Benar saja, setelah Rangga masuk ke dalam rumahnya, ia tidak menemukan Nicha sama sekali.Di lantai satu maupun lantai dua.Kini ia berdiri di depan pintu belakang rumah yang terbuka, beberapa bagian termasuk gang pintu rusak akibat dari Nicha yang mencoba untuk kabur.Bisa ditebak bahwa wanita itu sekarang pasti sudah berada di rumah orang tuanya.Rangga menarik napas panjang, ia mencoba untuk tenang, jalan satu-satunya adalah ia harus ke rumah mertuanya lalu menjelaskan apa yang terjadi dengan sedikit bumbu kebohongan tentunya.Ia harus bisa menyusun seluruhnya agar semua bisa berjalan seperti apa yang ia inginkan.Rangga berjalan dan berhenti di depan cermin besar di tengah ruangan, ia menyisir rambutnya dengan rapi, memperbaiki jasnya lalu tersenyum. “Aku harus menemui pak Faris, karena dia jalan satu-satunya ya. Ini saatnya,” gumamnya.Dengan langkah yang besar dan badan yang tegak percaya diri, Rangga pun pergi untuk menemui dan membawa pulang Nicha.****Nicha sangat legah bisa
Suara gesekan kuas pada kanvas terdengar di ruangan yang tenang itu.Tangan seorang pria begitu lihai memainkan warna di setiap sketsa dari gambar yang telah ia buat. Terkadang ia berpikir soal imajinasi yang ada di otaknya, entah karya apa yang ia buat ini, gambarnya terlihat berantakan namun tetap berkelas. Belum juga selesai namun ia menyimpan kuasnya dan membuka celemek yang sedari tadi menempel di tubuhnya. Tangannya penuh dengan cat air, pria itu berjalan ke wastafel lalu membersihkan tangannya hingga bersih. Iris mata hitamnya melirik jam dinding di ruangan yang dipenuhi oleh lukisan tersebut. “Sudah tengah malam ya,” gumamnya. Mungkin ini waktunya untuk ia istirahat, Gilang masuk ke dalam kamarnya lalu tak sengaja melihat handphonenya yang menyala, ia lupa ternyata handphone tersebut ketinggalan di kamarnya, segera ia melihatnya. Panggilan telepon dari nomor asing tertulis 8 kali panggilan tak terjawab. Gilang segera menghubungi balik nomor tersebut, mungkin pasiennya. “Ha
“Kenapa aku tidak bisa berhenti untuk memikirkanmu, padahal dengan sadar aku paham bahwa ini salah tapi, sekuat apapun aku coba melupakanmu, aku –“Laki-laki itu menginjak rem hingga laju mobilnya terhenti tepat di depan rumah Rangga secara mendadak.“Aku tetap tidak bisa, kau buat aku gila, Nicha.”Mata tajamnya melihat rumah tersebut, ia menerawang apakah targetnya terlihat di sana namun tidak ada siapa-siapa.Ia putus asa, sudah beberapa minggu ini, ia mencoba bermasa bodoh, mencoba mencari hobi agar ia bisa melupakan wanita tersebut namun apa daya hatinya tidak bisa berkompromi.“Kenapa kau tidak pernah keluar, bukankah kau bilang sudah sembuh.”Gilang sudah seperti orang bodoh akibat stress, bohong jika dia kuat, bohong jika dia tidak peduli, bohong jika dia tidak patah hati.Tiba-tiba handphonenya berdering, Gilang segera mengambilnya, barangkali itu telepon dari pujaan hatinya namun tentu itu hanyalah sebuah mimpi. Hanya pikiran bodohnya.Gilang segera mengangkat teleponnya. “I
Dengan napas terengah-engah Nicha terbangun dari tidurnya, matanya melihat sekeliling lalu kemudian ia bernapas legah karena menyadari itu hanyalah sebuah mimpi.Nicha terdiam sebentar, mencoba mencerna mimpinya semalam. “Adnan begitu nyata,” gumamnya setelah mengingat Adnan yang membuka selimut putih yang ia kenakan.Wanita tersebut bangkit, ia berjalan pelan menuju pintu, dengan pelan sekali ia menarik gang pintu hingga pintu itu terbuka sedikit. Nicha mencoba mengintip apakah Rangga sudah ke kantor hari ini tapi ia malah kaget setelah melihat ada orang yang begitu ia kenal sedang berdiri dengan anggunnya di ruang tamu.Sekali-kali wanita itu mengatur rambut pendeknya lalu mencoba tersenyum tipis, ia agak gugup.“Maaf, membuatmu menunggu lama.”Mendengar suara besar itu, gadis tersebut tersenyum dengan lebar. “Tidak apa-apa kak, aku senang sekali akhirnya hari yang aku tunggu-tunggu datang juga,” ucapnya.“Benarkah, kau menunggu hari ini?” ujar Rangga seperti kaget yang dibuat-buat.
