“Bisa lebih cepet gak sih!” ujar seorang pria dengan nada tinggi.
Tanpa sepengetahuan pria itu, kini ia sudah menjadi pusat perhatian banyak pasang mata. Tentu saja badannya yang menonjol dari sebagian banyak orang menjadikannya lebih mudah terekspos walaupun berada di ujung ruangan sekalipun.
“Mohon maaf, Bapak. Tapi memang antreannya panjang,” jawab seorang wanita bertubuh kurang dari separuh pria tersebut.
“Kan kerjanya bisa lebih cepat sedikit, udah tahu antreannya panjang, lelet banget!” kata pria itu sambil menggebu-gebu.
Dua penjaga yang ada di depan pintu masuk pun berlari ke arah sumber keributan, karena sudah sangat mengganggu kenyamanan nasabah lainnya. Namun setelah sampai di titik keributan, yang ada penjaga tersebut malah pergi ke arah wanita kurus di belakang meja.
“Mbak, aduh kok bisa ini tadi Bapaknya ada di antrean,” ujar seorang security.
“Lah tadi yang kasih nomer siapa? Lagian kan emang harus antre, Pak.” Wanita itu tak menggubris sang security dan masih terus menjalankan pekerjaannya.
Nasabah yang ada di hadapannya pun juga nampak tertarik, karena memang ia terlebih dulu mengantre daripada pria yang tadi berteriak. Security itu pun menggaruk tengkuknya yang tak gatal sambil menggelengkan kepala dan berjalan ke arah wanita customer service itu.
“Mbak, ini anggota prioritas,” bisik security itu.
Wanita berkulit putih itu pun langsung menaikan pandangan menuju pria yang tadi meneriakinya. Wajahnya masih terlihat sangat berapi-api, menyusul kesialannya nampak seorang wanita yang berjalan cepat ke arah tempat kejadian perkara itu. Rambutnya yang dicepol rapi masih tetap berkilau walaupun ia baru saja setengah berlari untuk menyelamatkan kehidupan banyak orang.
Ia pun segera menuju ke arah pria angkuh tersebut, dan membisikan sesuatu pada salah satu penjaga yang ada di dekatnya. Tak lama, pria angkuh tersebut berjalan mengikuti arahan dari wanita yang baru saja menghampirinya.
“Mbak Rachel, nanti jam istirahat di pangil Bu Santi di ruang meeting,” ujar security yang tadi mendapat pesan.
Mampus, pasti kena siding ‘Mak Lampir’ hari ini, batin Rachel dalam hati. Ia pun melanjutkan aktifitasnnya yang sempat terhenti karena kedatangan tak terduga dari tuan muda kaya raya yang ingin menjelma menjadi rakyat jelata.
--
“Sial!” umpat Rachel sambil menendang bangku yang ada di hadapannya.
“Sabar, Chel. Kenapa sih, sini-sini cerita jangan asal tending dong, itu bangku keliatannya murah tapi cicilannya belom kelar nih,” ujar Adelia yang sekarang sudah nampak nyaman di atas kasur dengan baju tidurnya.
“Sorry,” jawab Rachel singkat.
Adel masih sangat bingung dengan temannya satu ini, karena ia tak berbicara sedikit pun tentang masalahnya. Tadi saat mereka closing, Rachel tiba-tiba menghampirinya ke meja teller sambil menampakkan wajah kusut, lemah, letih, lesu, seperti vampire yang kekurangan darah. Rachel juga mengatakan bahwa ia ingin menginap satu hari di kosan Adel, dan memang itu sudah sering terjadi, apalagi saat weekend seperti ini.
Rachel yang notabene anak rantau, tentu saja tidak bisa sering bertemu dengan keluarganya, begitu juga dengan Adel. Karena mereka sama-sama anak rantau mungkin itulah salah satu alasan untuk memahami satu dengan lainnya. Jika Rachel sudah memutuskan untuk menginap di tempat Adel, itu berarti ia sedang memiliki masalah besar, dan tidak ingin memendamnya seorang diri.
“Kenapa sih cantik, lagi weekend gini kok malah nekuk sih wajahnya,” kata Adel menggoda.
“Abis dimarahin Mak Lampir,” jawab Rachel.
Mereka berdua memang benar-benar memahami satu sama lain, dan terbiasa memanggil atasan mereka dengan sebutan tertentu, sebagai ‘kode rahasia’. Mak lampir untuk kepala sie operasional, yang merupakan atasan Rachel dan juga sekaligus atasan Adel.
