"Apa kamu tidak ingat tentang malam itu?" Alice menatap tak percaya dengan tatapan sahabatnya yang kebingungan."Eum, aku merasa mengingatnya." Airi menjawab ragu. "Lalu, kamu tau siapa yang pulang bersama kamu?" Alice kembali mengingatkan Airi. Kekhawatiran sahabat Airi hanya lah pada hubungan badan yang mana mungkin akan membuahi. Alice sangat tidak ingin sahabatnya menderita karena lupa pria mana yang berhasil mendapatkan keperawanannya.Airi menggeleng. "Siapa orang itu?" gummanya."Apa kamu tau, Lice?" "Hey, kamu pikir aku ini apa?" Alice mengingsrekkan hidungnya, berdrama. "Aku hanya mencuri dengar saat pria itu berkata akan mengantar kamu pulang.""Kenapa tidak kamu saja?" "Sayangnya aku, kamu tau kalau aku ingin kamu mendapatkan kekasih. Seperti yang kamu inginkan juga, makanya aku berhenti sampai di sana.""Kamu ...?" Airi benar-benar gemas. Menahan amarahnya dalam hati. Jika pria itu adalah hidung belang yang hanya menginginkan tubuh Airi, bagaimana?"Aku tau pria itu p
"Bos, bagaimana dengan pembangunan?" Kime datang menghadap pria yang duduk di kursi kebesarannya. "Lakukan seperti biasa. Ambil alih semuanya, itu milik kita." Kepala Kime mengangguk patuh. Tanpa basa-basi lagi segera masuk ke kursi dan meja yang biasa dia gunakan untuk memulai zoom meeting bersama para investor atau pemegang saham di perusahaan yang dia dirikan. Tepatnya yang si bos dirikan."Selamat sore," sapa Kime ramah. Di antara keluarga dari Sindikat Naka, Kime adalah satu-satunya pria dengan keramahtamahan serta penuh kelembutan. "Sehubungan dengan kerjasama pembangunan bar kasino terbesar dengan Tuan Keiko, saya Kime yang akan mengambil alih seluruh proses lanjutannya. Ini tentu sudah di bicarakan dengan ketua dari Tuan Keiko.""Loh? Bagaimana ini?" "Kenapa bisa Tuan Kime?" "Bagaimana mungkin bisa jadi Tuan Kime?""Tuan Kime serius? Ada seseorang yang mendatangi kami di hari lalu." Seorang wanita berdiri dan melantangkan suara. Keriuhan yang sempat terjadi dengan sali
Drrt ... Drrt ....Lagi, Airi tak tidur di rumahnya. Dia segera mengangkat telepon tanpa melihat terlebih dahulu. Kantuk masih menyertainya."Halo, siapa?" Ponselnya itu dia letakkan di dekat telinga. "Airi-ah? Begitu lah cara kamu menyambut uncle?""Paman?" Airi terperanjat. Bangun dari tidurannya dan menaruh ponsel di atas tempat tidur. "Airi–ah, itu bukan di rumahmu!""Hah?" Airi menoleh ke layar ponsel dan langsung menutupi ponsel dengan bantal yang ada di dekatnya. Ternyata bukan telepon suara. Video call yang dilakukan pamannya itu membuat Airi kalang kabut kebingungan."Paman, aku sedang menginap di rumah Alice, nanti aku hubungi Paman lagi. Selamat pagi dan sampai jumpa." Gadis itu berbohong. "Hah, hh ...." Helaan napas lega dia keluarkan setelah panggilan video dia tutup sepihak. Meski pada kenyataannya, sang paman tetap saja tak gentar terus menanyakan di mana Airi saat ini berada. Pesan dengan kalimat yang sama terus hadir menyamai suara jarum jam. [Kamu sedang di ru
[Momy, Baby kecilmu siap punya pacar.] Bibir tipisnya merekah membuat garis. Tatapannya tak teralihkan dari cuitan yang dibarengi foto manisnya. Dia mengambil napas, lalu mematikan layar ponsel dan menaruh ke dalam mini bag-nya. Takara Airi atau biasa disapa Eri. Gadis berdarah Jepang–Korea sedang berada di tahun kedua kuliahnya. Setelah hidup 19 tahun lamanya tanpa sandaran hati, Airi akhirnya mau membuka diri untuk mengenal yang namanya cinta sejati. Lampu remang-remang menjadi pencahayaan tempatnya berada saat ini. Pada sebuah bar ternama di ibu kota Negri Sakura, keramaian dan hiruk pikuk menemani malam di tempat luas nan megah itu. Saat ini lantai dansa sudah dibanjiri manusia-manusia. Dari kursi tempatnya duduk, Airi menikmati musik yang bersahabat dengan telinganya. Sesuai instruksi pesan dari calon teman kencannya, tempat mereka bertemu adalah meja tengah yang berdekatan dengan lantai dansa. "Hh!" Airi menghela napas. Lelah menunggu yang katanya sudah di jalan. Entah sud
