"Kak, aku nggak mau ke kamp."Yara berbaring di tempat tidurnya sambil berpikir lama. Dia selalu merasa bahwa mimpi semalam sangat nyata, seakan-akan mimpi itu benar-benar Zaina datang mengingatkannya akan sesuatu.Dia membuat keputusan, "Aku ingin mengaku ke Ayah. Aku ingin bersama dengannya."Dia pernah tidak saling terbuka dengan Zaina karena ketakutannya terhadap Melanie. Namun, pada akhirnya, Zaina tetap pergi.Dia tidak ingin membuat kesalahan seperti itu untuk kedua kalinya.Baik Felix maupun Siska agak terkejut, tetapi di saat yang sama mereka juga merasa bahagia untuk Yara."Rara." Siska memeluk Yara dengan lembut. "Ayo, kami mendukung semua keputusanmu."Felix juga mengangguk. "Benar Rara, sekarang kamu sudah memutuskan, kapan kamu mau menemui dia? Aku yakin dia pasti akan senang setelah mengetahuinya."Soal itu, Yara tak berani berharap berlebihan.Santo dan Zaina telah membesarkan Melanie selama lebih dari 20 tahun, memperlakukan Melanie sebagai permata hati mereka. Jika ti
Memang yang paling dia pedulikan bukanlah Zaina atau Melanie, tetapi keluarga mereka.Mungkin ada hubungannya dengan pengalaman masa kecilnya.Namun, sekarang?Ternyata semua yang dia sayangi adalah kebohongan, dan itu telah membuat orang-orang yang paling dia cintai menderita.Akan tetapi, Zaina tidak mau mengubah semua ini karena dia tahu apa yang dipikirkan Santo. Hatinya serasa tercekat."Ayah, kamu nggak apa-apa?" Yara melihat wajah Santo sangat pucat. "Ayah, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri. Pada akhirnya, setiap dari kita sama-sama harus disalahkan atas kejadian ini. Aku terlalu pengecut dan terlalu mudah dimanipulasi Melanie."Dia menyeka air matanya. "Aku memimpikan Ibu tadi malam. Dia memintaku untuk melindungimu."Santo menggertakkan giginya. "Beraninya dia melakukan semua ini padaku?""Ayah, percayalah, Melanie bukanlah gadis baik yang ada dalam pikiranmu. Dia lebih gila dari yang bisa kamu bayangkan. Kita nggak boleh membiarkan dia tahu tentang kita untuk saat ini,"
Keduanya seperti tak habis-habisnya berbicara setelah mengetahui hubungan asli satu sama lain, dan mereka belum berpisah hingga malam tiba.Sekembalinya ke rumah, Yara berbagi kegembiraannya dengan Siska dan Felix. "Aku sempat takut Ayah nggak mau menerimaku."Apalagi dia sudah lama tidak akur dengan Santo."Bagaimana mungkin? Aku yakin ini semua sudah diatur oleh Tuhan, Paman Santo dan Bibi Zaina selalu sayang padamu." Siska, sebagai sahabat Yara, telah melihat semuanya.Yara akhirnya bisa bernapas lega. Rasanya memiliki seseorang yang dapat dia jadikan sandaran.Mereka bertiga memutuskan untuk merayakannya dengan membuat makan malam mewah.Namun, saat memotong sayuran, tanpa sengaja tangan Yara teriris dan berdarah deras.Felix dan Siska sangat ketakutan."Oke, oke, tunggu di ruang tamu saja." Siska mendorong wanita itu keluar dari dapur. "Biar aku dan Kak Felix yang masak.""Nggak apa-apa." Yara dengan canggung berkata, "Aku cuma melamun sebentar tadi. Aku janji lebih hati-hati, ngg
Namun, Yara tidak pernah merespons.Ekspresi Felix sangat menakutkan dan seluruh tubuhnya terus gemetaran karena panik. Suaranya terdengar goyah saat dia berbicara."Siapa yang telepon? Apa yang mereka bicarakan?"Ketika Siska menyadari ada yang tidak beres dengan Yara, dia langsung melihat membuka ponselnya. "Yudha, aku nggak tahu apa dia bilang apa."Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengendalikan emosinya, tetapi air matanya tak dapat dibendung. Dia bertanya pada Felix penuh ketakutan, "Apa yang harus aku lakukan? Rara pendarahan hebat, apa yang harus aku lakukan?""Entahlah." Felix membunyikan klaksonnya penuh panik, bahkan sampai membunyikan sirene.Mobil-mobil memberi jalan dan mereka melaju dengan bebas, menuju Rumah Sakit Pusat tanpa halangan apa pun.Pihak rumah sakit sudah diberi tahu dan sudah siap membawa Yara dengan tandu.Yudha sedang berada di lantai dasar pada saat itu dan dia melihat Yara dibawa masuk ke dalam lift dalam keadaan berlumuran darah.Dalam sekejap, sekujur