“Oh ya? Why? Karena salah input lagi atau gimana?” Adel menyahuti sambil bermain ponsel.
“Berantem sama nasabah prioritas,” jawab Rachel yang malah asik bermain dengan kukunya.
“What?” Adel membenarkan posisi duduknya, dan menaruh ponsel. “Kok bisa ketemu nasabah prioritas? Kan gak mungkin nasabah prioritas antre lewat CS,” kata Adel melanjutkan.
“Udah gak waras emang dia, Del. Sok-sokan mau merakyat tapi malah bikin masalah, nyusahin orang lain banget sumpah,” ucap Rachel menggebu-gebu. Rachel masih sangat kesal dengan kejadian tadi siang. Berkat Tuan Muda itu, ia harus mengorbankan jam makan siangnya yang berharga.
“Then, Mak Lampir kenapa malah jadi marahnya ke kamu?” tanya Adel.
“Ya kan aku gak ngerti Del dia nasabah prioritas, jadi ya malah `ku cuekin lah dan lanjut kerjaan juga, orang di depan meja masih ada nasabah yang nungguin,” jawab Rachel.
“Terus?” Adel yang nampak tertarik, kini sudah menghadap ke arah Rachel dengan menyilangkan kedua kakinya di atas kasur.
“Pewe banget, Neng, berasa didongengin.” Rachel mencibir.
“Ya kan akunya jadi kena omel sama Mak Lampir karena gak hafal sama nasabah mana yang prioritas, dan ya ….” Rachel menaikan alisnya.
“Kok kentang, terus gimana Rachel astaga,” sahut Adel.
“Aku diancam sih lebih tepatnya sama beliau, katanya mau dipindah buat jadi customer advisor-nya nasabah prioritas,” ucap Rachel dengan nada yang semakin pelan.
Adel memilih diam, dan hanya menepuk ringan pundak Rachel. Ada baiknya berbagi cerita satu sama lain, dan mengumpat bersama, daripada harus memendamnya sendiri, dan akan menjadi luka sedikit demi sedikit.
Dengan begini Rachel dapat meringankan beban yang ada di pundaknya, begitu pula saat nanti Adel merasakan kesedihan, mereka akan terus bersama walaupun hanya sekedar berbincang kecil, santai maupun hanya untuk makan bersama. Jika ditanya siapa orang yang paling mengerti Rachel, mungkin ia akan mengatakan bahwa temannya inilah yang paling mengerti semua sisi dirinya.
--
Setelah menghabiskan malam untuk healing bersama Adel, ia memutuskan untuk kembali ke apartment nya. Karena orang tuanya yang tidak ingin anak semata wayangnya tersiksa, ia memiliki nasib yang lebih baik daripada sebagian besar temannya. Hidup di apartment, makan enak tidak peduli tanggal, atau bahkan ia bisa belanja kebutuhannya tanpa harus melihat label harga terlebih dahulu.
Namun di lain sisi, tentu saja hal ini sangat mengganjal, jauh di dalam dirinya ia ingin menjadi anak mandiri yang tidak menyusahkan orang lain. Banyak hal yang ingin Rachel rasakan, seperti senangnya saat memanen tabungan, atau bahkan hanya sekedar membeli barang dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Orang lain mungkin menganggapnya kurang syukur, namun itulah yang sebenarnya ia rasakan.
Ranjang empuk dengan selimut berwarna cerah, seakan menyambutnya yang sudah lelah semalaman berbaring di atas lantai kos Adel. Tentu saja harus begitu, karena memang kasur Adel adalah single bed, dan berarti hanya muat untuk satu orang saja. Lain halnya dengan ranjang Rachel yang agaknya bisa digunakan untuk berbaring tiga sampai empat orang dewasa.
“Hallo,” kata Rachel yang mengangkat teleponnya.
“Hallo, Chel kemana aja, kemarin malam mama telepon gak diangkat,” ujar mamanya di seberang telepon.
“Aduh maaf ma, Rachel kemarin nginep di tempat Adel dan lupa bawa cas jadi low battery,” jawab Rachel asal-asalan karena memang ia sengaja mematikan ponselnya semalam agar lebih menikmati healing time bersama Adel.
“Kenapa ma?” tanya Rachel.
“Gak sih, mama cuma mau kasih kabar, mungkin minggu depan mama sama papa main ke sana, ya?” jawab mama Rachel.
