Jonathan menatap istrinya tak percaya. Semakin lama kok dia semakin pintar bersilat lidah! pikirnya heran. Theresia yang ditatap sedemikian rupa menjadi semakin berang.
“Apa lihat-lihat?! Kalau mau marah, marah saja. Nggak usah ditahan-tahan.”
“Aku nggak mau ribut di pinggir jalan seperti ini.”
“Lha, kamu sendiri kok yang berhentikan mobil di sini!”
“Terserah kamu-lah, There. Apapun yang kukatakan selalu salah bagimu.”
“Karena kamu memang bersalah. Dasar pecundang! Jangan lupa, kamu bisa menjadi seperti sekarang ini karena siapa?!”
Jonathan mengemudikan mobilnya lagi tanpa menghiraukan ucapan-ucapan istrinya yang semakin menyakitkan hati. Theresia akhirnya menjadi kesal sendiri dan menutup mulutnya rapat-rapat. Dia agak takut juga kalau suaminya marah nanti menyetirnya jadi tidak karuan.
Jalanan sudah lengang. Dengan cepat dia sudah sampai di depan pintu gerbang rumahnya yang megah. Pintu gerbang yang kokoh itu langsung terbuka lebar menyambut kedatangannya. Laki-laki itu membuka kaca jendela dan menyapa petugas security dengan ramah. Begitulah kebiasaannya yang selalu bersikap menghargai siapapun yang bekerja padanya. Karena itulah orang-orang yang menjadi pegawainya rata-rata bertahan cukup lama.
Setelah memarkir mobilnya, Jonathan segera keluar dari dalam mobil dan meninggalkan istrinya begitu saja. Dia membuka pintu utama rumahnya dan melangkah masuk secepat mungkin untuk menenangkan diri di dalam kamar mandi. Guyuran air hangat yang keluar dari shower dapat membuat pikiran dan sekujur tubuhnya terasa rileks.
“Hei, tunggu dulu! Mau ke mana kamu, Bangsat!” teriak Theresia yang berhasil menyusul suaminya sampai di depan pintu kamar tidur mereka. Ditariknya kaos polo biru tua yang dikenakan laki-laki itu.
“Lepaskan aku, There. Aku mau mandi.”
“Persoalan kita belum selesai!”
“Apa lagi yang perlu dibahas? Sudahlah, lepaskan aku.”
Dengan gusar perempuan yang sedang naik darah itu menampar wajah pria di hadapannya keras sekali. Jonathan sampai melongo dibuatnya. Dengan marah didorongnya tubuh istrinya hingga jatuh tersungkur ke lantai. Dia sendiri langsung membuka pintu kamar dan menghilang seketika. Sementara itu Theresia menangis meraung-raung sejadi-jadinya.
Jonathan yang amarahnya sudah memuncak tidak ambil peduli. Ia berjalan cepat menuju ke dalam kamar mandi dan berkaca di cermin. Dilihatnya pipinya yang memerah akibat tamparan istrinya. Ini sudah yang kesekian kalinya Theresia melakukannya. Ingin sekali laki-laki itu balas menamparnya, tapi hati kecilnya selalu berkata jangan. Seumur hidup dia tidak pernah menyakiti wanita apapun alasannya. Paling-paling kalau sudah berada di puncak amarah, dia mendorong tubuh istrinya seperti tadi.
Ditanggalkannya seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya yang kekar dan ia pun memulai membersihkan tubuhnya di bawah shower kamar mandi.
***
“Sayang, kenapa kau masih berada di sini? Ayo bangun,” ajak Jonathan ketika melihat Theresia masih meringkuk di lantai sambil menangis meratapi nasibnya. Dia sudah selesai mandi keramas dan merasa segar kembali.
“Kamu sudah nggak sayang lagi sama aku, Mas. Lebih baik aku mati saja….”
Jonathan menghela napas panjang. Mati, mati! Selalu kata itu yang diucapkan istrinya bila merasa putus asa. Sudah muak rasanya dia mendengarnya.
“Kata siapa aku sudah nggak sayang lagi sama istriku yang cantik ini? Ayo, sini bangun,” ucap laki-laki itu berusaha menahan kejengkelannya.
Dibantunya Theresia berdiri dan dibimbingnya masuk ke dalam kamar. Perempuan yang wajahnya bersimbah air mata itu menurut saja. Sesampainya di dalam ruangan yang sangat luas itu, pria yang sangat sabar itu menuntun istrinya berjalan menuju ke meja rias.
“Coba kamu lihat,” ucap Jonathan menunjuk bayangan pasangan hidupnya itu di sebuah cermin yang sangat besar. “Kamu cantik dan modis sekali, There. Kelihatan seperti masih berumur dua puluhan. Cuma sayang, mata bengap karena kebanyakkan menangis. Mandi yuk, biar segar.”
“Aku mau mandi sama kamu, Mas,” sahut Theresia manja.
Suaminya tercengang tak percaya. “Aku sudah mandi keramas, Sayang. Ini rambutku masih basah.”
“Sudah lama sekali kita nggak mandi sama-sama. Aku kangen, Mas….”
