“Oh, jadi dari upah per tokonya kamu kumpulkan hingga kadang sampai Rp. 200.000,- per hari?” “Iya Kak.” “Cukup besar juga pendapatanmu di sana, dan wajar jika kamu tak perlu diajari lagi dalam melayani pelanggan di toko,” ujar Gita. “Itu setiap hari kamu ke pasarnya, Ridwan?” kali ini Randi yang bertanya. “Benar Bang, kadang aku pulang ke rumah udah menjelang waktu sholat isya.” “Oh begitu?” “Iya Bang, itu biasanya kalau hari minggu saat pengunjung pasar ramai dan toko buka hingga malam,” tutur Ridwan. “Tuh kapan kamu liburnya kalau setiap hari ke pasar untuk kerja?” Gita yang bertanya. “Kalau pengen libur sih gampang, Kak. Kapan aku mau aja karena memang aku nggak terikat oleh toko manapun di pasar raya itu.” “Hemmm, enak juga kerja nggak terikat seperti itu. Nggak seperti aku masuk dan pulang kantor harus di jam yang telah ditetapkan,” kali ini Aldi yang berbicara. “Iya Bang, tapi Bang Aldi kan kerjanya di kantor perusahaan yang dari segi apapun jua jauh lebih baik dari pe
Iptu Yoga dan kedua sahabat Kintani itupun saling bersalaman dan memperkenalkan diri mereka masing-masing, lalu Iptu Yoga mempersilahkan mereka untuk memesan minuman dan menu yang tersedia di cafe kemudian duduk di bangku yang memanjang di dalam cafe itu mengarah ke pantai. “Kalian sering ya datang ke sini?” tanya Iptu Yoga. “Nggak juga Bang, kebetulan aja kita bertemu kedua kalinya di sini,” jawab Kintani. “Kalian udah kenal sebelumnya dengan Bang Yoga?” tanya Dila. “Iya Dila, Bang Yoga inilah petugas yang menangani saat Kintani menabrak gerobak Pak Lukman minggu yang lalu,” jawab Eva. “Oh, pantas aja begitu kita masuk ke cafe ini Bang Yoga langsung menyapa kalian,” ujar Dila diiringi senyumnya. “Bang Yoga nggak setiap hari bertugas di kawasan pantai ini?” tanya Eva. “Nggak setiap hari cuma sering, dan hari ini temanku yang bertugas di ujung jalan jalur pinggiran pantai ini,” jawab Iptu Yoga. “Kalau boleh tahu apa penyebabnya, sampai kamu menabrak gerobak milik Pak Lukman min
Mereka tiba di kos-kosan sekitar jam setengah 8 malam, sebelumnya mereka singgah dulu di sebuah rumah makan untuk makan malam bersama. Bagi Eva dan Dila diajak ke tepian pantai tadi menyaksikan panorama matahari tenggelam sangat menyenangkan, namun bagi Kintani hal itu membuat hatinya dilanda kemelut di antara rindu dan sedih. “Oh ya Kintani, orang tuamu di kampung udah kamu kasih tahu tentang kejadian minggu lalu kamu nabrak gerobak Pak Lukman?” tanya Eva saat mereka duduk rehat sejenak di depan kos-kosan. “Belum, aku kuatir Ayah dan Ibu akan cemas jika aku kasih tahu. Walaupun kecelakaan itu nggak begitu parah dan dapat diselesaikan secara damai,” jawab Kintani. “Jika kamu merasa kuatir mereka akan cemas, sebaiknya nggak usah kamu kasih tahu kedua orang tuamu itu,” saran Dila. “Ya, sebaiknya aku simpan aja dulu. Suatu saat nanti baru aku akan ceritakan pada mereka.” “Oh ya Kintani, menurutmu bagaimana dengan Bang Yoga tadi orangnya?” tanya Dila mulai membahas tentang polantas
“Oh, kalau begitu sih kami juga setuju, Ramli. Aku pikir kamu melepas Ridwan begitu aja tampa kejelasan, kalau sama anaknya Pak Hendra dan Bu Indri ya sama juga berarti dengan tinggal bersama kamu dan saudara kita yang lain,” nada bicara Bu Suci melunak setelah tadi sempat bernada keras memarahi Paman Ramli. “Makanya aku belum berani memberitahukan itu kemarin pada Uni, kuatir kalau Uni dan Uda Rustam akan salah faham. Meskipun Ridwan tinggal bersama mereka, bukan berarti aku lepas tanggung jawab sebagai Pamannya di sini.” “Iya Ramli, kami mengerti. Tapi kenapa ya, sejak Ridwan di Jakarta nggak sekalipun menghubungi kami di sini?” Bu Suci merasa heran. “Barangkali karena dia belum bisa menerima kenyataan akan kejadian dibatalkan pertunangannya dengan gadis itu, harap Uni memakluminya dan suatu saat jika perasaannya udah sedikit mereda, pasti Ridwan akan menelpon Uni di sana,” ujar Paman Ramli. “Iya juga sih apa yang kamu katakan itu, Ramli. Ridwan memang begitu, kadang dia hanya d
