“Huahahaha…!”
Bastian tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan cerita Jonathan mengenai insiden kemarin di gedung bioskop yang berlanjut sampai dia dan Theresia pulang ke rumah.
“Apanya yang lucu? Kok tertawa sampai heboh begitu?”
Bastian masih tertawa-tawa sampai air matanya hampir keluar.
“Hahaha…Jonathan, Jonathan. Aku merasa lucu membayangkan kamu bolak-balik naik-turun tangga di bioskop untuk membeli popcorn, kentang, air mineral…. Wah, wah, wah…, Theresia itu layak diberi penghargaan sebagai istri terbawel di muka bumi ini! Hahaha….”
Jonathan memelototi sahabatnya itu dengan geram. Kesal sekali dia dijadikan bahan tertawaan oleh orang yang selalu menjadi tempat curhatnya selama ini. Jauh di dalam lubuk hatinya, laki-laki tampan itu sebenarnya merasa malu mengungkapkan permasalahan rumah tangganya dengan orang lain. Namun jika menanggungnya seorang diri, lama-kelamaan dia bisa minum obat penenang seperti istrinya.
Sementara itu Bastian berusaha menenangkan dirinya dengan menarik napas panjang dan menghembuskannya kembali. Meskipun masih merasa geli, laki-laki berambut cepak itu akhirnya mengalihkan pembicaraannya dengan bertanya tentang Mina Sunyoto, teman SMA Jonathan yang kebetulan bertemu di bioskop dan menjadi sumber pertengkarannya dengan Theresia.
“Memang si Mina itu cantik banget, Bro? Istrimu kok sampai belingsatan setelah melihatnya.”
“Yah, biasa aja, sih. Rambutnya lurus pendek dan disemir pirang….”
“Bibirnya sensual seperti Angelina Jolie….”
“Aku nggak memperhatikan sejauh itu, Bas. Itu bisa-bisanya There aja.”
“Terus pakai rok mini warna putih….”
“Apalagi itu! Bibirnya yang letaknya di atas aja aku nggak merhatiin. Apalagi bagian bawah tubuhnya. Lagian mana bisa mataku nakal kemana-mana kalau ada There yang terus-terusan memantau di sebelahku?!”
“Berarti kalau lagi nggak jalan sama istri, matamu nakal, dong?”
Jonathan mati kutu mendengar pertanyaan cerdik sahabatnya itu. Dilihatnya Bastian yang nyengir menggoda di depannya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Bro,” tagih Bastian sambil mengerling nakal.
Sahabatnya terpaksa menyahut, “Kita kan sama-sama laki-laki, Bas. Kalau ada pemandangan indah kenapa dilewatkan. Betul, nggak? Tapi sumpah mati, sejak pacaran sama There aku nggak pernah menyentuh perempuan lain!”
“Aku percaya. Kamu tipe laki-laki yang menghargai sebuah hubungan. There pacarmu yang paling serius, kan?”
Jonathan mengangguk membenarkan. Seumur hidupnya dia hanya pernah berpacaran tiga kali. Pertama dengan teman SMA, lalu dengan kawan kuliah, dan terakhir dengan Theresia. Ia mengenal istrinya itu ketika sedang mengikuti tender asuransi tenaga kerja yang diadakan oleh pabrik cat Simon Iskandar, ayah kandung Theresia. Kecantikan dan kesupelan gadis itu telah menawan hatinya. Rupanya pewaris tunggal keluarga Iskandar itu juga menaruh hati kepadanya. Seiring berjalannya waktu hubungan muda-mudi tersebut menjadi dekat dan keduanya akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius.
Ayah Theresia tidak berkeberatan memiliki calon menantu yang strata sosial maupun ekonominya jauh di bawah keluarganya, asalkan pemuda itu mempunyai kepribadian yang baik, cerdas, dan mau bekerja keras. Laki-laki yang sudah banyak makan asam garam kehidupan itu menilai semua kriteria itu terdapat dalam diri Jonathan. Tanpa ragu-ragu dia menyetujui putrinya menjalin hubungan spesial dengan pemuda tersebut. Selang setahun kemudian Simon bahkan menanyakan kelanjutan hubungan mereka dan berkata bahwa jika memang sudah serius sebaiknya tidak usah menunda-nunda pernikahan.