Wanita cantik itu lalu mencumbu wajah suaminya perlahan-lahan hingga turun ke lehernya. Jonathan yang sudah lama tak bersentuhan dengan istrinya seketika timbul hasratnya. Direngkuhnya istrinya dan diciuminya wajahnya yang masih basah akibat air mata. Theresia menerima perlakuan lembut suaminya itu sesaat. Lalu dia melepaskan diri dan tertawa terbahak-bahak sambil berari menuju ke dalam kamar mandi.
Jonathan menggeleng-gelengkan kepalanya dan membatin, Aku menikahi seorang anak kecil…. Lalu dilucutinya semua yang melekat di tubuhnya dan dia berjalan menyusul istrinya masuk ke dalam kamar mandi.
***
Theresia menatap suaminya yang sudah terlelap di sampingnya. Diselimutinya tubuh perkasa yang polos tanpa sehelai benang pun itu dengan penuh cinta. Dibelai-belainya rambut belahan jiwanya yang halus dan lembut. Selembut hatinya, cetus wanita itu dalam hati.
Dia sangat mencintai suaminya ini. Rasa cintanya begitu besar sehingga membuatnya sangat takut kehilangan Jonathan. Vonis dokter-dokter spesialis kandungan yang menyatakan bahwa dirinya tidak mampu mempunyai keturunan benar-benar menghancurkan kepercayaan dirinya. Theresia merasa sangat rendah diri dan tak berharga. Segala kelebihan yang dimilikinya terasa tak ada artinya dibandingkan satu kelemahannya itu. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, wanita itu rela menukar kecantikan dan kekayaannya untuk mendapatkan seorang anak demi membahagiakan suaminya.
Perempuan cantik itu bangkit berdiri dan melangkah mendekati cermin. Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun. Ia mematut-matut dirinya mencari-cari kekurangan pada tubuh sintalnya. Kulitku masih terlihat putih mulus bersinar, gumamnya dalam hati bangga. Bukit kembarku masih indah bentuknya dan terlihat ranum. Pinggangku masih ramping dan perutku masih rata seperti waktu sebelum menikah. Bagian belakang tubuhku juga masih padat berisi, ujarnya dalam hati mengagumi asetnya yang sangat berharga tersebut.
Kini giliran wajahnya didekatkan pada cermin. Kedua matanya yang bulat masih tampak bersinar. Pipinya masih kencang dan menampakkan lesung pipi yang indah jika tersenyum. Belum terlihat kerutan satu pun di wajahku. Semuanya masih aman-aman saja, pikirnya tenang. Cuma mungkin model rambutku yang sudah ketinggalan jaman. Aku harus pergi ke salon langgananku untuk memotong, meluruskan, dan mengecatnya seperti rambut Mina, teman Mas Jon yang ketemu di bioskop tadi. Perempuan itu dulu sekelas dengan suamiku, berarti usianya sekarang juga tiga puluh lima tahun. Tapi model rambutnya membuatnya terlihat lebih muda dan fresh.
Ya, akan kurubah model rambutku menjadi seperti Mina, tekadnya bulat dalam hati. Kaum laki-laki selalu penasaran dengan segala hal yang baru. Aku harus selalu mengikuti trend terkini agar Mas Jon tidak berpaling dariku!
Dengan raut wajah berseri-seri, Theresia lalu kembali ke atas tempat tidur dan menyelinap di bawah selimut yang menutupi tubuh suaminya. Dirabanya pipi suaminya yang masih tidur pulas dan berkata dalam hati, Kamu milikku selamanya, Mas Jon.... Aku bisa gila kalau ada perempuan lain yang berusaha merebutmu dariku!
