Bukan niat Delia membantah suaminya. Dia sudah terbiasa mandiri, selagi bisa dilakukannya sendiri, ia tidak akan membebani orang lain. Kehamilannya bukan penghalang untuk bisa tetap bekerja seperti biasa. Dokter Yunita bilang kandungannya baik-baik saja. Normal tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Sore nanti Mas nggak usah menjemputku. Biar sopir kantor yang mengantarkanku pulang.""Oke. Nanti kita berangkat ke tempat Yovan jam berapa?""Habis Maghrib."Barra mengangguk. Sedikit menurunkan egonya. Mungkin dengan begini, hubungan mereka yang pasang surut bisa berubah jauh lebih baik lagi. Walaupun rasa tidak sukanya pada sosok Yovan membumbung tinggi tak terukur. Terlebih ia mencurigai kalau Yovan yang selama ini mengirimkan buket bunga pada istrinya. Namun mengizinkan sekaligus ikut ke acara laki-laki itu bagi Barra adalah keputusan yang tepat. Apa yang harus dikhawatirkan, bagaimanapun ia pemenang mutlak karena memiliki Delia. Tidak hanya negara saja yang mengakui. Allah juga menjadi
Asyik sekali mereka bercerita mengenang zaman masih menjadi mahasiswa dulu. Tawa yang sesekali menggema hingga ke luar rumah. Mulut bicara sambil mengunyah cemilan. Di meja panjang yang berada di pinggir ruangan, tersedia aneka masakan, minuman, buah, dan puding. Di dalam toples dan piring yang ada di karpet bawah, dipenuhi cemilan. Pertemuan mereka telah direncanakan oleh Yovan jauh-jauh hari. Reuni kecil-kecilan untuk kembali menjalin silaturahmi sesama alumni. Bahkan yang dari luar kota juga menyempatkan untuk datang. Jika bukan kali ini, lalu kapan lagi. Tidak mungkin mengkoordinir beberapa orang untuk bisa datang di suatu acara. Kesibukan yang berbeda-beda membuat waktu luang mereka pun tidak sama. Makanya malam ini merupakan keberhasilan Yovan bisa mengumpulkan mereka semua, setelah tertunda beberapa pekan.Delia yang duduk di samping Mei hanya makan buah dan kacang almond. Tidak berselera melihat nasi dengan lezatnya aneka lauk pauk."Lia, kamu nggak makan nasi?" tanya Yovan.
"Jika boleh jujur, saya masih mencintainya." Pengakuan yang membuat Barra terkejut sekaligus merasakan amarah yang menggelegak dalam dada. Namun ia masih diam, menyembunyikan kepalan tangan dalam saku celana. Jika masih kuliah dulu, dia bisa saja langsung menghantam orang yang mengaku seperti itu. "Tapi Anda jangan khawatir, tak ada sedikitpun niat saya untuk merebut Delia dari, Anda. Apalagi diam-diam mencurangi Anda. Walaupun saya juga tahu kisah kalian berdua. Termasuk adanya perempuan bernama Cintiara." Kalimat terakhir Yovan kembali mengejutkan Barra. Ternyata sejauh itu Yovan tahu seluk beluk tentang dirinya. Padahal ini masalah yang paling pribadi baginya. "Dari mana Anda tahu?""Maaf, saya nggak bisa menyebutkan namanya. Saya hanya sekedar tahu saja tentang kalian berdua. Selain itu, saya nggak akan ikut campur. Kecuali Delia sudah kembali sendiri." Selesai bicara Yovan pergi meninggalkan Barra dan menghampiri teman-temannya yang lain.Begitu tenangnya Yovan bicara. Seolah t
Kejutan yang luar biasa bagi Barra mendengar nama kedua perempuan itu disebut. Ini bukan suara sumbang yang meragukan. Sungguh, sejak awal bayangannya bukan mereka pelakunya."Kamu kenal baik dengan dua wanita itu?" tanya Barra menahan geram."Kenal. Saya dulu pernah bekerja di usaha katering milik ibu mereka. Tapi sudah lama saya berhenti.""Kenapa berhenti?""Sebab gaji saya nggak tentu dikasihnya. Mereka sering telat bayar gaji karyawan."Barra diam beberapa saat. "Oke, kamu boleh pergi," perintah Barra.Tanpa menunggu lama, lelaki itu segera bangkit dan berlalu dari sana. Tinggallah Barra dan Remy duduk berdua."Kamu nggak nyangka kan, Bro?" tanya Remy yang dijawab gelengan kepala oleh Barra. Memang ia sama sekali tidak kepikiran ke sana. Dipikir pengirim bunga itu memang pria yang menginginkan istrinya. Untungnya Delia bukan tipe perempuan yang mudah terbawa perasaan. Hanya karena mendapatkan perhatian sendikit saja, contohnya mendapatkan kiriman bunga itu. "Orang bisa berubah k
