Zie membasuh tubuhnya di dalam kamar mandi, dia berdiri tepat di bawah shower mencoba mendinginkan pikirannya yang carut marut sejak pagi. Kini dia harus memikirkan rencana bagaimana membuat Joni mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya. Dan satu-satunya cara memang dia harus menjadi wali kota dan menekan pria itu dari sisi siapa yang paling berkuasa.Rambut Zie sudah basah sepenuhnya, dia memandangi perutnya yang terlihat membuncit dan bahkan bergerak-gerak beberapa kali. Meski hatinya begitu kacau tapi dia masih bisa tersenyum seolah bercanda dengan anaknya yang ada di kandungan.“Apa kamu kedinginan? Tenang saja! setelah ini Mama akan membuatkanmu cokelat hangat dan roti panggang, terdengar enak bukan?” Zie mengusap muka. Ia seperti tertampar realita, tak boleh terlalu berharap pada manusia. Terutama Sean yang dia pikir cintanya tak sedalam seperti dirinya.“Dia bahkan melupakan malam itu, malam saat kami bercinta sebagai pasangan suami istri yang sah, apa yang kamu hara
Hari pemilihan pun tiba, Zie ditemani Airlangga dan juga Gia ikut memberikan suaranya. Semua orang berharap dirinya menang agar bisa membawa perubahan. Setelah selesai Zie pun melakukan syukuran kecil-kecilan di kantor tim suksesnya, dengan memanggil beberapa pedagang kaki lima untuk menyajikan hidangan ke para pendukung yang datang.Surya nampak senang, dia dan Zie kini sedang berbincang dan mereka pun saling melempar candaan.“Aku yakin kamu pasti menang, segala berita miring tentangmu tak membuat orang-orang kehilangan antusias untuk tetap memilihmu.”“Jikapun aku menang, semua ini karena dukunganmu dan orang-orang, jadi aku harus berterima kasih,” jawab Zie dengan senyuman lebar.Sementara itu, Sean duduk di sofa ruang kerjanya sambil menatap televisi. Ia memandangi wajah Zie yang nampak semringah saat melakukan wawancara dengan beberapa wartawan. Sean mencoba mengingat-ingat kembali kenangan yang mungkin saja dia lupakan tentang wanita itu, hingga lagi-lagi kepalanya terasa seper
“Sean bagaimana kalau menghabiskan malam bersama?”Aaera membujuk, dia menghidu aroma tubuh pria yang merupakan suami orang itu dari belakang sampai membuat Sean merinding.“Menghabiskan malam bagaimana maksudmu?”Sean memutar badan, dia ingin menjaga jarak dari Aaera tapi gadis itu lebih dulu melingkarkan tangan ke pinggangnya lagi dan bergelayut manja.“Apa kamu tidak ingin bercumbu denganku?”Sean memasang wajah datar, ucapan Raiga seketika berputar kembali di kepala. Ia hanya kehilangan ingatan, tapi tidak bodoh dalam menentukan serta menilai mana yang benar dan mana yang salah. Jika apa yang dikatakan Aaera semua benar, lantas kenapa Zie cuek dan tak berupaya untuk membuatnya ingat. Malah terkesan Aaera yang ingin mempengaruhinya. Bukankah ada pepatah yang mengatakan bahwa tidak perlu menjelaskan siapa dirimu ke orang lain, karena yang membenci akan tetap membenci. Namun, Aaera berbeda, dia seolah ingin mempengaruhi dirinya yang memang kehilangan semua ingatan tentang sang istri
Hanya Marsha yang berani mengorek informasi dari sang sepupu. Zie hanya menjadi pendengar, dia tidak ingin salah bicara dan berakibat membuat Sean semakin berpikir buruk tentangnya.“Dari bekerja,” jawab Sean singkat, dia kembali dingin. Sedingin gelato yang Zie makan tadi.Mereka sangat menikmati, hingga lupa waktu sudah hampir menunjukkan jam sebelas malam. Zie mengantar Marsha ke depan, dua sahabat itu berbincang di teras sambil balas memegang perut satu sama lain.“Apaan sih, Sya?”“Lha … kamu sendiri apaan?” sembur Marsha.“Aku gemas melihat perutmu sebesar itu.”“Kamu seperti papanya, setiap malam dia pasti akan mengusap-usap perutku sampai tertidur, kalau belum terlelap dia tidak akan berhenti.” Marsha mencebik lalu memasang muka marah ke suaminya yang baru saja menidurkan Sera di kursi belakang.Mereka pun pamit, tapi sebelum itu Marsha sempat bertanya apakah Zie baik-baik saja. Ia memang tidak bisa menanyakan ini di depan Airlangga dan Gia tadi, apalagi ada Gani juga.“Aku
