Mata besar itu melirik kemeja kotak-kotak yang dibiarkan tergantung bebas di belakang pintu kamar. Dalam pikirnya, kapan ia akan keluar dan mengembalikan kemeja tersebut. Ya, sejak hari di mana mereka bertemu, Nicha tidak pernah lagi menemui Gilang.Nicha yang tidak ahli untuk memulai semuanya hanya bisa pasrah di rumahnya. Ia merasa bersalah, karena dirinya, Gilang jadi di benci dan di tuduh yang tidak-tidak oleh Rangga.Hanya karena kemeja dan juga taman itu, Rangga menjadi curiga dengan Gilang. “Gilang menyukaiku? Omong kosong macam apa itu.”Nicha mengingat raut wajah Gilang saat Nicha meninggalkannya. Ia ingin menemui pria itu namun ada keraguan darinya.“Apa aku telepon saja ya?”Sepersekian detik Nicha kembali menggeleng. “Tidak, tidak. Aku tidak suka menelepon, sebaiknya bertemu langsung itu akan lebih leluasa.”“Nicha, bicara sendiri lagi?” Nicha bangun dan mendapati ibunya berdiri di depan pintu kamarnya. “Ibu kebiasaan. Aku tidak punya privasi jika ibu terus menerus mengin
“Hei cepatlah Bangsat!” Sekuat tenaga Nicha mencoba untuk memelankan suaranya.Dari arah belakang, Bella terlihat berlari kecil sambil sesekali menunduk jika melewati tembok yang ada jendelanya. Kedua gadis itu sedang mempertunjukkan bagaimana cara agar bisa bolos sekolah.Mata Nicha terus melihat sekeliling, takutnya ada guru yang lewat dan memergoki mereka berdua. “Ah sial, kenapa aku memakai rok pendek ini,” gumamnya saat setelah sampai di depan sebuah tembok besar.Tembok belakang sekolah yang tingginya melebihi kedua gadis itu. “Jadi bagaimana cara kita melewati ini?” tanya Bella yang ragu.Nicha berpikir sebentar. Ia mencari apabila ada benda yang mungkin bisa mereka pakai untuk bisa melewati tembok besar tersebut, namun sayang tidak ada satu pun di sana.“Kita memanjat saja,” ujar Nicha yang langsung mencoba memanjat tembok tersebut.Bella melongo. Ia kaget dengan apa yang Nicha lakukan, Bella sungguh ragu untuk memanjat tembok yang cukup tinggi itu.“Nicha awas bagaimana jika
“Pak?”Pria dengan jas hitam itu beralih dari berkas yang menumpuk di mejanya. “Oh Rangga. Ada apa?” tanyanya sembari memperbaiki kaca matanya.Rangga tersenyum kikuk. “Bapak sibuk ya? Maaf mengganggu waktu bapak. Boleh aku meminta nomor dokter Gilang?” “Oh tentu Rangga. Sebentar ya,” ujarnya sambil mengetik nama di handphonenya. Matanya memicing, ia mencoba melihat jelas layar handphone tersebut. “Bapak sudah terlalu tua,jadi agak rabun,” ujarnya sambil tertawa kecil.Rangga langsung berinisiatif membantu Pak Faris. “Biar aku bantu pak,” katanya seraya mengambil handphone pak Faris lalu segera melihat nama Gilang di sana.“Tapi kenapa kau memintanya?” tanya pak Faris tiba-tiba.Rangga tersenyum tipis. “Aku cuma ingin berbicara padanya soal Nicha, aku ingin tahu keadaan Nicha pak,” alasannya.Pak Faris tersenyum dengan bangganya. Seperti ia merasa pilihannya adalah hal yang sangat tepat untuk anak gadisnya. Pak Faris tidak akan ragu dan khawatir jika nantinya ia wafat di kemudian har
“Terima kasih sudah mengantarku ayah,” ujar Nicha sembari membuka sabuk pengamannya.Pak Faris hanya mengangguk pelan. “Kalau nanti kau mau di jembut, telepon Rangga saja ya,” katanya.Nicha mengangguk. “Baiklah ayah,” balas Nicha bercermin di kaca spion untuk mengatur poninya yang agak berantakan karena saat di perjalanan terkena angin.“Oh ya. kemarin Rangga meminta nomor telepon dokter Gilang.” Pak Faris baru ingat kejadian kemarin.Nicha menghentikan aktifitasnya. “Benarkah?” Ia melihat ayahnya kaget. Selintas banyak pikiran negatif muncul di otaknya.“Kenapa dia meminta nomor Gilang?” tanyanya lagi.“Rangga bilang banyak yang ingin ia bicarakan dengan dokter tentang perkembanganmu,” jelas ayahnya.Nicha mengangkat alisnya masih kaget. “Kenapa kau kaget begitu?” tanya pak Faris.Raut wajah wanita itu langsung berubah. Ia tersenyum ringan. “Tidak ada apa-apa ayah, kalau begitu aku pergi dulu ya,” pamitnya agak tergesa-gesa.Nicha keluar dari mobil dan langsung menyeberang untuk mas
