan cepat ke arah pintu yang terayun ke dalam, setelah mendengar suara Kasih mengaduh dari sana. “Kasih?”

Kiya menarik handle pintu. Membuka lebar, kemudian keluar ruangan dan melihat ke sekitar. Tidak ada tanda-tanda gadis kecil itu di sana, tetapi Kiya yakin sekali keponakan Gilang yang berusia tujuh tahun itu baru saja ada di sekitar pintu.

Jangan-jangan, gadis kecil itu mendengar semua pembicaraan yang terjadi antara Kiya dan Gilang. Buru-buru Kiya berbalik masuk, dan menutup rapat pintunya. Selama ini, ruang kerja milik Adi tersebut memang tidak pernah tertutup, saat Kiya membantu Gilang mempelajari beberapa hal yang dikerjakan oleh kakak perempuan pria itu di perusahaan. Namun, mereka lupa bila pembahasan yang dilakukan kali ini adalah hal yang sensitif, sehingga lupa menutup rapat pintunya.

“Mas! Saya yakin Kasih barusan nguping obrolan kita.”

“Biarin.”

“Kok biarin?” Kiya bertanya dengan cemas. “Nanti kalau dia cerita sama bu Elok gimana?”

“Biar gue yang bicara dengan Kasih,” ujar Gilang tetap santai. Berbanding terbalik dengan Kiya, yang khawatir bila Kasih melapor pada sang mama, Elok Mahardika. “Kalau memang dia dengar pembicaraan kita, nanti biar gue yang handle semuanya.”

“Yakin, Mas?”

“Lo nggak denger yang gue omongin, apa?” Gilang berdecak karena Kiya masih saja terlihat khawatir.

Andai kecelakaan mobil itu tidak terjadi, Gilang mungkin tidak akan berakhir dengan rasa rendah diri seperti sekarang. Sampai-sampai, ia harus meminta Kiya, asisten pribadinya bekerja sama untuk meyakinkan papanya bahwa Gilang sudah berubah. Ia sudah tidak lagi bermain dengan perempuan-perempuan di luar sana, dan menjalin hubungan serius dengan Kiya. Mantan asisten pribadi Elok, yang sudah sangat dipercaya oleh keluarga Mahardika.

“Denger, Mas, denger.” Kiya juga balas berdecak, karena setelah mengalami kecelakaan tempo hari, emosi Gilang sedikit tidak bisa terkontrol. Padahal, pria itu dulunya terkenal ramah, dan sangat baik terhadap semua wanita, termasuk Kiya.

Akan tetapi, Gilang tidak berani macam-macam pada Kiya karena ada Elok di belakangnya.

“Sekarang, simpan berkas lo baik-baik.” Gilang menyodorkan berkas yang harus disimpan oleh gadis itu. “Jangan sampai ada yang tahu. Paham, lo!”

“Ya, pahamlah, Mas.” Kiya segera mengambil berkas tersebut, lalu beranjak menuju sofa, tempat tas kerjanya berada. Ia memasukkan berkas tersebut ke dalamnya, kemudian kembali menghampiri Gilang yang sedari tadi tidak beranjak dari meja kerja. “Apa Mas Gilang butuh sesuatu lagi?”

“Kenapa?”

“Kalau nggak ada, saya mau pulang.”

“Lo belum bisa pulang, kalau belum gue suruh pulang,” kata Gilang seenaknya. “Gue mau lihat semua arsip notulen rapat direksi.”

Kiya menarik napas dan menahannya. Gilang yang sekarang, sungguhlah menyebalkan. Keramahan yang dulu kerap ditunjukkan, kini sudah jarang terlihat karena mood pria itu selalu saja naik turun tidak menentu.

“Oke, Mas.” Saat menerima pekerjaan menjadi asisten pribadi, Kiya sudah tahu betul dengan resiko yang akan dihadapi. Tidak ada jam kerja yang pasti, karena Kiya harus siap sedia menerima perintah kapan pun itu. Namun, bayaran yang diterimanya memang sangatlah sepadan. “Saya mau ke toilet sebentar.”

“Hm.” Gilang mengibaskan tangannya pada Kiya, lalu beralih pada layar komputer yang penuh dengan data-data membosankan. Ia rindu bekerja di lapangan. Bertemu orang banyak, dan bersenang-senang tanpa batas seperti dahulu kala.

Akan tetapi, Gilang merasa rendah diri dengan keadaannya saat ini. Jika diperhatikan baik-baik, kaki Gilang sudah tidak bisa berjalan sempurna seperti dahulu kala. Sedikit pincang, dan masih belum bisa digunakan untuk berlari.

Saat penat tiba-tiba menyerang kepala, Gilang memutuskan pergi ke luar. Melangkah menuju dapur, untuk mengambil susu kemasan Kasih yang berada di lemari pendingin. Sekilas, Gilang melihat Kiya berada di teras dapur, tetapi gadis itu menghilang dengan cepat.

Penasaran, Gilang pun keluar dan mengikuti ke mana langkah Kiya tertuju. Dahi Gilang mengernyit, saat melihat Kiya berjongkok di balik pilar yang berada tidak jauh dari sudut kolam renang. Gadis itu sepertinya sedang menelepon seseorang.

Gilang mengendap. Berdiri di sisi yang berbeda dengan Kiya, menguping. Jika hendak menelepon, untuk apa sampai pergi jauh ke sudut kolam renang. Ditambah, Kiya juga berpamitan ke kamar kecil, bukan untuk pergi menelepon.

“Bu, tolong jemput Duta, ya? Aku kayaknya nggak bisa pulang cepat lagi, masih ada kerjaan.”

Duta? Siapa Duta? Kenapa harus dijemput dan dijemput dari mana? Gilang benar-benar tidak mengerti dengan ucapan Kiya.

“Kalau ngambek lagi, tolong bilangin nanti hari minggu kita jalan-jalan cari sepeda baru.”

Semakin dipikirkan, Gilang semakin bingung dan tidak menemukan jawabannya. Duta adalah nama pria, sementara sifat ngambek … ada pada anak kecil.

Lantas setelah mendengar Kiya mengakhiri pembicaraannya, Gilang dengan semua rasa penasarannya menghadang gadis itu.

“Siapa Duta, Ki?”

“Mas Gilang!” Kiya reflek menghardik dengan kedua tangan terjatuh di atas dada.

“Siapa Duta?”

“Duta?” Kiya masih menetralkan detak jantung karena keterkejutannya barusan. Jika Gilang bertanya tentang Duta, itu berarti pria telah menguping pembicaraannya.

“Iya, Duta?” desak Gilang semakin penasaran

Kiya berdehem. Menegakkan dagu, dan berusaha tetap tenang di hadapan Gilang. Sebuah ketenangan, yang dipelajarinya dari Elok ketika menghadapi sebuah masalah. “Duta ...

~~~~

Hai, haiii ....

Saia terbitin kisah Kiya sama Gilang dulu, yaakk ...

Spin off dari Bukan Istri Sah dan The Real CEO. Hepi riding Mba Beeb~~

PS : Bisa dibaca terpisah

Komen (6)
goodnovel comment avatar
siti rahmah
mba beb, ini Bumi suaminya Tari bukan sih. pas baca kok inget cerita Damai sama Pak Biru
goodnovel comment avatar
Iin Rahayu
ooooh ini cerita kiya sama Gilang
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
ouuuw ternyata Kiya udah pernah nikah toh. suaminya siapa y?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status