"Sudah sarapan?" Suara pertama yang terdengar. "Ini nomerku. Kamu simpan dan hapus nomer yang lama. Nanti sore kujemput jam empat. Kamu sudah makan?" Barra mengulang pertanyaan."Ya, aku sekarang sarapan.""Oke. Aku mau meeting sebentar lagi.""Hu um," jawab Delia pelan. Kemudian panggilan terputus.Apa rahasia Tuhan menjodohkannya dengan Barra? Setiap peristiwa pasti tak ada yang sia-sia, tentu ada hikmah disebaliknya. Tak ada pasangan yang sempurna. Semua ada kurang lebihnya. Semua pasti mengalami suka duka, sedih, sakit, dan kecewa. Setiap insan pasti akan menjadi pelengkap pasangannya. Itulah yang dinamakan sempurna. Mengingatkan jika keliru dan membimbing saat salah. Itulah nasehat sang mama saat dirinya berniat hendak cerai dari Barra dua bulan yang lalu.* * *"Hai, Dokter!" sapa seorang gadis yang berpapasan dengan Samudra di lorong rumah sakit siang itu. Senyumnya manis sambil menatap dokter yang baru saja mengunjungi pasien. Dibelakangnya ada seorang perawat yang mendamping
Barra menghampiri Delia yang duduk di ruang tunggu tempat praktek dokter Yunita. Di sana sudah ada beberapa pasien yang mengantri. Kebanyakan memang datang di temani oleh sang suami. Ada juga beberapa anak kecil berlarian dengan ceria. Anak-anak juga tidak saling kenal sebelumnya, tapi mereka terlihat akrab di sana. Barra senang melihatnya, dia termasuk pria yang menyukai anak-anak. Tepat di bangku depan dari Barra dan Delia duduk, seorang laki-laki tengah mengelus perut besar istrinya. Di sebelahnya ada anak kecil yang tengah asyik makan es krim. Di ujung sana, seorang laki-laki menggendong kakak kecil dan disebelahnya ada sang istri yang tengah hamil besar.Praktek baru di buka. Seorang perawat yang membantu dokter Yunita memanggil pasien dengan nomer urut pertama. Andai Delia tadi mau menunggunya, mereka juga tidak akan terlambat datang. Namun Barra tidak banyak bicara meski hatinya kecewa. Dia hanya menggenggam jemari istrinya dan sesekali tersenyum pada Delia yang wajahnya ter
Bukan niat Delia membantah suaminya. Dia sudah terbiasa mandiri, selagi bisa dilakukannya sendiri, ia tidak akan membebani orang lain. Kehamilannya bukan penghalang untuk bisa tetap bekerja seperti biasa. Dokter Yunita bilang kandungannya baik-baik saja. Normal tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Sore nanti Mas nggak usah menjemputku. Biar sopir kantor yang mengantarkanku pulang.""Oke. Nanti kita berangkat ke tempat Yovan jam berapa?""Habis Maghrib."Barra mengangguk. Sedikit menurunkan egonya. Mungkin dengan begini, hubungan mereka yang pasang surut bisa berubah jauh lebih baik lagi. Walaupun rasa tidak sukanya pada sosok Yovan membumbung tinggi tak terukur. Terlebih ia mencurigai kalau Yovan yang selama ini mengirimkan buket bunga pada istrinya. Namun mengizinkan sekaligus ikut ke acara laki-laki itu bagi Barra adalah keputusan yang tepat. Apa yang harus dikhawatirkan, bagaimanapun ia pemenang mutlak karena memiliki Delia. Tidak hanya negara saja yang mengakui. Allah juga menjadi
Asyik sekali mereka bercerita mengenang zaman masih menjadi mahasiswa dulu. Tawa yang sesekali menggema hingga ke luar rumah. Mulut bicara sambil mengunyah cemilan. Di meja panjang yang berada di pinggir ruangan, tersedia aneka masakan, minuman, buah, dan puding. Di dalam toples dan piring yang ada di karpet bawah, dipenuhi cemilan. Pertemuan mereka telah direncanakan oleh Yovan jauh-jauh hari. Reuni kecil-kecilan untuk kembali menjalin silaturahmi sesama alumni. Bahkan yang dari luar kota juga menyempatkan untuk datang. Jika bukan kali ini, lalu kapan lagi. Tidak mungkin mengkoordinir beberapa orang untuk bisa datang di suatu acara. Kesibukan yang berbeda-beda membuat waktu luang mereka pun tidak sama. Makanya malam ini merupakan keberhasilan Yovan bisa mengumpulkan mereka semua, setelah tertunda beberapa pekan.Delia yang duduk di samping Mei hanya makan buah dan kacang almond. Tidak berselera melihat nasi dengan lezatnya aneka lauk pauk."Lia, kamu nggak makan nasi?" tanya Yovan.