Di malam yang sama, Emma datang ke sebuah bar untuk bertemu dengan Joni. Wanita itu memakai kemeja ketat dengan rok sepan yang tak kalah ketatnya. Sudah bisa dipastikan bahwa gadis itu memiliki hubungan spesial dengan Joni. Jika tidak, mana mungkin dia dengan tega ikut menjebak Zie dan mengumpankan atasannya sendiri ke gigolo.Meski sudah diancam Zie, tapi Emma ternyata tidak takut. Ia bercerita ke Joni yang tak lain adalah sugar daddy-nya bahwa Zie menjebaknya di restoran dan dia tak berkutik untuk melawan.“Jadi, kamu jujur kalau aku yang menyuruh?”“Iya, tapi aku punya senjata untuk menjatuhkan dia bahkan sebelum dia menyerang kuta. Aku tidak mungkin menjerumuskan Bapak tanpa rencana,” ucap Emma sambil menarik sudut bibirnya. “Dia hamil, Pak.”“Memang kenapa kalau dia hamil? lagipula bukankah dia sudah menikah? kalau kamu yang hamil itu baru masalah.”“Dengarkan aku dulu, Pak. Aku yakin dia hamil di luar nikah. Dia memakai baju yang modelnya dibuat tak biasa untuk menutupi bagian p
“Zie, diam-diam! ini aku!” Zie menggeleng ketakutan, dia bahkan melompat dari atas ranjang sambil memejamkan mata dan berteriak kencang. Airlangga yang sedang mengurung tubuh Gia bahkan sampai melotot. Istrinya itu bahkan mendorong tubuhnya sampai terjungkal dari atas ranjang. “Zie, ada apa dengan Zie, Pa!” Gia panik, bahkan salah menyambar piyama dan malah memakai milik Airlangga. “Zie ini aku, Sean!” Gia membuka pintu dan menghidupkan lampu, di sana dia melihat sang putri menutup muka dengan ke dua tangan dengan Sean yang berada di depannya. “Zie, Hei ada apa? kenapa kamu berteriak seperti itu?” tanya Gia. Perlahan Zie menjauhkan tangan, dia bingung karena sudah ada Sean dan sang mama di sana. Mereka menatapnya dengan kening berkerut. “Ada apa?” Airlangga yang baru saja datang langsung bertanya, pria itu terlihat konyol karena memakai piyama milik Gia yang bahkan tidak bisa diikat talinya. “Papa! Papa apa-apaan sih?” amuk Gia, dia memukul lengan Airlangga dan mendorong tubuh
Satu jam sebelumnyaMarsha berjalan cepat menuju perusahaan sang suami. Ia bahkan tak peduli dengan sapaan orang-orang dan langsung menerobos masuk. Peter, sekretaris tersetia suaminya pun tak bisa menghalangi. Marsha bahkan menunjukkan telapak tangan untuk mencegah Peter bicara lalu masuk ke dalam ruang kerja Jeremy.“Kak, antar aku ke butik!”Jeremy melongo, dia yang sedang sibuk mengecek laporan nampak melepaskan kacamatanya karena heran dengan tingkah sang istri.“Bukannya ada sopir? Ini jam kerja, Sayang!” Pundak Jeremy turun, dia seolah kecewa dengan sikap istri yang berumur empat belas tahun di bawahnya itu.“Antar aku, atau jatahmu aku mutilasi.” Ancaman Marsha membuat sang suami menelan saliva. Emosi ibu hamil yang satu ini terkadang memang tidak stabil, hingga mengharuskannya untuk lebih banyak menggunakan stok kesabaran yang dipunya.“Sayang, kalau hanya ke butik bukankah bisa mengajak Mami.” Jeremy masih memberi alasan, sampai Marsha mendekat dan memasang muka cemberut.“
“Pak, saya saudara Zie. Saya harus masuk ke dalam, ini sangat penting,” ucap Jeremy. Ia meninggalkan sang istri di mobil karena tidak mungkin membiarkan Marsha yang sedang hamil berdesak-desakan di depan seperti ini dengan para pendemo.“Tidak bisa, Pak. Mohon maaf, sampai konferensi pers selesai tidak ada orang yang boleh masuk ke dalam,” tolak salah satu aparat.Jeremy bingung, dia menoleh ke arah mobil di mana sang istri terlihat menatap dengan sorot mengiba, sudah sangat jelas itu adalah kode dari Marsha agar dirinya lebih berusaha.“Pak, tolong! ini masalah genting.” Jeremy masih berusaha membujuk, hingga tiba-tiba satu unit motor polisi pengawal membelah kerumunan, di belakangnya satu unit sedan mewah berwarna hitam dengan nomor polisi yang Jeremy sangat kenal. Itu mobil milik paman istrinya, Daniel Tyaga. Jeremy awalnya hanya melihat saja, tapi memutuskan mengetuk jendela.“Sean!”Jeremy terkejut melihat sepupu istrinya yang ternyata ada di dalam, beruntung dia cepat sadar dan