2 Hari berlalu, bahkan Bi Enah sudah kembali datang ke rumah untuk melakukan pekerjaannya, ia sedikit kaget karena melihat Kana yang masih berada di rumah tuannya.
“Non, Bibi gak nyangka Non masih ada di sini,” ucapnya seraya mencuci piring di dapur. Sedangkan Kana merapikan isi kulkas.
Kana tersenyum, “Iya Bi, Elvan baik. Dia mengijikan aku tinggal di sini sementara, saat Bibi gak bisa datang.”
Bi Enah tersenyum, “Bibi udah khawatir, gak ada yang ngurus kebutuhan Den Elvan,” sahutnya.
“Tapi Bibi udah sembuh, kan?”
“Udah Non,” sahutnya.
***
Sejak beberapa menit yang lalu Elvan sudah berada di dalam ruang kerjanya. Dan ia masih tak percaya dengan matanya yang masih terbuka lebar melihat apa yang kini ada di hadapannya.
2 hari yang lalu, ia sudah berhasil menga
Bukan hanya mulutnya, tapi seluruh tubuhnya bergetar. “S-siapa Dayana? Bukankah namaku Kana!” seru Kana yang berusaha menetralkan dirinya dari rasa terkejutnya yang luar biasa mendengar Elvan menyebut nama lengkapnya. Tapi sayangnya itu sudah sangat terlambat.Alis mata Elvan bertaut, “Apa jika aku memperlihatkan bukti ini kau masih bisa mengelak?” tanya Elvan setelah memperlihatkan foto seorang wanita di ponselnya yang jelas saja ia kenali. Karena itu merupakan foto dirinya saat bersama keluarga Sanjaya.“Kau kabur dari mereka, apa kau membawa barang berharga milik mereka, hah?” tanya Elvan sinis, “Untuk kau habiskan dan berfoya-foya.”Dengan spontan Dayana menggeleng. “Tidak! Itu tidak benar!” Matanya sudah mulai terasa panas. Rupanya kebohongannya sudah di ketahui oleh Elvan.Dayana atau nama panggilannya Aya, merasa malu karena ia sudah
Dayana masih terisak meski isakannya mulai melemah, dan Elvan tak berani untuk meninggalkannya sendirian. Ia mengerti apa yang di rasakan oleh wanita ini, meski apa yang menimpa mereka sangat berbeda. Tapi rasa sedih dan sakit itu tetap sama. Dulu ia bisa lebih tegar di hadapan orang lain meski tidak di dalam hati, terbukti ia yang sampai saat ini berada di pengasingan. Begitulah ia menyebutnya.Wanita ini terlihat kuat meskipun Elvan yakin begitu rapuh di dalamnya. Hingga ia tidak tega untuk meninggalkannya sendirian.Kini Aya sudah meringkukkan tubuhnya dengan terus terisak.Elvan masih mengingat jelas luka-luka yang ia lihat di punggung wanita ini. Kemudian ia beranjak berdiri dari sisi tempat tidur.“Tunggu sebentar, aku akan mengambilkan sesuatu untukmu…” ujarnya. Namun tak mendapatkan respon dari wanita itu yang masih terisak.Elvan berjalan menyusuri kor
Mungkin karena semalam Aya tidak bisa tidur dengan nyenyak dan juga luka di punggungnya terasa begitu sakit meski sudah di olesi salep oleh Elvan, pagi ini ia kesulitan untuk bangun pagi. Tapi untungnya ia ingat jika Bi Enah sudah kembali bekerja.Aya merasa lemas dan sedikit demam, matanya terasa sangat bengkak karena tangisnya semalam. Menceritakan semua masalah yang menimpa dirinya membuat Aya kembali begitu bersedih. Sekeluar Elvan dari kamarnya, ia masih terus menangis hingga ia lelah dan tertidur.Selain bengkak matanya juga terasa sangat perih.Pintu kamarnya di ketuk, dan dengan spontan Aya mendudukkan tubuhnya.“Masuk…” serunya memberikan ijin pada pengetuk pintu untuk masuk ke dalam kamarnya.Aya mencoba merapikan rambutnya, ia takut jika Elvan yang masuk dan merasa tak enak jika ia dalam keadaan yang berantakan. Juga dengan kaos milik Elvan yang terl
Terdengar suara mesin mobil dari arah bagian depan villa, Aya hanya dapat mendengar suara mesin mobil tersebut tanpa bisa melihatnya dari jendela kamarnya untuk memastikan siapa yang datang.Elvan sudah meninggalkan kamar yang ditempatinya sekitar 1 jam yang lalu setelah Elvan mengubungi seseorang melalui ponselnya. Yang Aya yakini adalah dokter yang akan memeriksanya.Jantungnya masih saja berdebar tak karuan, masih ada rasa was-was dalam dirinya. Mengingat ia mengenal Elvan belum cukup lama, hingga ia masih sedikit tak mempercayainya. Aya ingin mengintip keluar berharap jika yang datang bukanlah mobil polisi.Aya menghembuskan napasnya kasar, “Kenapa aku terus-terusan merasa ketakutan seperti ini? Bukankah jika Elvan sudah memiliki niat buruk padaku dan melaporkanku, sudah sejak awal dia menghubungi polisi dan menyerahkanku?”“Bahkan semalam ia membantuku mengobati luka-luka di pu
