“I cannot stop this sickness taking over. It takes control and drags me into nowhere.”
‘My demons by Starset’
Rafan berdecih, tetapi masih melirik dingin kelima penjahat yang mulai menjauh darinya—hingga tidak terlihat.
Membuang-buang waktu saja!
Rafan kembali melangkah santai, biasanya akan menyerang karena terusik. Entah kenapa, sekarang tidak ada niat mengejar kelima penjahat tadi. Kebetulan mood-nya sedang malas untuk membuat teror.
“Hm, hm, hm,” gumam Rafan, terus berjalan santai menuju ujung kota.
Rafan masih berjalan dengan tenang, hingga melewati daerah gang sempit. Namun, dalam sekejap ketenangannya lenyap. Saat ada yang menabraknya lumayan keras, anehnya si penabrak langsung menuduhnya.
“Beraninya kau menabrakku sialan!” teriak orang itu, dengan tatapan sinisnya.
“Bukankah kau yang menabrakku duluan, apa kau buta?” sahut Rafan, langsung mendelik datar, lambat laun sorot matanya berubah—menjadi dingin sekali.
Lima orang preman kota amatir, yang selalu mengganggu warga. Sepertinya mereka belum tahu, tentang teror yang Rafan lakukan.
“Berani sekali kau!” teriak lainnya tidak terima, dan mulai menyerang.
Rafan hanya diam saja, saat diserang mereka. Tidak ada niat, untuk menghindar ataupun menangkis serangan preman amatir. Karena mood-nya sedang malas membuat teror, lama-kelamaan mulai emosi dan hasrat haus akan darah dalam dirinya terpancing.
Menuduhku kah?
Rafan masih dengan tatapan dinginnya, lambat laun memperlihatkan smirk-nya. Meski begitu, Rafan mengamati pergerakan mereka dengan baik, sadar dalam keadaan sedang diserang secara keroyokan.
“Rasakan ini!” Salah satu dari mereka, kembali melayangkan serangan berupa tendangan keras pada Rafan.
Sebelum kepalanya terkena tendangan lagi, Rafan lebih dulu menangkap kaki preman itu, dengan mudah mematahkannya.
Preman itu berteriak kesakitan, kemudian terkapar. Rafan belum puas langsung mendekat dan kali ini mematahkan kedua tangan preman amatir itu, lalu mencekik kuat—membuat preman itu sulit bernapas, bahkan tulang leher preman itu mulai remuk.
Rafan mengeluarkan pisau lipat miliknya yang selalu dibawa ke mana-mana. Dengan tatapan haus akan darah, langsung menusuk perut preman itu dan mengoyaknya hingga menembus punggung dan organ dalamnya hancur, bahkan berceceran ke mana-mana.
Preman itu sekarat dan perlahan mati, setelah itu Rafan menoleh ke arah empat preman lainnya yang masih hidup. Mulai berjalan, mendekati mereka.
“Giliran kalian,” ucap Rafan dengan nada dinginnya, sambil menodongkan pisau lipat yang berlumuran darah hingga ke tangannya.
“Ka-kau pe-pemuda kejam itu!” ucap empat preman mulai ketakutan, dan berniat kabur.
“Mau ke mana eh? Kalian sudah mengusikku, harus mati!” Rafan dengan seringai mengerikan, melesat cepat.
Empat preman terus berlari menjauh, tetapi tetap tidak berhasil karena pergerakan Rafan cepat sekali. Bahkan sudah berada di hadapan mereka, lalu melayangkan tendangan telak pada mereka hingga terhempas keras ke dinding.
Rafan semakin mendekat ke arah mereka, dan mulai melumpuhkannya. Sama seperti tadi, Rafan dengan mudahnya mematahkan kedua kaki dan tangan keempat preman amatir, teriakan kesakitan kembali terdengar.
Lalu menusuk bahkan menyayat perut keempat preman amatir secara bergantian, hingga organ dalamnya juga ikut terkoyak, dan berceceran di sekitarnya. Belum puas, Rafan mulai mencongkel mata dari keempat preman amatir itu.
“Haha! Mati! Mati!” racau Rafan, terus menusuk preman amatir, meskipun semuanya sudah mati. Setelah puas, Rafan dengan santainya meninggalkan mayat kelima preman amatir begitu saja.