“Ok Ma, nanti Rachel kirimin aja tiketnya,” kata Rachel.
“Gampang itu, udah dulu ya mama lagi masak ini, nanti telepon lagi,” jawab mama Rachel, dan langsung disetujui olehnya.
Belum sempat Rachel berbaring di atas kasurnya yang tampak menggoda, satu lagi notifikasi dari orang yang pasti akan menghancurkan mood-nya hari ini. Sebuah berkas masuk dan jelas dicantumkan bahwa Rachel Mondy kini dipindah tugaskan pada bagian Customer Advisor khusus untuk nasabah prioritas. Entah ia harus senang atau sedih, karena memang itu berarti ia sudah naik tahta, namun ini juga merupakan hukuman baginya dari Mak Lampir karena Rachel harus menghafal nasabahnya satu persatu, mulai dari seluk beluk, hingga kebiasaanya.
--
“Siap, Neng?” tanya salah satu pegawai yang kini telah berada di belakang kemudi.
“Duh deg-degan, Pak Asep,” kata Rachel sambil memegang dadanya.
“Ini pertama, Neng. Nanti kalau udah biasa malah seneng kayak gini, bisa muter-muter liat rumah bagus, belum lagi kadang ada yang disuguhin cemilan enak,” jawabnya seraya mengemudi.
“Bapak udah hafal semua?” tanya Rachel.
“Aduh, udah di luar kepala kayaknya, Neng. Jangan kaget kalau missal ada yang baik dan baiknya kebangetan. Ada yang cuek, cueknya kebangetan, gak usah diambil pusing ya, Neng.” Pak Asep memberikan isyarat melalui kaca spion yang mengarah ke Rachel.
Benar saja apa yang dikatakan Pak Asep, baru saja rumah pertama namun sudah seperti istana. Bagi Rachel rumahnya sudah termasuk besar, namun ini seperti lima kali lipatnya, dan yang menarik semua serba putih. Bunga mawar putih berdampingan damai dengan melati tumpuk yang warnanya tak kalah putih, di tengahnya terdapat air mancur yang tepiannya sudah tak terlihat karena rimbunnya dedaunan.
Dengan langkah berat Rachel mulai menemui penjaga pintu utama, dan menyampaikan kebutuhannya di tempat mewah ini. Ia pun diantarkan menuju ruang seseorang yang sudah menantinya. Melewati lorong yang juga didominasi warna putih, dan emas membuatnya terlena hingga lupa untuk menjaga penampilan yang sudah dipersiapkannya sejak tiga jam yang lalu. Di tengah jalan, asisten tersebut berhenti dan menyapa seorang wanita paruh baya. Rambutnya dipotong sebahu, dan berwarna hitam legam, dari tampilannya saja, Rachel menyebutnya bau semerbak dollar.
“Siapa?” ucap wanita tersebut.
“Selamat pagi, Bu. Perkenalkan, saya Rachel customer advisor baru,” jawab Rachel yang lebih gugup daripada saat sidang skripsi.
“Oh oke. Masuk aja langsung ke ruang biasa,” ucapnya pada sang asisten.
Seketika Rachel hanya menunduk dan terus memikirkan apa yang akan terjadi padanya hari ini, itu tadi baru istrinya, dan ia harus menghadap suaminya yang pasti empunya rumah ini dan seisinya. Namun, saat ia mendongkrakan kepalanya, sebuah bingkai besar menyita perhatiannya. Ayah, Ibu, seorang anak lelaki yang menggendong bayi, terpotret rapi di dalamnya, aura dari foto itu sendiri tidak main-main, sudah dipastikan, harta mereka tidak akan habis selama tujuh turunan.
Satu hal yang baru disadari oleh Rachel, pria yang menggendong bayi tersebut, nampak tidak asing. Benar saja, ia baru saja berjumpa dengannya, pria yang membuat Rachel harus menjadi seperti ini. Tentu saja Rachel tak akan lupa, pada Tuan Muda berkemeja hitam dan tak tahu diri itu. Takdir macam apa lagi yang sudah direncanakan Tuhan untuk Rachel, hingga ia harus kembali berurusan dengan pria gila itu.
Semua hanya di simpan erat-erat oleh Rachel, karena kini pintu kayu jati telah terbuka, Rachel harus tetap professional dan mempertahankan harga dirinya. Setelah masuk ke ruangan Rachel dapat melihat seorang pria membelakangi dirinya, dan ia hanya bisa membeku di tempatnya sekarang berdiri.