Jonathan yang saat itu karirnya sedang naik di bisnis asuransi diberikan opsi untuk segera menikahi Theresia dan bekerja penuh waktu di perusahaan milik Simon atau memutuskan saja hubungan dengan gadis itu kalau memang belum siap membina rumah tangga. Karena memang sangat mencintai kekasihnya, akhirnya pemuda itu memilih opsi yang pertama. Dengan besar hati ditinggalkannya karirnya yang cemerlang untuk bergabung dengan perusahaan cat terbesar nomor dua di negeri ini.
“Oya, katamu sebentar lagi ada sekretaris baru. There nggak keberatan?” tanya Bastian ingin tahu.
“Nope.”
“Tumben.”
“Kenapa memangnya?”
“Dia kan cemburuan. Masa nggak menyeleksi sekretaris barumu terlebih dahulu?”
Jonathan terkekeh dan berkata lugas, “Lha, calon sekretaris baru itu bukan orang lain. Dia keponakan Bu Rosa, sekretarisku yang sekarang. There percaya sekali sama Bu Rosa, karena dulu menjadi sekretaris ayahnya lama sekali, dua puluh tahun lebih.”
“Keponakan? Berarti masih muda, dong?”
“Yes. Dua puluh tiga tahun.”
“What? So young.”
“Tapi dia sudah berpengalaman kerja sebagai sekretaris selama setahun ini. Udah kuwawancara, kok. Orangnya baik, sopan, cerdas, dan lancar sekali berbahasa Inggris. Kelihatannya juga tekun dan suka mempelajari hal-hal baru. Kurasa dia adalah calon yang tepat untuk menggantikan posisi tantenya.”
Dahi Bastian berkerut mendengarkan ulasan sahabatnya. Jonathan yang melihat ada gelagat yang tidak beres lalu bertanya, “Memangnya kenapa, Bas? Kok kamu jadi serius gitu?”
“Kamu nggak sedang jatuh cinta sama calon sekretaris barumu itu, kan?”
Jonathan bagaikan disambar geledek mendengar pernyataan Bastian. Laki-laki itu langsung mengelak dengan tegas, “Apa-apan, sih? Kok pikiranmu jadi negatif begitu?”
“Caramu mendeskripsikan gadis itu berbeda sekali dengan waktu cerita tentang teman SMA-mu yang ketemu di gedung bioskop itu.”
“Ya ampun, Bas! Mana bisa Karin dibandingkan dengan Mimin?! Karin itu tampak elegan meskipun penampilannya terbilang sederhana. Rambutnya panjang hitam alami, nggak disemir norak kayak Mimin. Make-up-nya juga tipis sekali, jadi kecantikannya tampak natural. Pakaiannya juga sangat sopan, cuma kemeja lengan panjang dan rok selutut. Nggak level-lah Mimin dibandingkan sama dia!”
Bastian kembali tertawa terbahak-bahak. Air matanya benar-benar keluar kali ini. Jonathan jengkel sekali melihatnya.
“Jonathan, Jonathan…. Coba kalau kata-katamu tentang Karin tadi kurekam dan kukirimkan pada istrimu, dia pasti akan menentang seribu persen gadis itu menjadi sekretarismu! Hahaha….”
“Apa maksudmu?”
“Masa kamu tidak sadar sudah terpesona pada gadis itu?”
“Ngawur!”
“Kamu bisa menjelaskan dengan detil penampilannya. Bahkan memujinya cantik natural, baik, sopan, cerdas, dan lain-lain. Begitukah kesan profesional seorang pimpinan terhadap calon pegawai barunya, Bro? Baru tahu aku.”
Jonathan tertegun mendengar pernyataan Bastian tersebut. Benarkah hatinya sudah tertawan oleh Karin?