Yudha tetap berada di lantai dasar, seluruh tubuhnya tegang. Tubuh Yara yang berlumuran darah terus muncul dalam benaknya.Dia memberi tahu Yara segera setelah menerima telepon dari Melanie. Karena keadaan Santo kritis, dia pikir Yara pasti ingin bertemu Santo setidaknya untuk yang terakhir kalinya.Namun, dia tidak menyangka Yara akan sesedih ini .... Dan kenapa untuk kedua kalinya dia mengalami pendarahan hebat.Pikirannya teralihkan ketika tiba-tiba dia melihat seorang kenalan yang datang dengan tergesa-gesa.Teresa Geraldi! Dokter Teresa dari rumah sakit bersalin!Yudha berdiri tercenung. Kenapa Dokter Teresa ke sini?Pikirannya tidak mengerti, tetapi tubuhnya bereaksi lebih cepat dari otaknya dan segera mengikuti tanpa suara.Teresa sangat cemas. Dia datang segera setelah menerima panggilan Felix, sama sekali tidak menyadari ada orang yang mengikutinya.Sesampainya di depan IGD, dia buru-buru menghampiri Felix begitu pria itu muncul. "Bagaimana?"Felix mendongak setelah mendengar
Yudha terdiam beberapa saat, lalu berbicara lagi dengan susah payah, "Kapan itu terjadi?"Bukankah Yara mengatakan bahwa dia sangat mencintainya?Kenapa dia ... berada ke ranjang pria lain bahkan sebelum mereka bercerai?Di sisi lain, dia sendiri sungguh konyol.Meski sudah memutuskan untuk menikah dengan Melanie, dia sama sekali tidak bisa dekat dengan wanita itu.Dia benar-benar seorang badut."Apa itu penting?" Felix bahkan tidak ingin menjawab sama sekali."Sangat penting!" Yudha hampir berteriak. Matanya memerah dan darah di tubuhnya seperti mendidih."Sudah lebih dari dua bulan." Felix memberikan perkiraan waktu.Kepala Yudha mati rasa. Dia seperti kehilangan jiwanya."Yudha?" Terdengar suara Melanie tiba-tiba. Dia melangkah maju dengan mata merah dan sembap. "Kamu sejak kapan sampai di sini? Ayahku di sana!"Yudha mencoba untuk bangun, tetapi tidak bisa."Yudha, kamu kenapa?" Melanie bergegas menolongnya.Yudha tanpa sadar ingin mendorong Melanie, tetapi segera berubah pikiran d
Yara baru terbangun saat hari sudah siang keesokan harinya.Felix dan Siska tetap menjaga di samping tempat tidurnya. Ketika mereka melihatnya bangun, Felix segera pergi mencari Teresa."Rara, bagaimana perasaanmu?" Siska buru-buru menyeka air matanya dan menggenggam tangan Yara dengan lembut.Yara menatap kosong ke langit-langit, seolah belum sepenuhnya sadar."Rara, jangan membuatku takut." Siska tidak bisa menghentikan air matanya lagi. "Lihat aku, aku Siska. Kamu ada yang sakit di suatu tempat?"Yara akhirnya mengerjap dan berjuang untuk bangkit."Rara, kamu nggak boleh gerak. Dokter Teresa bilang kamu nggak boleh bangun dari tempat tidur." Siska panik dan buru-buru menahannya, tetapi tidak berani keras-keras.Yara masih berusaha bangkit. "Aku mau lihat Ayah.""Jangan gerak dulu, dengarkan aku ...." Siska ragu-ragu sebentar. "Paman Santo berhasil diselamatkan.""Benarkah?" Yara menatapnya dengan mata merah dan berkata dengan nada memohon, "Siska, jangan bohong padaku. Jangan bohong
Dia menatap Felix dengan serius, "Kak, kita sudah kenal cukup lama. Aku percaya padamu.""Terima kasih." Felix mengucapkannya dari lubuk hati yang terdalam."Nggak perlu berterima kasih, rawatlah Rara dengan baik, aku akan membantumu, apa pun yang kamu lakukan." Siska mengangguk dengan penuh semangat.Tak lama kemudian, Teresa keluar."Bagaimana?" Keduanya maju bersama dan bertanya cemas.Teresa mendesah dalam-dalam. "Bahayanya nggak terlalu mengancam untuk saat ini. Tapi aku peringatkan kalian, dia benar-benar nggak akan tahan menerima tambahan beban sedikit pun. Jangankan anak-anaknya, dirinya sendiri saja belum tentu selamat. Kalian nanti yang akan menyesalinya."Siska dan Felix menghela napas lega pada saat yang bersamaan, tetapi mereka juga sama-sama menguatkan diri masing-masing.Mereka harus menjaga Yara lebih baik lagi."Ngomong-ngomong, Gio sudah pulang ke kamp?" Teresa tiba-tiba bertanya.Felix mengangguk. "Iya, kenapa?""Aku bukan ahli psikologi, jadi persisnya nggak ngerti,