Di lantai dansa, Siska dan Gio berdansa bersama.Siska pandai berdansa setelah berlatih semasa kuliah. Dia tidak menyangka Gio juga sangat lancar berdansa."Dokter Gio ternyata petualang cinta juga ya." Siska tidak bisa menahan diri untuk tidak menggoda.Gio setengah tersenyum dan berkata dengan nada santai, "Semua orang pernah muda.""Hahaha ...." Siska merasa geli. "Dokter Gio, umurmu belum genap 30 tahun 'kan? Kenapa tingkahmu seperti orang tua?""Anak gadis nggak akan mengerti." Gio menghela napas panjang. "Seseorang mungkin sudah lama meninggal pada usia 27 tahun, dan yang masih hidup sekarang hanya cangkang tak berisi.""Apaan itu!" Siska tampak meremehkan.Setelah berdansa hingga satu lagu selesai, mereka pergi mencari Felix bersama-sama. Tak disangka, Tanto menghadang mereka di tengah jalan."Tuan Lastana ada perlu apa?" Siska menggandeng lengan Gio dan bahkan menyandarkan kepalanya dengan mesra.Tubuh Gio terlihat menegang sejenak, tetapi dia tidak menolak.Tanto mengerutkan k
Gio segera pergi.Nona Siska memang masih muda dan menarik. Dokter Gio pasti orang yang hebat ya?" Liana memperhatikan Gio pergi dan bicara penuh sindiran.Siska tidak memiliki dendam dengan Liana, tetapi kata-kata Gio barusan jelas ditujukan untuk menyerang Liana.Dia pun harus berhati-hati."Nona Liana, perlu bicara apa denganku?" Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya langsung.Liana menunduk dan tersenyum. "Nona Siska kenapa memusuhiku seperti ini?"Siska tidak berkata apa-apa dan mengerutkan kening karena kesal."Apa Pasha bilang sesuatu sebelum dia mati?" Liana memasang wajah terkejut."Pasha?" Sirene tanda bahaya berbunyi tepat di telinga Siska. "Kamu ... kenapa bisa tahu Pasha?"Tentu saja aku kenal Pasha. Liana berkata dalam suasana hati yang baik, "Lagi pula, aku mengatakan kepadanya secara pribadi bahwa kamu menyembunyikan sesuatu. Sayang sekali, dia salah paham dan mengira kamu adalah tipe wanita yang mau disentuh siapa saja. "Dia mendecakkan lidahnya. "Bodoh sekali, ng
Siska gemetar menahan amarah. Dia tidak menyangka semuanya akan seperti ini.Melihat kelicikan Liana, Siska tak bisa membayangkan sudah berapa kali dirinya diperdaya olehnya.Ketegangan antara Tanto dan Gio semakin mencekam dan kedua belah pihak tidak ada tanda-tanda menyerah."Dok." Siska tidak mau berlama-lama lagi dan menarik baju Gio. "Ayo pergi."Gio mengangguk. "Kamu duluan."Yara dan Felix datang pada saat ini.Melihat wajah merah Siska, Yara langsung menyadari ada yang tidak beres. Dia segera bertanya, "Siska, ada apa?""Ayo pulang, nanti kita bicarakan lagi." Suara Siska bergetar."Oke, oke." Yara mengangguk dan berjalan keluar setengah memeluk Siska.Felix menghampiri dan menepuk pundak Gio. "Kamu antar mereka pulang dulu. Di sini biar aku yang urus."Gio pun beranjak pergi.Tanto begitu marah dan berusaha mengejarnya, tapi Felix menekan pundaknya. Untuk sejenak, pria itu tidak bisa bergerak.Felix melihat Liana duduk di tanah dalam keadaan basah kuyup dan merendahkan suarany
"Mau coba?" Suara Felix dipenuhi antisipasi."Coba? Aku dan Siska?" Gio menatap mata Felix lebih lekat lagi.Cahaya dari bar menerpa wajahnya. Matanya selembut air, di balik kacamata berbingkai emas.Felix tiba-tiba merasa tidak sanggup melanjutkan pembicaraan dan lebih dahulu memalingkan muka.Namun, Gio menepuknya dan memintanya mendekatkan telinga.Meskipun Felix agak enggan berbisik-bisik sesama laki-laki, dia sudah sedikit mabuk dan sangat berterima kasih kepada Gio. Akhirnya, dia mencondongkan kepalanya ke samping dengan patuh.Lalu dia mendengar Gio berkata dengan suara yang dalam, "Membosankan."Felix mengerutkan kening. "Bukannya kamu barusan muji-muji dia setinggi langit, kenapa sekarang malah dibilang membosankan?"Gio merasa malu, "Mereka berdua terlalu rasional, pokoknya membosankan."Dia menatap Felix lagi. "Karena itulah Siska dan Yara bisa berteman baik. Aku dan kamu ... paling nggak bisa dikatakan setengah berteman.""Maksudmu?" Felix memprotes, "Aku kurang rasional di
