“Ayah bilang apa sama kamu?”Kendati Kiya sudah mengetahui ceritanya dari Raissa, tetapi ia tidak lega bila tidak mendengar langsung dari Duta. Sampai detik ini, Kiya belum menghubungi Garry sama sekali, karena ia hendak mendengar pemahaman Duta terlebih dahulu. Kiya juga belum mengirimkan nomor Garry kepada Gilang, karena menurutnya hal tersebut tidaklah penting.Duta duduk bersedekap di kursi belajarnya, dengan tertunduk. “Bunda mau nikah sama om Gilang.”“Terus, kenapa sampai marah-marah kayak tadi?”“Aku nggak mau Bunda nikah sama om Gilang,” jelas Duta sudah tidak seemosi seperti ketika di depan Gilang. “Aku mau, Bunda nikah lagi sama ayah.”Kalau bukan karena ucapan Gilang, hal seperti ini tidak akan terjadi. Padahal, Kiya sudah menolak lamaran pria itu, dan menjelaskan dirinya tidak mau menikah dengan Gilang.“Bunda nggak pernah ngelarang kamu bicara apa aja sama Bunda, tapi, Bunda nggak suka kalau kamu sampai teriak-teriak kayak tadi.” Kiya beranjak dari tempat tidur, lalu dud
“Mas.” Elok terkekeh geli melihat wajah bingung Lex, yang masih saja terlihat datar. “Sudah, ayo! Kita-jalan-jalan dulu, sambil nunggu Kasih datang.”Lex menghela. “Aku bisa tuntut dokter tadi, kalau terjadi sesuatu sama kamu.”Jika tidak mengingat mereka sedang berada di rumah sakit, maka Elok akan semakin melepas tawanya. “Mas, ini cuma kontraksi. Ibu hamil yang mau melahirkan, pasti kontraksi. Jadi, apa yang mau dituntut? Dokternya nggak salah. Aku baru bukaan satu, jadi wajar kalau disuruh jalan-jalan dulu. Santai, Mas, tenang. Aku sudah pernah melahirkan dan—”“Dan ini pengalaman pertamaku.” Lex memutus, sambil menyentuh perut Elok dan mengusapnya. “Kalau kamu sakit, apa dia di dalam nggak ikut sakit? Apa anakku bisa baik-baik aja di dalam sana? Bagaimana kalau dia ikut sakit juga? Atau, bagaimana kalau kita minta operasi, El? Biar kalian berdua nggak kesakitan? Kalau kita jalan-jalan atas saran dokter tadi, kamu pasti kecapekan. Kalau kecapekan, bagaimana mau melahirkan normal?
“Tolong kasih aku waktu, Mas,” pinta Kiya tidak mampu menjawab pertanyaan Gilang saat itu juga. Bukan karena Duta yang tidak ingin Gilang menjadi ayah barunya, tetapi, lebih kepada perasaan Kiya yang belum mencintai Gilang.“Aku lagi ngasih kamu waktu sekarang.” Gilang baru sadar, Kiya hanya memiliki dua buah kamar. Jika kamar yang bersebelahan dengan dapur adalah milik Duta, lantas siapa yang menempati kamar di sebelahnya?Mungkin, ada satu kamar lagi yang berada di dapur, dan Gilang tidak melihatnya? Atau, kamar di rumah Kiya memang berjumlah dua saja, dan gadis itu selama ini tidur bersama Duta?“Aku kasih waktu, sampai Duta mau nerima aku,” lanjut Gilang kembali mengalihkan tatapannya pada Kiya. “Habis itu, aku nggak terima penolakan lagi.”“Itu namanya maksa, Mas.” Kiya menggeleng kecil, dan sudah tidak tahu lagi bagaimana bicara dengan Gilang. Pria itu, ternyata cukup gigih dan keras kepala. Kiya juga sudah bisa menebak, kedatangan Gilang bersama Kasih dikarenakan penolakan Duta
“Dok, apa tidak bisa istirahat sebentar?”Lex dengan bahasa formalnya, sudah berusaha menahan diri sedari tadi. Melihat sang istri yang mengejan dengan susah payah, membuatnya harus mengatur napas berkali-kali guna menenangkan diri. Pantas saja Pras kala itu tidak mengizinkan Sinar memiliki anak lagi, ternyata suasana di ruang persalinan sangatlah horor. Melebihi ketika Lex berada di ruang persidangan.Elok mencengkram tangan Lex. Meringis kesal, karena ucapan absurd tersebut. “Ini bukan di ruang sidang, Mas ... nggak ada istirahat, sampai anakmu kelu— erghh …” Saat rasa itu kembali hadir, dokter pun sudah sigap seperti yang sudah-sudah. Elok menarik napas panjang sesuai instruksi, kemudian berusaha kembali mengejan sekuat tenaga. Namun, untuk percobaan yang sudah kesekian kalinya, putranya itu sepertinya belum mau keluar juga. Ia kembali terengah, lalu mencoba mengatur napas dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.“Pak Lex mohon tenang,” pinta dokter ketika melihat mulut Lex terbuk