"Jika boleh jujur, saya masih mencintainya." Pengakuan yang membuat Barra terkejut sekaligus merasakan amarah yang menggelegak dalam dada. Namun ia masih diam, menyembunyikan kepalan tangan dalam saku celana. Jika masih kuliah dulu, dia bisa saja langsung menghantam orang yang mengaku seperti itu. "Tapi Anda jangan khawatir, tak ada sedikitpun niat saya untuk merebut Delia dari, Anda. Apalagi diam-diam mencurangi Anda. Walaupun saya juga tahu kisah kalian berdua. Termasuk adanya perempuan bernama Cintiara." Kalimat terakhir Yovan kembali mengejutkan Barra. Ternyata sejauh itu Yovan tahu seluk beluk tentang dirinya. Padahal ini masalah yang paling pribadi baginya. "Dari mana Anda tahu?""Maaf, saya nggak bisa menyebutkan namanya. Saya hanya sekedar tahu saja tentang kalian berdua. Selain itu, saya nggak akan ikut campur. Kecuali Delia sudah kembali sendiri." Selesai bicara Yovan pergi meninggalkan Barra dan menghampiri teman-temannya yang lain.Begitu tenangnya Yovan bicara. Seolah t
Kejutan yang luar biasa bagi Barra mendengar nama kedua perempuan itu disebut. Ini bukan suara sumbang yang meragukan. Sungguh, sejak awal bayangannya bukan mereka pelakunya."Kamu kenal baik dengan dua wanita itu?" tanya Barra menahan geram."Kenal. Saya dulu pernah bekerja di usaha katering milik ibu mereka. Tapi sudah lama saya berhenti.""Kenapa berhenti?""Sebab gaji saya nggak tentu dikasihnya. Mereka sering telat bayar gaji karyawan."Barra diam beberapa saat. "Oke, kamu boleh pergi," perintah Barra.Tanpa menunggu lama, lelaki itu segera bangkit dan berlalu dari sana. Tinggallah Barra dan Remy duduk berdua."Kamu nggak nyangka kan, Bro?" tanya Remy yang dijawab gelengan kepala oleh Barra. Memang ia sama sekali tidak kepikiran ke sana. Dipikir pengirim bunga itu memang pria yang menginginkan istrinya. Untungnya Delia bukan tipe perempuan yang mudah terbawa perasaan. Hanya karena mendapatkan perhatian sendikit saja, contohnya mendapatkan kiriman bunga itu. "Orang bisa berubah k
Habis Maghrib Samudra telah rapi berpakaian, kemeja warna blue sky dan celana jeans hitam membalut tubuh proporsionalnya. Wangi parfum dan jam tangan melengkapi penampilannya malam itu.Beberapa saat ia mematung di depan cermin lemari. Menatap sendiri tubuhnya yang telah rapi dan siap untuk pergi. Dadanya berdebar-debar. Ini kali pertama ia akan melewati akhir pekan untuk bertamu di rumah seorang gadis. Semenjak ia mencintai Delia begitu dalam, tak pernah ia melirik wanita lain. Hingga kenyataan tentang hubungan darah itu terungkap, tapi Samudra masih butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa semuanya bukanlah mimpi. Kemudian menyadari bahwa ia harus membuka hati.Samudra menarik napas dalam-dalam, kemudian meninggalkan kamarnya. Melaju di tengah gerimis yang mengguyur kota. Dua hari ini dia telah merencanakan semuanya setelah tahu banyak siapa gadis itu melalui seorang rekannya. Mobil Barra berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua di komplek perumahan elite. Pagar bercat hitam ti
Samudra memperhatikan sang adik yang sedang mengelap netranya menggunakan tisu. Dadanya berdenyut melihat air mata Delia. Air mata yang mewarnai hari-hari wanita itu beberapa bulan yang lalu.Barra merangkul istrinya. Baginya sang istri hanya terharu dan bahagia. Ia yakin Delia tidak tahu perasaan Samudra terhadapnya.Sebentar kemudian senyum terbit di bibir perempuan yang tengah hamil itu. Delia bangkit kemudian duduk di sebelah Samudra dan memeluk pundak sang kakak. "Alhamdulillah, akhirnya aku akan punya kakak ipar," ujarnya pelan sambil tersenyum.Tangan Samudra mengusap lengan adiknya sambil menatap lekat wajah Delia. Kebahagiaan Pak Irawan terselip rasa getir dalam dadanya, karena beliau memahami perasaan putranya. Andai saja sejak dulu ia memberitahu hal yang sebenarnya, tentu Samudra tidak akan sampai mencintai adiknya sendiri. Pria itu merasa sangat bersalah.Meski Delia ikut bahagia karena sang kakak akhirnya mendapatkan tambatan hati, tapi ada satu rasa yang terkurung di da