Karena bertepatan dengan Tahun Baru, rumah keluarga besar Lastana cukup ramai.Ketika Yara sampai, dia menemukan Tanto dan Liana ada di sana. Bahkan Santo dan Melanie pun di sana. Hanya Yudha yang tidak ada, dan dalam hati dia merasa kecewa."Rara datang?" Agnes langsung menyapanya dengan antusias begitu Yara masuk.Yara tersenyum canggung. "Aku ingin menjenguk kakek.""Ayo masuk. Kakek baru saja tidur, tunggu sampai dia bangun lagi." Agnes mempersilakan dia masuk dan mengedipkan mata pada Felix."Rara, ayo masuk. Kita makan siang di sini nanti." Felix merendahkan suaranya. "Anggap saja untuk menemani Kakek. Nafsu makan Kakek nggak terlalu bagus akhir-akhir ini.""Oke." Yara mengikuti ke ruang tamu.Agnes pergi ke dapur untuk meminta makan siang dihidangkan. Di ruang tamu Tanto dan Santo sedang bermain catur, dan Liana sedang mengobrol dengan Melanie.Felix berdiri di belakang Yara dan bertanya dengan lembut, "Kamu mau pergi ke kamarku saja?""Rara, ayo duduk di sini. Kita belum sempat
Namun, memikirkan dua orang gila di lantai bawah membuatnya lebih memilih untuk menunggu di sini.Dia melihat-lihat mainan sebentar sebelum dia mendengar ketukan di pintu.Begitu membuka pintu, dia mendapati bahwa itu adalah Yudha.Yudha melirik ke dalam kamar, tetapi tidak melihat Felix, "Di mana Kak Felix?"Setelah bertanya, dia tahu sendiri jawabannya karena suara gemericik air yang berasal dari kamar mandi.Sekejap, Yudha menarik Yara keluar kamar."Apa-apaan sih?" Lengan Yara terasa sakit karena genggaman Yudha terlalu keras."Baju tidurmu ketinggalan 'kan waktu itu? Yudha beralasan. "Aku menemukannya. Ikuti aku, kamu ambil sekalian.""Baju tidur?" Yara merasa bingung."Baju tidur kuning yang ada gambar bebeknya." Yudha berbalik ke kamarnya. "Cepat ambil. Di sini merusak pemandangan.""Buang saja kalau memang merusak pemandangan." Yara berdiri diam."Kamu yang buang!" kata Yudha memaksa.Yara merasa tak berdaya dan tidak punya pilihan.Begitu masuk, dia hanya berdiri di ambang pin
Yara tidak bisa menahan diri sama sekali, dan dia memelototi Yudha dengan marah.Yudha sudah terlalu panas dan memejamkan matanya untuk meminta lebih banyak, tetapi samar-samar dia merasakan sebuah tatapan.Dia perlahan membuka matanya dan melihat Yara menahan air mata, menatapnya dengan mata penuh rasa muak dan benci.Dalam sekejap, dia tersadar dan melepaskan wanita itu, mundur selangkah.Sejak kapan? Yara ... begitu muak dan benci pada dirinya?Pada saat itu, Felix tiba-tiba mendorong pintu. Melihat Yara di sana, dia langsung menghampiri dan meninju Yudha dengan keras. "Dasar binatang!"Yudha terhuyung dan hampir terjatuh. Dia menyeka sudut mulutnya dengan ibu jari melihat setitik darah."Kamu nggak apa-apa?" Felix memegang bahu Yara.Yara menggeleng dan menatap Yudha dengan marah. "Camkan baik-baik. Ini yang terakhir. Lain kali, meskipun kita belum bercerai, aku bisa menuntutmu atas pemerkosaan dalam pernikahan!""Yudha, kamu sudah keterlaluan kali ini!" ucap Felix dengan wajah din
Kakek Susilo mengerutkan kening. "Aneh rasanya. Agnes kelihatan sayang padamu akhir-akhir ini. Perubahannya terlalu mencolok.""Mungkin karena dia yakin aku akan menceraikan Yudha, jadi nggak ada gunanya lagi memusuhiku." Yara tertawa getir."Menurutku bukan itu saja." Namun, Kakek Susilo tidak bisa memikirkan alasan lain.Dia menatap Yara dengan wajah penuh kasih, mengetahui bahwa hari-harinya tidak akan lama lagi, dan bahwa saat ini, mungkin, adalah saat terakhir mereka bertemu dalam hidup ini.Orang-orang yang paling dia khawatirkan dan membuatnya sedih di dunia ini adalah Yudha dan Yara.Terutama Yara.Yudha setidaknya memiliki banyak uang. Agnes, Felix, dan bahkan begitu banyak penjilat yang peduli padanya.Sedangkan Rara harus bekerja sangat keras untuk mencari uang banyak. Dan di atas semua itu, orang-orang yang peduli padanya tidaklah banyak."Rara, kamu tambah kurus ya, apa terlalu capek bekerja? Ada yang melukaimu?"Yara menggelengkan kepalanya dan sengaja berbohong sedikit.