Seorang pria berpakaian serba hitam berjalan tergesa memasuki rumah dengan nuansa serba putih. Langkahnya berhenti. Menunduk punggung hormat. "Bos," sapanya."Ada laporan, Bos. Ada mayat dari pinggir hutan Aokigahara." Dia berkata di hadapan pria yang sedang duduk termangu. Kepala si bos terangkat. "Mayat? Bunuh diri?" Sebelah alisnya naik ke atas. Dalam bulan ini bukan berita kematian pertama kali. Bunuh membunuh di dunianya pun seperti santapan sehari-sehari.Si pembawa laporan hanya diam menunduk. "Siapa?" tanya si bos."Keiko, Bos."Pikiran pria yang dipanggil bos itu langsung mengarah ke seseorang yang beberapa hari lalu dia lihat mendatangi gadisnya di Honesty Bar. Ada yang membereskan untuknya. Atau mungkin menghadirkan masalah?"Bagaimana dengan kepolisian?" tanyanya masih tanpa ekspresi. Nakamoto Yamashita. Bos dari sindikat Naka yang tak pernah menunjukkan wajahnya. Orang-orang hanya tahu bahwa Bos Naka adalah pria yang berbahaya. Menakutkan. "Sudah dilaporkan. 30 menit
'Kenapa dia mirip ...?' Airi tiba-tiba teringat sesuatu. Di sebuah rumah makan dengan private room. Airi bergabung bersama para anggota polisi lainnya. Pria yang menjemputnya mengatakan mereka semua dari tim 1 yang bertugas memecahkan kasus kematian Keiko. Namun sedari tadi, mata Airi sering mencuri pandang ke si pria yang selalu memisahkan diri. "Tuan Oya, ya?" Airi bergumam, membuat orang yang duduk di sebelahnya bertanya. Namun Airi gadis yang cerdik, jadi hanya menjawab jika itu hanya gumaman kekaguman. Airi merogoh ponselnya karena lagi-lagi si tuan Oya menggangu pikirannya. Dia memandang sebuah potret pria tampan yang terpampang sebagai wallpaper. Foto yang ditemukan dari berkas penting sang papah.'Ini mirip.'Beberapa kali gadis itu melakukan peralihan mata menoleh dari ponsel ke si tuan Oya. 'Aku harus tahu siapa dia.' Airi kembali membatin, bertekad untuk menemukan jawaban dari pertanyaan yang sering bergulat manja di pikiran.Selesai mengisi perutnya dengan beberapa p
Dia menyesap dalam-dalam rokok yang tersemat di antara dua bibirnya. Pandangannya tak bisa bergeser dari si gadis yang sudah tertidur. "Bagaimana dengan hasil dari forensik?" tanyanya setelah memindahkan rokok ke piring kecil di atas meja."Tidak ada sidik jari lain yang ditinggalkan di tubuh Keiko, Bos. Hasil akan dilaporkan ke media besok pagi dengan peryatakan bunuh diri," jawab dari orang dari seberang sana. "Sangat lucu." Si bos menarik sebelah ujung bibirnya."Periksa tentang tanda salib yang gadis itu katakan.""Baik, Bos."***Pukul lima pagi. Airi terbangun kembali setelah sempat bangun hanya untuk meminum sup penghilang pengar dari si pemilik rumah tempatnya tidur. "Sudah pagi dan aku harus bangun," ucapnya. Airi turun dari ranjang besar dengan seprai putih bersih. Kakinya melangkah keluar dari kamar itu. "Pagi ini pers akan mengumumkan kematian Keiko, dan—""Kalian mengenal Keiko?" Gadis itu keluar dengan hanya mengenakan baju dalamnya saja. Sangat tipis.Tuan Oya sege
Hening lama. Hanya ada dentingan jam yang menemani kesunyian. "Airi.""Eh, i–iya?""Sebelum menjawab, apa kamu tau siapa aku?" Airi kembali diam. Bergeming. Memutar bola matanya mencari objek yang bisa matanya pijaki. Tidak lama anggukan dia berikan. "Ya, penerus Oyama Group yang siap menjadi pengusaha muda sukses selanjutnya," jawab Airi mencoba riang, berbanding terbalik dengannya yang tadi terlena dalam tatapan pria yang melepas kacamata itu.Dia tentu mengenal Tuan Oya seperti yang dikatakan para polisi kemarin. Pria yang saat ini di usia akhir dua puluhan itu sedang berjalan nanjak pada karir bisnisnya. Sayang sekali harus tersandung karena masalah kematian Keiko, si pria yang ternyata pengusaha muda itu digadangkan akan menjadi mitra bisnis dan menjanjikan kesuksesan bagi perusahaan Oyama Group. "Apa sungguh mengenal? Mengapa di pikiranmu itu selalu ada uang?" "Cih." Airi jadi menoleh ke si pria. "Hidup itu harus realistis."Airi membuka matanya lebar-lebar. Bersikap angku