Pintu di hadapan Rachel terbuka lebar-lebar, jika halaman tadi ia ibaratkan pintu surga ini adalah salah satu “brankas”-nya surga. Bagaimana tidak, bahkan tempat abu rokok yang ada di ruangan ini jika ditimbang dan dijual, sudah bisa mendapatkan satu rumah. Belum lagi lemari buku yang nampak klasik itu, mungkin ini adalah salah satu warisan turun temurun dari nenek moyang, nenek, dari neneknya, entah sudah berapa generasi.Buku-buku berjajar rapi membentuk sebuah garis lurus, sebuah chandelier menggantung pasti di langit-langitnya yang tak kalah mewah. Seorang pria sudah menunggunya di ujung meja, badan lelaki itu membelakangi Rachel, dan seklias cahaya lampu mengungkapkan rahasia di balik rambut yang hitam legam tersebut. Sekretaris pribadinya membisikan beberapa hal sampai akhirnya beliau membalikkan badannya. Ia tersenyum sekilas, dan menimbulkan garis-garis halus di tepian mata, namun itu semua tak mengurangi betapa tegas tulang wajahnya.“Selamat
Aneh, tangannya yang besar dan dingin, mengapa terasa sangat hangat. Rachel masih merenungkan apa yang baru saja terjadi, semua seakan berjalan dengan cepat padahal baru saja mereka bertemu di depan pintu, kini pria tinggi tersebut sudah duduk bersama papanya di sofa. Tepat saat mamanya ‘memergoki’ mereka berdua di depan pintu dengan kondisi yang sulit dijelaskan, hal mengejutkan juga kembali terjadi, ternyata papa Rachel mengenali Royan.“Saya tidak menyangka betermu Bapak di sini,” ucap Royan dengan nada sopan membuat Rachel merinding. Apa benar ia orang yang sama dengan pria angkuh tukang bentak-bentak, batin Rachel.“Saya juga loh Pak Royan, jujur saya kaget kok bisa Pak Royan bareng istri dan anak saya,” jawab papa Rachel dengan nada santai, seperti mereka sudah sering bertemu. Mereka pun melanjutakan obrolan santai di sofa sambil sesekali tertawa renyah, membuat Rachel semakin bingung dengan kondisi saat ini, sampai ia
Sejak awal pertemuan saja nyali Rachel sudah menciut, apalagi sekarang dengan santainya pria yang ada di depan Rachel malah menawarkan tumpangan. Kini wanita berambut curly tersebut semakin memandang Rachel dengan tajam. Entah apa yang dipikirkan Royan tadi saat memilih untuk memberikan tumpangan pada Rachel padahal di sampingnya ada wanita yang ia anggap adalah pacar Royan."Yuk!" ajak Royan."Nggak usah Pak, saya naik ojek online aja, pasti ada kok," tolak Rachel."Tetep aja bakalan lama, ini daerah macet kan, dan liat di sekitar sini nggak ada ojek online yang mangkal," jawab Royan.
Brigita melangkahkan kakinya dengan cepat menuju ruangan yang tepat berada di ujung lorong, emosinya masih meluap-luap sejak ia menjumpai wanita asing naik ke mobil mantan tunangannya, Royan. Ia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Royan tidak memilihnya, bahkan kini perlahan pria itu malah mencampakannya. Seandainya waktu itu Gita tidak melakukan kesalahan fatal yang dibenci oleh Roy, mungkin saat ini ia masih lancar mempersiapkan pernikahan mereka sambil memandangi tempat-tempat indah untuk pergi honeymoon.Kursi empuknya tidak bisa lagi ia gunakan untuk menenangkan diri, bayangan Roy dengan wanita itu masih saja menghantui Gita setiap detiknya. Ingin sekali rasanya Gita menelpon Roy dan menanyakan siapa sebenarnya wanita itu, dan apakan dia alasan Roy meninggalkan Gita dengan dalih membenci kebiasaan yang dimilikinya. Sebagai orang yang ambisius, Gita tidak akan pernah bisa membiarkan apa yang menjadi miliknya malah direbut oleh orang lain tepat di depan mat