“Yuk kita rehat, malam udah semakin larut,” sambung Randi mengajak Ridwan beristirahat.“Ya Bang,” Ridwan nampak semangat karena keresahannya tadi seperti terjawab dengan solusi yang diberikan Randi mengajaknya untuk pulang ke Padang bulan depan.Hari sabtu sore di kantor tempat Iptu Yoga bertugas, dia dan beberapa orang temannya duduk di sebuah ruangan terbuka, dari gaya mereka ngobrol jelas bukan tengah membahas hal serius berkaitan dengan tugas mereka.“Gimana Yoga, kamu udah ada pasangan belum untuk menghadiri pesta pernikahan Rudi besok siang?” tanya salah seorang temannya sesama polantas.“Belum tuh, Rama. Emangnya harus ya dengan pasangan ke acara pesta itu?” Iptu Yoga balik bertanya.“Harus sih nggak, cuma nggak srek aja dipandang jika kita ke sana tampa membawa pasangan. Kalaupun bukan istri atau kekasih minimal teman wanitalah,” jawab temannya yang dipanggil Rama itu.“Siapa ya, cewekmu itu ada nggak temannya yang bisa aku ajak jadi pendamping besok siang?”“Ada sih tapi mer
Setelah berpamitan pada Eva, Kintani pun turun dari kos-kosannya yang berada di lantai paling atas dari tiga lantai bangunan kos-kosan itu menghampiri pria tampan pemilik mobil fortuner itu. Kintani yang hanya mengenakan gaun pesta sederhana itu nampak perpect sekali kecantikannya, pria pemilik mobil fortuner yang tidak lain adalah Iptu Yoga dibuat terkesima dan grogi saat mahasiswi kedokteran itu telah berada di halaman kos-kosan berjalan ke arahnya. Kintani sendiri sempat risih, saat ditatap sedemikian lekat oleh Iptu Yoga ketika ia tiba di depan mobil fortuner itu. “Jadi berangkat sekarang, Bang?” tanya Kintani. “I..iya jadi Kintani, mari,” Iptu Yoga tergagap dan tersadar akan terkesimanya memandang Kintani. “Tempat pestanya jauh ya Bang dari kos-kosan ini?” Kintani kembali bertanya saat dia telah berada di dalam mobil di samping Iptu Yoga yang akan mengemudi mobilnya. “Nggak jauh kok, palingan 15 menit perjalanan juga kita sampai di sana,” jawab Iptu Yoga seakan tak berani m
“Iya juga sih, semuanya datang berpasangan.” “Nah, karena itulah aku minta bantuanmu kemarin untuk menemaniku datang ke acara ini. Segan rasanya jika datang sendirian,” ujar Iptu Yoga. “Ya aku mengerti alasan Bang Yoga mengajakku ke sini.” Seperti yang telah dijanjikan Iptu Yoga, sebelum waktu magrib datang ia mengantar Kintani pulang ke kos-kosan. Karena di waktu sore hari itu para penghuni kos hampir seluruhnya berada di kos-kosan tentu terlihat ramai, ada yang duduk di depan ruangan kos-kosan di setiap tingkatnya, ada pula yang duduk di tempat khusus menerima tamu di sisi kanan depan bangunan kos-kosan itu. Kintani dan Iptu Yoga pun tak luput dari perhatian dari penghuni kos-kosan, saat mereka turun dari mobil fortuner itu. Tapi Kintani dan Iptu Yoga bersikap santai saja, seolah-olah mereka tidak memperdulikan banyaknya pasang mata yang tengah tertuju ke arah mereka berdua. “Mampir dulu, Bang,” tawar Kintani. “Nggak usah Kintani, lain kali aja bentar lagi magrib. Terima kasih
“Boleh aja Bang, tapi kalau mau ke sini Bang Yoga harus kasih tahu dulu soalnya bisa jadi aku lagi di kampus atau lagi di luar,” jawab Kintani. “Oh, tentu saja. Aku paling ke sana di jam-jam istirahat tugas atau hari di mana aku memang libur bertugas.” “Aku juga paling hari minggu ada di kos-kosan seharian dari pagi hingga sore Bang, kalau siangnya nggak jalan bareng teman-teman keluar,” ujar Kintani. “Ya udah, kalau mau bertamu ke sana nanti, aku akan kasih tahu. Assalamualaikum,” ucap Iptu Yoga. “Waalaikum salam,” Kintani menutup panggilan di ponselnya. “Ehem, aku bilang juga apa Bang Yoga itu pasti ada rasa sama kamu, Kintani. Kalau nggak mana mungkin dia pengen datang segala bertamu ke kos-kosan ini,” Dila mulai menggoda sahabatnya itu. “Loh, masa aku tolak teman yang akan bertamu ke sini?” ulas Kintani. “Masalahnya kamu selama ini nggak pernah tuh terima tamu cowok di kos-kosan ini, terkecuali Bang Ridwan. Hemmm, pasti kamu juga ada rasa ya sama Bang Yoga?” tebak Dila. “A