****
Rafan terus berjalan santai dengan pisau lipat yang berlumuran darah di genggamannya. Hendak kembali ke rumah kecilnya, setelah membantai preman amatir itu. Tiba-tiba berdiri terdiam, karena mendengar derap langkah kaki lagi—lebih banyak dari sebelumnya—ke arahnya.
“Hm, ketahuan kah?” Rafan masih terdiam dengan tatapan dinginnya.
Saat ada beberapa polisi yang berpatroli, melewati gang sempit dan melihat kehadirannya, bahkan langsung membidiknya. Rafan berhasil menghindar cepat, tetapi tetap saja lengannya sedikit tergores peluru dari polisi. Setelahnya, langsung kabur cepat dari segerombolan polisi.
“Cepat kejar!” seru Polisi.
Beberapa polisi mengejarnya, bahkan terus membidik Rafan. Namun, selalu berhasil dihindari dengan mudah oleh Rafan. Tiba- tiba ada kumpulan polisi lain yang datang dari arah berlawanan, membuat Rafan tersudut di ujung jalan buntu.
Sial buntu!
Rafan mengumpat kesal, melihat banyak polisi yang mengepungnya.
“Kau tidak bisa lari lagi!” ucap Polisi, sambil mendekati Rafan.
Rafan masih diam saja, membiarkan polisi mendekat. Bahkan saat kedua tangannya diborgol, Rafan tetap tidak melawan. Kemudian dibawa ke kantor polisi. Polisi langsung memasukan Rafan ke ruangan dan menginterogasinya.
“Siapa kau? Kenapa melakukan pembantaian!” tanya Polisi.
Rafan mendelik datar. “Bukan urusanmu!”
“Cepat jawab!” titah Polisi, semakin menatap tegas.
Rafan menghela napas sejenak, dan masih menatap dingin para polisi. Sedikit terusik, saat salah satu polisi mulai memperhatikan wajahnya, seakan merasa familier.
“Wajahmu seperti tidak asing,” ucap Polisi lainnya.
Yang lain ikut memperhatikan wajah Rafan, bahkan merasakan familier juga. Seolah-olah pernah, bertemu sebelumnya.
Namun, di mana?
****
Polisi masih mencoba menebak sesuatu, setelah merasa familier dengan buronannya. Mulai terkecoh, hingga tidak sadar Rafan diam-diam mencoba menghancurkan borgol di pergelangan tangannya.
Borgol berhasil dihancurkan, Rafan dengan cepat melarikan diri. Polisi tersentak, langsung mengejar.
“Cepat tangkap! Jangan sampai dia kabur!” titah Polisi, sambil berlari mengejar Rafan.
Rafan langsung mendobrak pintu yang terkunci dan menyerang polisi yang berjaga di depan pintu ruangan itu, dan kembali berlari hingga berhasil keluar dari kantor polisi. Namun, polisi kembali mengejar dan mulai membidiknya lagi, tetapi Rafan berhasil menghindarinya.
Rafan semakin berlari cepat, lalu melompat ke atas dinding pembatas jalan, mulai melakukan parkour hingga atap ruko, dan bangunan lainnya. Polisi terus mengejar Rafan dan mencoba mengepung, dan membidik lagi dari berbagai arah. Namun gagal, lagi-lagi Rafan berhasil menghindarinya, terus melakukan parkour cepat hingga ke tengah kota. Kebetulan sedang ramai orang. Saat bidikan polisi hampir mengenainya, Rafan melompat turun dan terus berlari cepat.
Warga hanya diam dan langsung menjauh, melihat polisi mengejar dan terus membidik buronannya. Rafan masih berlari cepat dan kembali melakukan parkour ke atap setiap ruko di tengah kota, berusaha kabur dari polisi terus mengejarnya dengan mobil atau motor.
Sial! Mereka masih mengejarku!
Rafan, sesekali menoleh ke belakang. Terus berusaha kabur, hingga hampir sampai di tikungan tajam jalan besar. Kebetulan ada jurang, tanpa pikir panjang Rafan langsung melompat ke dalamnya. Hal itu, membuat semua polisi berhenti. Karena terkejut, saat melihat aksi gila Rafan yang lompat masuk ke dalam jurang.
“Dia lompat ke dalam jurang,” sahut salah satu polisi.
“Sebagian tetap cari dia, mungkin saja dia masuk jurang yang terhubung ke hutan. Selebihnya kembali ke kantor, membuat rencana baru untuk menangkapnya,” jelas Polisi lain, lalu pergi.