Suasana makan malam di keluarga Abimanyu semakin terasa dingin setelah Royan dengan santainya mendeklarasikan bahwa ia memang sudah memiliki wanita lain di hatinya. Walaupun hati Eva serasa bergemuruh, namun ia tidak bisa melakukan apapun karena suaminya nampak menyetujui hubungan tersebut. Tanpa disangka malaikat kecil yang menyayangi Oma nya juga ikut berpendapat tentang kisah cinta papanya.“Tante Rachel baik banget loh, Opa. Kemarin Rey ditolongin naik lift,” kata pria mungil tersebut.“Kok bisa ditolongin sama Tante Rachel, emang Rey mau ke mana?” tanya Abimanyu penasaran.“Mau pulang. Tante Rachel rumahnya pas ada di depan rumah kita. Iya kan, Pa?” jawab Rey dengan polos.“Ya!” sahut Royan singkat.Bagai jatuh tertimpa tangga, saat ini Eva tidak lagi memiliki kekuatan untuk berdebat, ataupun hanya sekedar menanggapi obrolan dari suami, anak, dan cucunya tersebut. Ia masih belum bisa men
Reyhan masih terus mengusap pipi Rachel yang sudah basah karena air matanya. Ia bahkan tak mengenal mamanya Rey, tapi entah mengapa membayangkan pria kecil, dan tampan ini harus hidup tanpa seorang ibu, membuat hati Rachel sakit.“Tenang aja, Tante. Rey masih punya Papa kok,” kata pria kecil itu menenangkan Rachel.“Papanya Rey sekarang di mana?” jawab Rachel yang sudah mulai merasa baik.“Lah, kan Tante yang tahu duluan kalo Papa lagi ke luar kota,” ujar Rey yang kembali sibuk mengunyah camilan cokelat nya.Rachel dengan susah payah memahami apa yang sedang terjadi saat ini, bahkan jiwanya yang baru saja kembali kini entah pergi kemana lagi. Secara spontan berbagai potongan kejadian memaksa masuk ke kepala kecil Rachel. Hari dimana Rey memanggil Royan dengan sebutan ‘Pa’ kembali teringat olehnya. Rachel sebenarnya bukan tipikal orang yang bodoh, namun entah mengapa akhir-akhir ini otaknya tidak bisa mencern
Beberapa hari setelah Royan menitipkan anaknya, Rachel belum lagi bertemu dengan kedua pria tampan tersebut. Entah kenapa hatinya sekarang mudah resah sejak bertemu Royan dan Rey, ibarat medapatkan promo buy 1 get 1. Rachel merasa bahwa kini ia memiliki alasan untuk pulang ke rumah, yang dulu hanya seperti tempat singgah untuknya.Dalam hatinya masih ada rasa khawatir jika Royan enggan menitipkan Rey lagi padanya karena insiden cokelat kemarin. Di sisi lain, Rachel juga merasa bersalah karena tidak menanyakan terlebih dahulu pada Roy tentang makanan yang bisa dikonsumsi anaknya. Benar juga anaknya …. Kadang Rachel masih lupa kalau Royan bukan paman Rey, tapi papanya.Saat weekend seperti ini, biasanya ia akan berbaring di kamar Adel sambil memainkan ponselnya, atau sekedar berbincang ringan dengan temannya tersebut. Benar juga, setelah dipindahkan posisi, Rachel lebih sering bekerja ke luar kantor untuk menemui pada nasabah prioritas. Ia jarang
Setelah pertemuan tak terduga dengan keluarga Abimanyu minggu kemarin, hidup Rachel kini semakin tak bisa ditebak arahnya. Akhir minggu biasanya ia habiskan dengan berbaring di atas kasur, entah sejak kapan menjadi sangat produktif. Ia sudah bersiap sejak tadi pagi, dengan dress hitam yang nampak rapi, dan di tambah tas jinjing warna rose gold membuatnya semakin nampak elegan.Di sampingnya kini ada Tuan Muda berhati dingin, yang lengan panjangnya digulung sembarang hingga menampilkan urat-urat nadi di lengannya, membuat dirinya semakin terlihat 'menggugah selera'. Atas saran papanya, atau Pak Abimanyu, kini Royan sudah mengajak Rachel ke kota sebelah untuk menemaninya menyelesaikan beberapa urusan bisnis.Pak Abimanyu merasa bahwa Royan terlalu sering menyetir sendiri, dan sangat mengkhawatirkan apabila ia mengantuk saat di jalan, dan tidak ada yang memperingatkannya. Royan membenarkan hal tersebut karena memang Rey selalu membuatnya begadang setiap malam kar