“Kiya, tolong ambil tas yang tertinggal di rumah Lex,” pinta Adi saat memasuki ruang rawat VVIP, yang akan digunakan Elok setelah keluar dari ruang persalinan nantinya. “Tas apa, Pak?” Kiya yang tengah bicara dengan Dianti segera berdiri dari sofa. Melirik sebentar pada Duta dan Kasih, yang sedang menonton televisi di atas ranjang pasien. Kedua bocah itu terlihat akrab, dan selalu saja ada bahan untuk diobrolkan. “Isinya baju-baju Elok,” kata Adi menghampiri ranjang pasien lalu duduk di tepi, tepat di samping Kasih. “Pergilah sama Gilang, tapi kamu yang nyetir.” “Ayo, Ki,” ajak Gilang sambil bersandar di bingkai pintu, dan baru saja datang bersama Adi. “Duta—” “Duta biar sama saya,” putus Adi lalu mengulurkan tangan ke kepala bocah laki-laki itu. “Kamu di sini aja temani Kasih. Bundamu biar jalan sebentar sama om Gilang.” “Iya!” sambar Kasih lalu menepuk paha Duta yang bersila di sebelahnya. “Kamu di sini aja, Dut. Jangan nangis kalau ditinggal.” “Siapa yang nangis?” Duta mengat
Adi mengangguk-angguk dan memperlihatkan wajah seriusnya, ketika mendengar Duta berbicara. Menaruh perhatian penuh, agar bisa mengambil hati bocah itu. Adi melakukan itu semua, supaya bisa mengenal karakter Duta lebih dalam lagi. Selain itu, Adi juga ingin Duta merasa nyaman terlebih dahulu dengan keluarga Mahardika. Jika sudah nyaman, Gilang akan mengurus semua sisanya. Sementara ini, biarlah Gilang berkonsentrasi untuk mengambil hati Kiya. Setelah itu, Adi yakin semua akan berjalan sesuai dengan rencananya. “Kalau libur nanti, ajak bundamu main ke rumah Opa.” Adi bahkan sudah menyuruh Duta untuk memanggilnya, dengan sebutan yang sama dengan Kasih. Begitu juga dengan Dianti, agar mereka mudah mengakrabkan diri. “Om Gilang punya banyak game di kamarnya,” timpal Kasih mulai memamerkan semua hal yang dimiliki Gilang. “Ada PS, ada xbox, ada nintendo, terus … apa itu Opa, yang kayak kacamata?” “Apa, ya?” Adi menatap Dianti yang duduk santai di sofa. Saat istrinya itu menggeleng tidak
“Pa, aku minta kelonggaran waktu kerja selama satu bulan.” Ulah apa lagi yang akan diperbuat Gilang selama satu bulan ke depan, pikir Adi. Ia baru saja kembali dari rumah sakit, tetapi sudah dituntut penyataan seperti itu oleh putranya. “Kasih alasan yang jelas, kenapa Papa harus ngasih kamu kelonggaran, padahal kamu baru kembali lagi ke Jurnal?” “Aku mau antar jemput Duta sekolah.” “Kenapa—“ “Cuma satu bulan, Pa,” mohon Gilang kemudian mengikuti Adi pergi ke ruang kerjanya. Dianti sepertinya masih berada di rumah sakit dengan Kasih, karena Gilang tidak melihat wanita itu pulang bersama Adi. “Bagaimana dengan Kiya?” Adi berhenti sebentar saat sudah berada di tengah-tengah ruang kerjanya. Namun, setelah itu ia berbalik dan kembali pergi keluar ruangan. “Kalau Duta aman, Kiya aman.” Gilang berdecak kecil, karena harus kembali berjalan dan mengikuti Adi keluar ruangan. “Yakin?” tanya Adi tetap berjalan tanpa menunggu Gilang yang menyusulnya di belakang. “Yakin!” Lelah mengikuti Ad
“Jadi, selama satu bulan ke depan, Om yang antar jemput kamu sekolah.” Gilang menatap Duta, yang sejak tadi tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. “Kenapa diam aja? Kamu nggak suka Om antar ke sekolah?”Duta menggeleng ragu. Antara suka karena ini adalah pengalaman pertamanya menaiki mobil mewah, dan tidak, karena Gilang memiliki niat menikahi bundanya. Ia masih tidak bisa terima, dengan satu hal itu. Menurutnya, satu-satunya pria yang pantas untuk Kiya adalah ayahnya, Garry. Namun, ada hal yang masih tidak bisa Duta mengerti hingga saat ini. Yakni, tentang keluarga ayahnya.Karena tidak kunjung mendapat jawabannya, Duta pun memilih untuk mengabaikan hal itu untuk sementara. Lantas, tatapannya kemudian jatuh pada tongkat yang tergeletak di antara tempat duduknya, dan Gilang.“Om Gilang sudah sembuh?”“Belum.” Ternyata, membujuk Duta tidaklah semulus yang ada di pikiran Gilang. Namun, mengapa Adi bisa dengan mudah melakukannya. “Dan, nggak tahu bisa sembuh apa nggak.”“Kenapa b