Amanda dan Selma berada di dalam ruangan yang sama. Di kamar Amanda yang luas itu."Permainan takdir ini, sungguh menggelikan, ya?" ucap Amanda. "Sekaligus menyakitkan.""Jadi, kamu sadar soal itu?" tanya Selma.Amanda memberikan anggukan kepala sebagai jawabannya. "Aku bisa membayangkan, dosa sebesar apa yang tengah aku lakukan. Hanya berharap karma buruk tidak menimpa anak kami sebagai balasan dari apa yang sudah aku lakukan.""Gak usah dipikirin lagi," kata Selma. "Sekarang kita adalah keluarga. Kamu juga istrinya Mas Panji. Kita wajib berbakti padanya." Ia memegang tangan Amanda.Sekali lagi, Amanda menganggukkan kepala.Setelah menikah, Amanda membuat sebuah keputusan besar. Ia ingin mundur dari gemerlapnya dunia keartisan. Vero yang paling terkejut mendengar keputusan itu."Manda, lo yakin dengan keputusan ini?" tanya Vero. Ia mengerti alasannya. Tetapi karir yang masih cemerlang itu, akan terasa sangat disayangkan."Aku yakin," jawab Amanda. "Aku ingin fokus dengan kehamilan in
Sebagai istri kedua, Amanda sadar sepenuhnya bahwa menerima pernikahan ini adalah sebuah kesalahan, untuk melindungi reputasi dirinya yang hamil di luar nikah. Tetapi dirinya tidak bisa lagi memungkiri, bahwa perasaannya pada Panji masih ada, meski pernah coba ia tukar dengan perasaan baru kepada mendiang Arjuna.Sudah bulan keempat usia kehamilan Amanda dan Selma. Perut besar sudah mulai terlihat.Hari itu, mereka berdua sama-sama ke rumah sakit, ikut Panji, untuk memeriksakan kehamilan mereka. Amanda yang masih belum bisa leluasa menampakkan diri di depan publik, harus mengenakan kacamata hitam, dan aksesoris lain, untuk menutupi wajah, sehingga tidak dikenali orang.Selma yang belum boleh banyak jalan itu, didorong pakai kursi roda dari lobi rumah sakit menuju poli kandungan.Mereka sudah di poli kandungan. Amanda duduk berdampingan dengan Selma. Panji sedang tidak bertugas, jadi bisa menemani mereka berdua. Tentu saja, meski tampak membawa dua orang istri yang sedang hamil, perhat
Amanda membuatkan jadwal keseharian Panji di rumah. Kapan harus bersama dirinya, kapan juga harus bersama Selma. Panji tidak punya alasan kuat untuk menolak. Biarpun ia harus tidur kesulitan tidur saat harus bersama Selma, atau tidak semangat melakukan apapun, tetap ia jalani. Menunjukkan bahwa kepatuhannya adalah bukti cinta untuk Amanda.Malam ini adalah giliran Panji tidur di kamar Selma. Ini sudah yang kelima kalinya. Tetap saja, sulit untuk membiasakan diri.Tentu saja, ketika Panji berada di kamar Selma, Amanda tidur sendirian di lantai dua. Malam yang terasa agak panjang, karena Amanda tidur lebih awal.Sementara itu, di kamar Selma, Panji masih memainkan ponselnya, membaca berita-berita kesehatan, untuk menjemput kantuk yang tidak kunjung hadir.Tiba-tiba... terdengar suara Amanda berteriak dari dalam kamarnya. Panji segera bangkit, dan berlari ke lantai dua. Dilihatnya, Amanda sudah membuka mata. Seluruh badannya basah karena keringat."Kamu kenapa?" tanya Panja."A-aku... mi
Amanda masih saja belum usai kepikiran semua yang telah Ratri katakan kemarin. Ia yang pada dasarnya mudah merasa stress, akhirnya tumbang juga.Pagi, ketika sedang menyiapkan sarapan untuk Panji, Amanda merasakan nyeri pada rahimnya. Kemudian ada darah yang mengalir di sela-sela kakinya. Hal itu diketahui oleh Selma yang sedang berjalan ke dapur untuk ambil minum."Amanda! Kamu kenapa?" teriak Selma."A-aku juga gak tahu," jawab Amanda. Dirinya semakin panik dan janinnya kenapa-kenapa."Mas Panji!" Selma berteriak memanggil Panji yang masih berpakaian di lantai dua.Panji segera datang saat mendengar teriakan panik itu. Ia pun terkejut melihat yang terjadi pada Amanda. "Sayang! Kamu kenapa?"Amanda menggelengkan kepala. Panji segera mengambil kunci mobil dan handphone. Lalu menggendong sang istri muda ke mobil. Langsung membawanya ke rumah sakit. Dalam perjalanan, ia menghubungi UGD dan dokter Lina.Dokter Lina memang baru tiba di rumah sakit. Ia segera menyiapkan pertolongan pertama