***
“Huahahaha…!”Bastian tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan cerita Jonathan mengenai insiden kemarin di gedung bioskop yang berlanjut sampai dia dan Theresia pulang ke rumah.“Apanya yang lucu? Kok tertawa sampai heboh begitu?”Bastian masih tertawa-tawa sampai air matanya hampir keluar.“Hahaha…Jonathan, Jonathan. Aku merasa lucu membayangkan kamu bolak-balik naik-turun tangga di bioskop untuk membeli popcorn, kentang, air mineral…. Wah, wah, wah…, Theresia itu layak diberi penghargaan sebagai istri terbawel di muka bumi ini! Hahaha….”&n
“Bukan itu yang kutanyakan tadi, Bro.” “Hah?” “Nah, lihat dirimu. Gagal fokus, kan?” Keringat dingin mengalir dari pelipis Jonathan. Dia tidak tahu harus berkata apa. Bastian merasa semakin geli melihat kecanggungan sikap pria yang duduk di hadapannya itu. “Aku tadi tanya, kamu sendiri mau sama Karin-kah?” “Mana mungkin, Bro. Aku bisa digorok istriku!” “Berarti kalau There nggak masalah, kamu mau, dong?” Jonathan benar-benar mati kutu. Diambilnya sehelai tisu di meja dan dipak
Jonathan lalu menyiapkan piring kosong, sendok, dan garpu untuk istrinya. “Mau kuambilkan nasi atau kamu ambil sendiri, Yang?” tanya laki-laki itu sabar. Yang ditanya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. “Aku nggak mau makan sendiri,” sahutnya ketus. “Ok. Kusuapin, ya. Sebentar kutiup dulu, masih panas soalnya.” Setelah meniup pelan-pelan nasi campur rawon diatas sendok makan, Jonathan lalu menyuapi istrinya. Tiba-tiba Theresia menyemburkan makanan yang sudah berada di dalam mulutnya itu ke muka suaminya. Jonathan sampai terkejut sekali. “Rawon apa ini?! Asin sekali!” &
Setelah hampir tiga tahun menikah, semakin terbukti kesetiaan Mila terhadap suaminya. Simon sering mengikutsertakannya dalam berbagai hal. Laki-laki berusia enam puluh tahun itu sangat menghargai pendapat istrinya tersebut. Oleh karena itulah, ketika Theresia tadi meneleponnya sambil menangis terisak-isak, laki-laki tua itu langsung mengajak Mila ikut serta pergi ke rumah putri tercintanya. Sekarang ia dan Jonathan duduk di sofa ruang keluarga untuk membahas persoalan yang terjadi. Dengan tanpa malu-malu akhirnya suami Theresia itu menceritakan segala hal yang terjadi dalam rumah tangganya selama setahun terakhir. Dahi Simon sampai berkerut mendengarkan ceritan menantunya tersebut. Tak disangkanya putri tunggalnya sanggup bertindak sewenang-wenang terhadap suaminya sendiri. Ia menyadari bahwa anaknya itu memang sangat m
Jonathan tercenung mendengar kalimat-kalimat Simon yang menyejukkan hati. Bisakah There mengubah sikap dan perilakunya itu? tanyanya bimbang dalam hati. Hmm…sebenarnya bisa saja kalau dia mau. Dan itu membutuhkan tekad dan upaya yang keras. Barangkali kehadiran Papa sekarang justru bisa memperbaiki segalanya, pikir Jonathan seolah-olah melihat sebuah harapan baru. “Baiklah. Saya akan menuruti Papa kali ini. Terima kasih sebelumnya sudah menawarkan tempat tinggal untuk saya....” Simon tersenyum bijak dan menepuk-nepuk bahu menantunya, “Kau ini sudah kuanggap seperti anak kandungku sendiri, Jon. Masa kau tidak bisa merasakannnya?” Jonathan mengangguk mengiyakan. Ayah mertuanya ini memang selalu bersikap baik dan tak membeda-bedakannya dengan Theresia.  
Selanjutnya dia terduduk seperti dalam posisi bersujud. Tangan kanannya memegang dada kirinya. “Aaarrggghhh….”“Papaaa!” seru Theresia seraya melepaskan pisaunya. Perempuan yang kondisi mentalnya kurang stabil itu langsung menghambur ke arah ayahnya dan memeluknya erat-erat. Simon segera memberi isyarat kepada istrinya untuk menyingkirkan pisau yang jatuh ke lantai. Mila mengangguk mengerti. Diambilnya benda tajam yang hampir menimbulkan malapetaka itu dan diberikannya pada Bi Sum yang berjalan mendekatinya.“Mulai sekarang, simpan semua pisau baik-baik sehabis memasak. Jangan sampai ditemukan oleh Nyonya There,” pesannya kepada pembantu senior tersebut. Bi Sum menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan segera menghilang dari ruang keluarga itu bersama rekan-rekan sekerjanya.&nbs
Diraihnya kedua telapak tangan di depannya dan digenggamnya dengan penuh kasih sayang. “Papa dan Tante Mila akan membantumu menjadi seorang istri yang baik bagi seorang Jonathan Aditya. Benar kan, Mila?”Istri tercintanya itu mengangguk dan tersenyum tulus. Hati Simon lega sekali melihatnya. Dia tak tahu bagaimana masa tuanya tanpa kehadiran istrinya yang berhati mulia ini. Mestinya anakku banyak belajar dari Mila bagaimana caranya melayani suami dengan penuh cinta kasih, pikirnya serius. Tiba-tiba sebuah ide cemerlang timbul dalam benak pria tua itu.“Mila, bagaimana kalau untuk sementara waktu kita berdua tinggal menemani There di sini? Ambillah seluruh perlengkapan sehari-hari kita di rumah dan bawalah kemari. Katakan pada Jonathan bahwa kita akan bertukar tempat tinggal untuk sementara waktu samp
“Yes! Senang deh, kamu masih ingat aku. Sama siapa kamu kemari? Istrimu?”“Oh, nggak. Sama temanku. Kenalkan, ini Bastian.”Bastian yang memakai treadmill di samping Jonathan tersenyum ramah sambil mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya. Mimin alias Mina tersenyum nakal sambil menerima uluran tangan laki-laki itu, “Mina. Tapi teman-teman sekolahku biasa memanggilku Mimin.”“Kupanggil apa ya, enaknya?” tanya Bastian sopan.“Mina aja. Terdengar lebih keren. Hehehe….” jawab wanita itu kenes seraya melepaskan tangannya kembali. Kemudian dia memalingkan wajahnya pada Jonathan lagi.