“Aku mau bertanya. Ayahku bilang kalau Rangga kemarin meminta nomor teleponmu, apa dia mengatakan sesuatu?”Rangga seseorang yang sangat sulit untuk ditebak, sebagaimana pun Gilang mencoba membacanya. Mengenai apa yang Rangga katakan padanya malam itu, semuanya masih tidak bisa dinilai semata. Tapi yang Gilang ketahui adalah, laki-laki tersebut menyimpan sesuatu dan mungkin mempunyai misi tertentu untuk tujuan yang disembunyikannya.“Ya, kami bahkan bertemu kemarin.”“Kalian bertemu? Ayahku bilang, Rangga ingin menanyakan soal perkembanganku, benarkah hanya itu?”Gilang berpikir lagi, ia ingin jujur tentang apa yang Rangga katakan padanya tapi ia tidak ingin Nicha sakit hati jika mendengarnya.“Ya, dia bertanya tentang bagaimana kau selama pengobatan, cuma itu,” dusta Gilang.“Benarkah cuma itu, dia tidak menyinggung kejadian waktu itu?” tanya Nicha yang tidak puas dengan jawaban Gilang.“Dia mungkin sudah melupakannya Nicha.” Sekali lagi Gilang berbohong karena tidak siap untuk membe
Sebagian orang Indonesia tidak suka dengan panas. Apalagi wanita, hampir seluruh wanita di negara itu tidak menyukai terik matahari. Tapi, tidak dengan gadis dengan rambut bergelombang cokelat itu. Dengan dress merah khas musim panas ala eropa, ia berdiri di pinggir pantai, lengan putih mulus yang terlihat begitu saja menampakkan betapa gadis itu merawat dirinya dengan baik. Bahkan rambutnya panjang sepinggangnya menari-nari bersama angin sepoi-sepoi di pantai siang hari itu. Kepalanya mendongak ke atas saat melihat beberapa burung terbang di atas air laut yang biru tersebut. Ia menghela napas. “Aku merindukanmu,” katanya dengan suara pelan. Sudah sebulan ini Zia tidak pernah bertemu dengan Gilang. Kakaknya Izzam hari itu menegur bagaimana cara kerja Zia di butik dan gadis itu menyadari kesalahannya. Makanya sebulan ini ia mencoba untuk mandiri dan tidak bertemu dengan Gilang. Alasannya ia ingin fokus untuk bekerja namun dilubuk hatinya yang terdalam, ia ingin laki-laki itu mencari
“Kenapa kau tidak pernah mengatakan kalau kau ke Bali! Sial, kapan aku ke sana!”Henry memegangi kepalanya dengan frustasi namun sepersekian detik ia kembali menatap mata gadis itu dengan antusias. “Lalu bagaimana di sana, apa banyak cewek cantik yang memakai bikini?”Gadis tersebut menjawabnya dengan santai. “Jika aku membawa kak Henry ke sana, aku akan malu besar.”Gilang tertawa kecil mendengar ucapan Zia. Seperti biasa, jika mereka berkumpul Gilang akan menjadi pendengar bagi dua orang yang selalu saja bertengkar.Untunglah Henry dan Zia datang malam ini jadi itu bisa meringankan hati Gilang setelah mendapatkan pesan dari Rangga. Meski itu tak dapat mengubah kenyataan tapi ia akhirnya bisa sedikit tertawa.Setelah mengobrol cukup lama. Zia yang mulai mengantuk izin untuk pulang, ia memang sangat lelah karena ia tidak pernah beristirahat dan langsung menemui Gilang. “Kak antar aku pulang ya,” ujarnya.“Tidak bisa. Nanti pacarku marah,” tolak Henry dengan nada bercanda.“Kalau begit
BAB 37Wanita tua itu memperhatikan anak gadisnya yang sedari tadi melamun. Padahal siaran TV tidak seburuk dan semembosankan itu, namun gairah hidup dari gadis itu seperti telah habis.Ibu Hesti masih mengaduk teh melati yang ia buat. Sepertinya ada yang tidak beres dengan anak itu. Setelah mengaduk tehnya, ia berjalan dan menyimpan teh tersebut di atas meja depan Nicha.“Kenapa sedari tadi ibu lihat kau kurang bersemangat, apa kau sakit?” tanyanya dengan wajah penuh khawatir.Nicha menggeleng. “Aku tidak sakit bu, cuma aku kurang tidur saja semalam,” jawabnya lemah.“Oh ya, kenapa?” tanyanya balik.“Aku belum merasakan sembuh, aku masih sering merasa was-was tapi Gilang semalam meneleponku dan mengatakan aku tidak usah ke klinik lagi, seolah dia mengucapkan kata perpisahan.” Matanya sayu saat menjelaskan kegundahannya, “akhir-akhir ini, dia sering sekali memberiku motivasi kehidupan, apa mungkin dia memang tidak ingin berteman denganku lagi bu?”“Tidak Nicha, itu tidak benar. Ibu ak