“Saranku…kalau kamu masih berniat mempertahankan perkawinanmu, sebaiknya carilah seorang sekretaris yang sudah matang seperti Bu Rosa. Risikonya kecil, Bro.”
“Risiko apa?”
“Risiko kalian berdua menjalin affair.”
“Gila!”
“Sudah menjadi rahasia umum, Bro, beberapa bos menjalin hubungan istimewa dengan sekretarisnya. Kenapa hal itu tidak bisa terjadi pada dirimu?”
“Karin itu masih muda sekali, Bas. Nggak mungkin dia mau sama aku!”
“Kalau begitu, kamu sendiri mau sama dia?”
Deg! Dada Jonathan tiba-tiba terasa sakit, bagaikan ada sebuah belati menancap tepat pada ulu hatinya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku, Jon.”
Sahabat Bastian itu berdehem sebentar dan menjawab lirih, “Aku terpaksa menerima Karin bekerja untukku karena sungkan dengan Bu Rosa, Bas. Meskipun secara hierarki jabatan, dia adalah sekretarisku, tetapi sesungguhnya dia jauh lebih senior dariku di perusahaan itu. Aku belajar banyak hal darinya. Jadi rasanya tidak etis menolak rekomendasinya untuk mempekerjakan keponakannya menggantikan posisinya….”
“Bukan itu yang kutanyakan tadi, Bro.” “Hah?” “Nah, lihat dirimu. Gagal fokus, kan?” Keringat dingin mengalir dari pelipis Jonathan. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bastian merasa semakin geli melihat kecanggungan sikap pria yang duduk di hadapannya itu. “Aku tadi tanya, kamu sendiri mau sama Karin-kah?” “Mana mungkin, Bro. Aku bisa digorok istriku!” “Berarti kalau There nggak masalah, kamu mau, dong?” Jonathan benar-benar mati kutu. Diambilnya sehelai tisu di meja dan dipak
Jonathan lalu menyiapkan piring kosong, sendok, dan garpu untuk istrinya. “Mau kuambilkan nasi atau kamu ambil sendiri, Yang?” tanya laki-laki itu sabar. Yang ditanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Aku nggak mau makan sendiri,” sahutnya ketus. “Ok. Kusuapin, ya. Sebentar kutiup dulu, masih panas soalnya.” Setelah meniup pelan-pelan nasi campur rawon diatas sendok makan, Jonathan lalu menyuapi istrinya. Tiba-tiba Theresia menyemburkan makanan yang sudah berada di dalam mulutnya itu ke muka suaminya. Jonathan sampai terkejut sekali. “Rawon apa ini?! Asin sekali!” &
Setelah hampir tiga tahun menikah, semakin terbukti kesetiaan Mila terhadap suaminya. Simon sering mengikutsertakannya dalam berbagai hal. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu sangat menghargai pendapat istrinya tersebut. Oleh karena itulah, ketika Theresia tadi meneleponnya sambil menangis terisak-isak, laki-laki tua itu langsung mengajak Mila ikut serta pergi ke rumah putri tercintanya. Sekarang ia dan Jonathan duduk di sofa ruang keluarga untuk membahas persoalan yang terjadi. Dengan tanpa malu-malu akhirnya suami Theresia itu menceritakan segala hal yang terjadi dalam rumah tangganya selama setahun terakhir. Dahi Simon sampai berkerut mendengarkan ceritan menantunya tersebut. Tak disangkanya putri tunggalnya sanggup bertindak sewenang-wenang terhadap suaminya sendiri. Ia menyadari bahwa anaknya itu memang sangat m
Jonathan tercenung mendengar kalimat-kalimat Simon yang menyejukkan hati. Bisakah There mengubah sikap dan perilakunya itu? tanyanya bimbang dalam hati. Hmm…sebenarnya bisa saja kalau dia mau. Dan itu membutuhkan tekad dan upaya yang keras. Barangkali kehadiran Papa sekarang justru bisa memperbaiki segalanya, pikir Jonathan seolah-olah melihat sebuah harapan baru. “Baiklah. Saya akan menuruti Papa kali ini. Terima kasih sebelumnya sudah menawarkan tempat tinggal untuk saya....” Simon tersenyum bijak dan menepuk-nepuk bahu menantunya, “Kau ini sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri, Jon. Masa kau tidak bisa merasakannnya?” Jonathan mengangguk mengiyakan. Ayah mertuanya ini memang selalu bersikap baik dan tak membeda-bedakannya dengan Theresia.  