“I need a savior to heal my pain.”‘My demons by Starset’•••Rafan terus berguling ke dalam jurang, tubuhnya tidak luput tergores ranting, ataupun bebatuan kecil dan besar, hingga berhasil berpegangan pada batang pohon.Hampir saja.Rafan masih berpegangan pada dahan pohon, dan mulai memanjat ke atas dahan pohon yang paling tinggi. Kemudian duduk terdiam di atas dahan pohon, menunggu rasa sakit di tubuhnya hilang. Akibat melompat dan berguling ke dalam jurang, untung saja tidak menghantam bebatuan besar.“Mereka mulai familiar denganku kah?”Rafan membiarkan kedua kakinya menjuntai ke bawah, sesekali menggerakkannya.“Hm, hm, hm,” gumam Rafan sambil terpejam, berusaha untuk tenang. Karena b
12 tahun yang lalu ...Alexander, menurut banyak orang adalah keluarga harmonis. Juga keluarga terpandang, karena terkenal dalam dunia bisnis. Keluarga Alexander pemilik perusahaan Xander Corp, yang begitu diminati para pebisnis lain, untuk melakukan kontrak kerja sama.Saat itu Risa sedang mengandung. Dokter melakukan USG awalnya satu anak laki-laki, tapi saat kehamilannya menginjak usia sembilan bulan, di mana anaknya akan lahir, ternyata terlahir kembar.Mereka hanya menginginkan anak tunggal sebagai penerusnya, karena terlahir kembar mereka tetap menerimanya, lalu diberi nama Rafan dan Refan. Akan tetapi, mereka mulai dibutakan oleh keinginannya. Terbukti, mereka lebih memilih merawat dan diperkenalkan pada publik hanya anak bungsu saja yaitu Refan Alexander.Sedangkan Rafan Alexander sebagai anak sulung tidak, sejak lahir pun langsung diasuh oleh pembantunya. Hingga, Rafan baru menginjak umur empat tahun. Tidak lama kemudian, kabar b
Bram sejak awal bergabung dengan Xander Corp, memiliki niat licik ingin merebut secara perlahan perusahaan Xander Corp, tetapi selalu gagal. Akan tetapi, keesokan harinya Bram kembali berkunjung ke rumah keluarga Alexander, mulai mencoba menjalankan rencana liciknya lagi, Bram berjalan mengendap-endap menuju ruang kerja milik Rivo, langsung mendekati tempat penyimpanan, berkas penting.Bersamaan dengan Rafan baru, yang saja keluar dari kamarnya. Seperti biasa ingin pergi ke halaman belakang rumah.Lagi pula tidak ada rapat?Rafan mulai melangkah di setiap anak tangga, hingga sampai dipijakan terakhir. Kemudian, berjalan menuju pintu keluar, tetapi langkahnya terhenti saat melewati ruang kerja Rivo. Rafan melihat Bram sedang mencari sesuatu, awalnya mengabaikan dan berniat pergi menuju halaman belakang, tapi terhenti lagi ketika Bram menyadari kehadirannya.“Ini dia berk—” ucap Bram terhenti saat melihat Rafan,
Satu bulan terlah berlalu, paginya polisi datang dan bertanya lagi, tetapi Rafan masih tidak mau menjawab. Kondisi Rafan sudah pulih kembali, meskipun wajahnya masih ada memar biru, bahkan sudah diperbolehkan pulang. Polisi ingin mengantarnya pulang, tetapi Rafan menolak.“Kami antar ke rumah ya, kau ingat tinggal di mana?” tanya Polisi.“Tidak,” balas Rafan bohong lagi.Lagi pula aku kan sudah diusir dari rumah. Lebih baik pura-pura tidak ingat.Rafan, mulai berjalan keluar dari rumah sakit.“Ayo, kau tinggal di panti asuhan saja.” Polisi menggenggam tangan Rafan, lalu menariknya untuk masuk ke mobil dan pergi.Sampai di panti asuhan, polisi langsung menemui ibu panti dan akhirnya menerima Rafan untuk tinggal di sana.Lebih baik aku tinggal di sini dulu, sambil mencari tempat untuk tinggal sendiri.Rafan ikut masuk, saat tanganny