“Gilang, bawa aku pergi dari sini.” Wanita tersebut mengacak rambutnya dengan kasar saat tulisan itu muncul dibenaknya.“Ah… harusnya aku tulis namaku di kertas itu, kenapa hanya tulis ucapan yang tidak jelas, bagaimana jika dia tidak mengerti kalau itu aku!” Tangan Nicha kini mengaduk-aduk kopi yang baru ia seduh.“Jika dia tahu, apakah dia akan menolongku atau mungkin hanya mengabaikannya, lagian siapa aku,” ujarnya lemah sembari memanyumkan bibirnya.Ia memperhatikan kopi yang masih ia aduk tersebut, warnanya hitam ibaratkan kehidupannya yang gelap.“Kenapa aku tidak seperti wanita diluar sana, apa karena masa laluku yang begitu kelam.”Flashback“Hei, perhatian semuanya, pengumuman penting!” Seorang gadis dengan seragam putih abu-abu berdiri di depan kelas 1-A. Hari itu semua orang yang sedang melakukan aktifitasnya langsung mengalihkan perhatian pada gadis tersebut.“Kalian harus tahu berita ini, ” ujarnya dengan suara lantang.“Kau tidak malu merusuh di kelas kami?” tanya gadis
“Andai bisa, aku keluar dari rumah ini lalu keluar kota dan memulai hidup sendiri kemudian sukses menjadi wanita mandiri.”Khayalan tersebut memenuhi kepala Nicha, dengan gampangnya setiap adegan tersebut begitu mudah dilewatinya, tentu saja itu terjadi hanya di dalam pikirannya.Sudah semingguan ia mengirimkan surat untuk Gilang, namun pria itu belum juga datang. Nicha memutuskan harapannya karena ia tahu kalau dia memang salah, dia memutuskan pertemanan dengan pria itu.“Nicha!”Seketika wanita itu tersadar dan bangkit dari kasurnya. Ia segera membuka pintu kamar dan keluar, namun pemandangan selanjutnya adalah ia yang melihat lengan suaminya digandeng oleh wanita lain.Nicha membuang muka setelah ia bertatapan dengan Bella. “Makanlah bersama kami malam ini,” ujar Rangga dengan senyuman palsunya.“Tidak, aku tidak lapar,” tolak Nicha sambil menggeleng pelan.“Ayolah, kita kan teman.” Bella melepaskan tangan Rangga lalu menggandeng tangan Nicha, ia menarik Nicha lalu mendudukkan wani
Mata itu membulat sempurna menyaksikan apa yang kini ia lihat, setelah lampu ruangan itu ia nyalakan, ia syok bukan main.Kaca jendela di samping TV-nya pecah, serpihan kaca bertebaran di mana-mana dan ada tetesan darah di tengah lantai tersebut.Laki-laki besar itu melangkah dengan cepat menuju kamar seorang wanita, namun sesaat setelah ia sampai di sana, dugaannya benar ketika wanita tersebut sudah tidak ada di sana.Bahkan pakaiannya saja sudah tidak ada sama sekali.Ia kembali ke ruang tamu yang sungguh berantakan itu, Ia menjongkok dan menyentuh tetesan darah tersebut.Ia murka sekali malam itu hingga pria tersebut berteriak dengan sekuat tenaganya.Seperti orang kesetanan, ia menelepon orang tua wanita tersebut ditengah malam itu.“Hallo, Rangga ada apa menelepon malam-malam?” terdengar suara lembut khas bangun tidur dari sebelah sana.Pria bernama Rangga itu mencoba mengatur napasnya. “Ibu, apa Nicha pulang ke rumah?” tanyanya.“Tidak, dia kabur lagi?” tanya ibunya.“Iya, tapi
“Fadly, hari ini klinik tidak buka karena aku tidak ada, jadi kau bisa libur.”“Tumben sekali, dokter ada di mana sekarang, memangnya?”“Emm… aku ada urusan seharian ini, aku ada di desa kelahiranku.”“Ah begitu, baiklah dok.”Tampak laki-laki itu mematikan teleponnya lalu kemudian melanjutkan masakannya yang sempat tertunda, Nicha hanya berani melihatnya dari daun pintu kamar sambil memikirkan mengapa pria tersebut bisa sampai sejauh ini. Mengapa dia terlalu baik.Nicha jadi ingat ucapan Rangga kalau pria itu menyukainya, tapi kenapa Nicha tidak pernah menyadarinya, apakah ini termasuk tandanya?Wanita itu menunduk, memperhatikan lantai putih yang ia injak, berada di sini membuatnya nyaman tapi apakah ia akan terus seperti ini. Tentu, Nicha harus menghadapinya.“Hei, kenapa berdiri di situ?” Nicha tersontak kaget setelah pintu kamarnya di buka.Ia melihat Gilang dengan terkejut. “Ayo, kita sarapan dulu,” ajak pria itu tak menggubris Nicha.Sesampainya di depan meja makan, Nicha menga