Padmi bergeming saat Panji membawa Amanda meninggalkan rumah itu. Pratiwi sibuk membujuk kakaknya agar mengalah. Panji jadi emosi mendengar cara Pratiwi membujuknya. Setelah membantu Amanda duduk di jok depan mobil, ia menjawab semua bujukan adiknya. "Maksudmu mengalah dengan cara apa? Meninggalkan Amanda? Seperti yang Mama mau?" Panji mantap mengatakan, "Gak akan pernah!" "Mas, bukan gitu maksud aku. Diomongin baik-baik sama Mama. Jangan pake emosi seperti ini." Pratwisi masih bersikeras membujuk kakaknya. Di dalam mobil, yang tertutup, meski tidak mendengar semua kalimat yang keluar dari mulut mereka, Amanda bisa melihat, adu mulut yang tampak dari urat-urat leher mereka yang menyembul. Kenapa jadi seperti ini? Kalau saja tidak memikirkan bayi yang dikandungnya, ia pasti sudah keluar dan ikut ribut. Ia hanya bisa menangis. Buru-buru dihapusnya air mata, ketika Panji masuk ke mobil. Mereka meninggalkan rumah itu, membawa impian lain setelah meneteskan tangis seorang ibu. Asrama do
Panji dan Selma akhirnya bicara mengenai pengasuhan kedua bayi. Kelahiran keduanya relatif bersamaan. Bagaimana kelak jika mereka bertanya. Panji tidak akan sanggup menceritakan yang sebenarnya tentang Amanda dan Arjuna. Maka, mereka bersepakat, akan menjadikan mereka saudara kembar. Kembar yang tidak identik. Bukankah tidak semua saudara kembar memiliki wajah yang mirip? Panji terpaksa menukar nama belakang Milka, yang tadinya Yudhistira menjadi Setiawan. Mirip dengan putri Selma, yaitu Mashala Kirana Setiawan."Kamu jangan khawatir, Mas," kata Selma. "Aku akan menyayangi Milka, sama seperti Masha.""Aku percaya, kamu bisa lakukan itu," jawab Panji. Sesuai permintaan terakhir Amanda yang tertulis dalam surat, dirinya akan berdamai dan berusaha hidup berdampingan dengan Selma. Dirinya juga pergi ke Jember, bertemu Padmi, dan memohon agar ibunya juga menyimpan rahasia ini. Demi kedamaian seluruh keluarga.Keluarga mereka bertambah, Panji pun memutuskan membawa mereka pindah ke rumah ya
Kemunculan gadis SMP yang mengganggu acara pembalasan dendam untuk Masha, turut mengganggu ketenangan Mara. "Siapa sih, tuh cewek?" Ia mengingat penampilan gadis itu yang mengenakan seragam putih biru khas anak SMP. Wajahnya tidak mirip dengan Masha. "Pasti bukan saudaranya." Tetapi ancaman gadis SMP itu cukup menjadi alasan bagi Mara, Bimo, dan Jodi untuk berhenti mengganggu Masha."Masa lu takut cuma gara-gara anak SMP itu?" ledek Bimo. Tetapi ledekan itu akhirnya kembali pula pada dirinya sendiri."Gue bukannya takut, ya!" elak Mara. "Cuma gak mau berurusan dengan masalah yang jauh lebih rumit. Ngerti gak, lo?"Jodi melirik Bimo, merasa ada yang Mara pendam.Sebenarnya, Milka masih mengkhawatirkan Masha. "Kak, kalo dia macem-macem lagi sama Kakak, kasih tahu aku. Ya?" Ia mengingatkan sang kakak, saat dalam perjalanan ke sekolah."Udah, kamu gak perlu khawatir," kata Masha, menenangkan sang adik. "Kan udah kamu ancam. Mereka pasti gak berani lagi."Mereka lupa, obrolan ini didengar
Untuk ke sekian kalinya, Mara memperhatikan Milka, yang baru datang ke sekolah itu untuk menjemput saudaranya, Masha. Hari itu, Milka memang sengaja tidak turun dari mobil. Ia hanya membuka pintu mobil, dan merasakan embusan angin yang menerpa tubuhnya. Gadis itu disibukkan dengan pekerjaan menggunakan laptop, dan sesekali menelepon.Mara melihatnya dari jendela kelasnya yang berada di lantai dua, dan dari sana bisa melihat pemandangan di depan sekolah, yang mana tempat parkir berada di sana. Ia benar-benar memperhatikan Milka dengan wajah cantiknya yang sangat khas seorang remaja.Tiba-tiba, terdengar suara 'tok-tok' pada meja belajarnya. Pak Anton, guru kelas mereka menegur, karena sejak tadi Mara tidak fokus belajar, malah melamun, dengan pandangan terlempar keluar dari jendela."Maaf, Pak," ucap Mara.Pak Anton melanjutkan pelajaran ekonomi di kelas yang hanya terisi tiga orang tersebut. Kelas khusus bagi Mara, Bimo, dan Jodi, sebagai bentu hukuman sosial, akibat laporan Masha tem