Rafan masih duduk di atap gedung, setelah mengingat kembali masa lalunya yang kelam dan begitu pahit baginya.“Sudah 12 tahun berlalu, sepertinya Bram Revaldo menikmati sekali kehidupannya, setelah berhasil membuatku diusir dan hampir mati," gumam Rafan.Kebetulan Rafan duduk di atap gedung, yang bersebelahan dengan SMA 01 Golden. Sekolah yang memiliki tingkat reputasi sangat tinggi, karena banyak sekali murid berprestasi. Lalu tidak sengaja melihat gerak-gerik aneh dari empat orang, yang semenjak pagi sudah ada di depan gedung sekolah itu.“Hee, polisi menyamar jadi warga biasa kah? Mudah sekali tertebak, pasti polisi itu sedang mengintai Refan Alexander!” gumam Rafan.Refan Alexander, salah satu siswa di SMA 01 Golden. Lebih tepatnya adalah adik kembar Rafan. Rafan terus memperhatikan beberapa polisi yang menyamar.****Di ruang makan sebuah keluarga sarapan bersama, tanpa merasa kurang atau cemas. Jika,
Polisi dan ketiga teman Refan terdiam, setelah mendengar penjelasan Refan, ternyata memiliki kakak kembar.“Tunggu sebentar, kakak? Bukankah kau anak tunggal?” tanya Polisi bingung.“Sebenarnya aku memiliki kakak kembar,” jelas Refan.Jadi Refan terlahir kembar!Ketiga temannya, terkejut.“Bisa dijelaskan Tuan Rivo?” tegas Polisi.“Oke! Memang benar anakku kembar. Tapi dia per—” ucap Rivo terhenti.“Kakak tidak pergi! Tapi diusir!” potong Refan kesal, mendengar penuturan Rivo.“Refan diam!” balas Rivo kesal.“Tidak! Selama ini aku bingung. Sebenarnya apa salah kakak? Sampai ayah ataupun ibu tidak pernah ada untuknya. Bahkan kehadirannya tidak dianggap!" ucap Refan lirih.“Kau tidak perlu ta—”“Aku ingin tau! Karena dia kakak kembarku!” teriak Refan kesal.“Sudah kubilang di
Sore hari di tengah kota mendadak hening, biasanya banyak orang yang berlalu lalang. Kali ini tidak, karena mereka bersembunyi sambil menatap seorang pemuda dari jauh. Jadi, hanya kendaraan saja yang melintas di jalan besar.Pemuda itu adalah Rafan, wajar mereka takut. Penampilan Rafan sedikit kotor, di kedua telapak tangannya dan pisau lipat yang dia genggam penuh darah. Bahkan di pakaiannya ada sedikit bercak darah, karena baru saja membunuh Bram Revaldo. Rafan berjalan di tengah kota, sambil menatap kosong ke depan.Sejak berita pembantaian yang tadi dia lakukan sudah tersebar, semua orang di kota terkejut. Keluarga Alexander sebenarnya memiliki anak kembar, dan masih tidak percaya bila pemuda kejam itu anak sulungnya. Setelah Rafan tidak terlihat di tengah kota, semua orang kembali berlalu lalang.****Sampai di ujung kota, Rafan tidak ke rumah kecilnya. Melainkan masuk kedalam hutan, menuju bukit tempat biasa duduk. Lalu merebahkan d
Di rumah kecil, ujung kota terlihat Rafan sedang duduk terdiam. Lalu beranjak menuju hutan lagi. Mulai berjalan santai mengelilingi luasnya hutan, semenjak kematian Bram. Rafan tidak mood membuat teror, dia hanya melakukannya bila ada yang mengusiknya saja.Masih berkeliling, lalu duduk di atas bebatuan besar, sambil melihat hewan liar berkeliaran di dalam hutan. Tanpa takut diserang, lagi pula Rafan tidak mengganggu hewan liar hanya melihat saja.“Lebih tenang, dibandingkan bersama orang-orang di kota,” gumam Rafan, terus memperhatikan berbagai hewan liar yang mulai berkeliaran di sekitarnya. Lalu ada anjing liar yang mendekat, tetapi tidak menyerang Rafan. Hanya mengendusnya sebentar, lalu duduk di sebelah Rafan.Rafan mencoba menyentuh kepala anjing itu, awalnya terganggu dan berniat menyerang. Rafan terus mencoba, akhirnya berhasil lalu mengelus kepala anjing liar itu, menjadi tenang dan jinak. Perlahan anjing liar lain mendekat, bahkan