Selanjutnya dia terduduk seperti dalam posisi bersujud. Tangan kanannya memegang dada kirinya. “Aaarrggghhh….”“Papaaa!” seru Theresia seraya melepaskan pisaunya. Perempuan yang kondisi mentalnya kurang stabil itu langsung menghambur ke arah ayahnya dan memeluknya erat-erat. Simon segera memberi isyarat kepada istrinya untuk menyingkirkan pisau yang jatuh ke lantai. Mila mengangguk mengerti. Diambilnya benda tajam yang hampir menimbulkan malapetaka itu dan diberikannya pada Bi Sum yang berjalan mendekatinya.“Mulai sekarang, simpan semua pisau baik-baik sehabis memasak. Jangan sampai ditemukan oleh Nyonya There,” pesannya kepada pembantu senior tersebut. Bi Sum menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan segera menghilang dari ruang keluarga itu bersama rekan-rekan sekerjanya.&nbs
Diraihnya kedua telapak tangan di depannya dan digenggamnya dengan penuh kasih sayang. “Papa dan Tante Mila akan membantumu menjadi seorang istri yang baik bagi seorang Jonathan Aditya. Benar kan, Mila?”Istri tercintanya itu mengangguk dan tersenyum tulus. Hati Simon lega sekali melihatnya. Dia tak tahu bagaimana masa tuanya tanpa kehadiran istrinya yang berhati mulia ini. Mestinya anakku banyak belajar dari Mila bagaimana caranya melayani suami dengan penuh cinta kasih, pikirnya serius. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang timbul dalam benak pria tua itu.“Mila, bagaimana kalau untuk sementara waktu kita berdua tinggal menemani There di sini? Ambillah seluruh perlengkapan sehari-hari kita di rumah dan bawalah kemari. Katakan pada Jonathan bahwa kita akan bertukar tempat tinggal untuk sementara waktu samp
“Yes! Senang deh, kamu masih ingat aku. Sama siapa kamu kemari? Istrimu?”“Oh, nggak. Sama temanku. Kenalkan, ini Bastian.”Bastian yang memakai treadmill di samping Jonathan tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya. Mimin alias Mina tersenyum nakal sambil menerima uluran tangan laki-laki itu, “Mina. Tapi teman-teman sekolahku biasa memanggilku Mimin.”“Kupanggil apa ya, enaknya?” tanya Bastian sopan.“Mina aja. Terdengar lebih keren. Hehehe….” jawab wanita itu kenes seraya melepaskan tangannya kembali. Kemudian dia memalingkan wajahnya pada Jonathan lagi.
Mina berpikir sejenak sebelum kemudian menjawab, “I think so. Hahaha…, tapi pada dasarnya aku ini tipe orang yang suka bereksperimen. Nggak apa-apa, kan? Mumpung masih muda.”“Agree!” jawab Bastian mendukung. Jonathan cuma nyengir saja. Dia mengelap keringatnya dengan handuk kecil. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada sesosok tubuh ramping dan rambut lurus panjang yang dikenalnya. “Sebentar, ya,” pamitnya pada kedua sahabatnya.“Eh, mau ke mana?” tanya Mina penasaran. “Mau nyapa orang,” jawab Jonathan langsung ngeloyor pergi. Didekatinya perempuan muda yang dikenalnya itu.“Halo, Karin,” sapanya ramah. Rupanya gadis itu adalah keponakan Rosa dan dala