Habis Maghrib Samudra telah rapi berpakaian, kemeja warna blue sky dan celana jeans hitam membalut tubuh proporsionalnya. Wangi parfum dan jam tangan melengkapi penampilannya malam itu.Beberapa saat ia mematung di depan cermin lemari. Menatap sendiri tubuhnya yang telah rapi dan siap untuk pergi. Dadanya berdebar-debar. Ini kali pertama ia akan melewati akhir pekan untuk bertamu di rumah seorang gadis. Semenjak ia mencintai Delia begitu dalam, tak pernah ia melirik wanita lain. Hingga kenyataan tentang hubungan darah itu terungkap, tapi Samudra masih butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa semuanya bukanlah mimpi. Kemudian menyadari bahwa ia harus membuka hati.Samudra menarik napas dalam-dalam, kemudian meninggalkan kamarnya. Melaju di tengah gerimis yang mengguyur kota. Dua hari ini dia telah merencanakan semuanya setelah tahu banyak siapa gadis itu melalui seorang rekannya. Mobil Barra berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua di komplek perumahan elite. Pagar bercat hitam ti
Samudra memperhatikan sang adik yang sedang mengelap netranya menggunakan tisu. Dadanya berdenyut melihat air mata Delia. Air mata yang mewarnai hari-hari wanita itu beberapa bulan yang lalu.Barra merangkul istrinya. Baginya sang istri hanya terharu dan bahagia. Ia yakin Delia tidak tahu perasaan Samudra terhadapnya.Sebentar kemudian senyum terbit di bibir perempuan yang tengah hamil itu. Delia bangkit kemudian duduk di sebelah Samudra dan memeluk pundak sang kakak. "Alhamdulillah, akhirnya aku akan punya kakak ipar," ujarnya pelan sambil tersenyum.Tangan Samudra mengusap lengan adiknya sambil menatap lekat wajah Delia. Kebahagiaan Pak Irawan terselip rasa getir dalam dadanya, karena beliau memahami perasaan putranya. Andai saja sejak dulu ia memberitahu hal yang sebenarnya, tentu Samudra tidak akan sampai mencintai adiknya sendiri. Pria itu merasa sangat bersalah.Meski Delia ikut bahagia karena sang kakak akhirnya mendapatkan tambatan hati, tapi ada satu rasa yang terkurung di da
Di balkon ruang tamu lantai dua, Samudra menatap malam yang kian pekat. Terbayang wajah sendu Delia yang menatapnya dengan lekat. Sang adik menunjukkan keharuan dan kebahagiaannya saat mendengar kabar kalau dirinya hendak meminang seorang gadis. Kebahagiaan seorang adik untuk kakaknya, hanya itu yang Samudra rasakan. Minggu depan dia akan mengawali sebuah hubungan baru. Diva akan mengisi ruang hatinya yang selama ini dipenuhi cintanya pada Delia. Dia akan menikah dan menua bersama-sama dengan gadis itu yang akan menjadi pelabuhan terakhirnya.Nanti dirinya akan bersama-sama di pelaminan dengan Delia. Tapi bukan sebagai pasangan seperti yang pernah diimpikannya dulu. Mereka akan berdiri di sana dengan pasangan masing-masing.Semoga saja Barra bisa menjadi suami yang baik, setia, dan bertanggungjawab pada adiknya. Menjadi ayah yang hebat untuk anak-anak mereka nanti."Sam, kamu belum tidur?" tanya Pak Irawan yang tiba-tiba muncul dan berdiri di sebelahnya."Belum, Pa.""Kenapa? Mau lam
Delia memperhatikan buket bunga di tangannya, kemudian senyum terbit di bibirnya yang sensual. Nama Barra tertera di kartu kecil yang ada di antara rangkaian bunga. Ada selarik kalimat manis tertulis di situ. [Good morning, my wife. Beautiful flowers for your beautiful day. From your husband. Barra.]Berarti tadi hanya pura-pura saja saat Barra bertanya tentang buket bunga. Padahal dari dirinya sendiri.Wanita itu mengalihkan perhatian saat ponsel di atas meja berdering. "Halo, Mas.""Sudah tau siapa pengirim bunganya?""Yeay, Mas bisa aja. Tadi sok curiga pula siapa yang ngirim bunga."Terdengar suara Barra yang tengah tertawa. "Aku sengaja bikin surprise untukmu. Gimana, suka?""Suka, thanks, Mas. Bentar lagi aku meeting ini. Mas, jadi meeting juga, kan?""Masih jam sepuluh nanti.""Ya udah. Aku siap-siap dulu.""Oke, Sayang."Hups. Delia jadi kaget mendengar Barra menyebutnya 'sayang'. Kata yang baru pertama kali ia dengar dari mulut suaminya. Wanita itu menyimpan ponselnya di da