“Berapa yang harus ku bayar untuk pemeriksaan dokter tadi?”“Tidak, kau tidak perlu untuk mengganti biaya dokter tadi,” jawab Elvan.Aya berjalan mendekat pada Elvan seraya mengangguk pelan, “Tidak, aku tidak ingin merepotkanmu, apalagi membebani biaya dokter untuk memeriksa dan mengobati lukaku,” seru Aya. Kemudian ia mengeluarkan 5 lembar uang berwarna merah dari dompetnya, dan menyerahkannya pada ELvan.Elvan hanya menatapnya dan enggan untuk menerimanya, bagaimanapun ia tulus membantu wanita ini. Dan uang bukan masalah baginya. Elvan mengangkat tangannya untuk menolak uang yang di sodorkan oleh Aya padanya.“Jika kau pikir aku tidak membawa uang sama sekali itu salah. Aku membawa semua uang tabunganku. Jadi aku mohon terima lah. Uang ini tidak ada artinya jika dibanding dengan kebaikanmu menampungku sementara di sini. Aku tidak mau semakin menyusahkanmu…” pinta Aya“Uangku cukup untuk kebutuhanku beberapa bulan ke depan, jadi kau tidak perlu khawatir…” lanjut Aya karena Elvan teta
Seketika Elvan menolehkan wajahnya ke arah sampingnya. Dan menemukan Aya yang sudah berdiri di sisinya.“Maafkan aku karena mengagetkanmu, tapi pakailah, di luar dingin…” ujar Aya seraya menyodorkan jaket milik Elvan yang tergantung di gantungan dekat pintu.Elvan sedikit kaget dengan kedatangan Aya, karena sejak tadi ia hanya fokus menatap ke langit di mana ia merasa jika mendiang istri dan anaknya sedang menatapnya dari sana.Awalnya Elvan merasa terganggu dan hendak menegurnya, tapi melihat wajahnya yang tulus memberinya jaket untuk menghangatkan tubuhnya. Elvan meredam emosinya tersebut. Apalagi mengingat jika wanita ini masih belum pulih dari luka-lukanya.“Terima kasih,” ujar Elvan kemudian dan meraih jaket yang di sodorkan oleh wanita itu.Elvan menatap tangannya yang gemetar, hingga ia berpikir jika wanita itu juga merasa kedinginan meski su
Aya tersenyum senang mendengar jika bisnis keluarganya sudah membaik. Ia memang merasa sungkan kepada keluarga Sanjaya karena mereka telah menolong keluarganya di saat bisnis ayahnya sedikit terpuruk.Meski kedua orang tuanya tidak pernah mendengarkan keluh kesahnya saat menjalani rumah tangga dengan Andre, tapi bagaimanapun mereka adalah orang tuanya. Tanpa mereka ia tak ada di dunia ini. Meski menyakitkan, tapi Aya menghormati mereka.Dan ikut merasa sedih saat ibu mertuanya sempat menghina kedua orang tuanya dan mengatakan jika mereka melahirkan anak perempuan yang cacat. Karena tidak bisa memberikan keturunan. Bukan hanya itu, ibu mertuanya juga kerap menyindir dana yang mereka keluarkan untuk membantu bisnis keluarga.Betapa sakitnya Aya mendengar semua perkataan buruk mereka.Tapi Aya tetap mencoba bersabar, dan berharap sebuah keajaiban datang untuknya, membantunya bangkit dan menariknya dari
Raut wajah Elvan seketika berubah. Emosinya mulai terlihat di wajahnya. Tapi ia berusaha menenangkan dirinya. Tidak ada alasan untuk marah pada Aya. Dan mungkin wanita yang di depannya ini lah yang menjadi teman berbincang istrinya untuk terakhir kalinya.Elvan berusaha tersenyum meski sulit, “Apa dia terlihat bahagia saat itu?” tanyanya dengan suara berat.Aya mengangguk pelan, “Dia mengatakan sudah tidak sabar menunggu bayinya lahir, agar kebahagiaan keluarga kecilnya semakin sempurna…”Elvan diam tak berkata apapun.“M-maafkan aku, aku tidak bermaksud untuk mengingatkanmu, maafkan aku…” lirih Aya merasa tak enak.“Tidak, itu bukan salahmu. Kini aku tahu betapa senangnya dirinya sebelum kejadian itu menimpanya… setidaknya dia mendapatkan teman ngobrol yang menyenangkan di saat aku tidak bisa menemaninya,” liri