Hari-hari dihabiskan Damar dengan merenung di dalam kamar. Sibuk memikirkan Keyra dan Naina. Menolak makan dan minuman yang disajikan oleh Joya.
Rasa bersalahnya, rasa cinta dan sayangnya teramat besar. Rahayu yang semakin membaik kondisinya mulai sering mengunjungi Damar di kamar. Mengajaknya bicara dari hati, bercakap selayaknya ibu dan anak.
Malam itu, Rahayu datang lagi mengunjungi anak lelakinya. Damar duduk bersandar pada kepala ranjang. Tatapan matanya kosong tak terisi harapan.
Rahayu menyentuh tangan Damar, mengusapnya lembut. "Le, ibu sama ayah ndak maksa kamu menikahi Joya. Maafkan kami berdua karena sempat membuatmu tertekan. Hanya ibu minta satu hal sama kamu, Le, pikirkan baik-baik segala sesuatu. Jangan gegabah mengambil keputusan. Tanyakan hatimu, kemudian perjuangkan apa yang kamu yakini dengan sepenuh hati."
Rahayu menatap anak lelakinya yang masih diam seribu bahasa. Dia tak mengkh
Keyra berhenti. Namun masih enggan menoleh atau pun menghampiri. Kakinya gemetar melaju, satu per satu dan berharap semakin menjauh dari Darmawan dan wanita itu. Sementara Rahayu dibuat pening oleh tingkah suaminya yang tiba-tiba menyuruh penjual kue itu menghentikan langkah. Aneh bukan menyuruh orang yang belum dikenal berhenti dengan nada tegas? "Mas, kenal dia?" Rahayu mengernyitkan dahi. Darmawan mengangkat tangan, memberi isyarat agar istrinya tak bertanya banyak dulu. Rahayu amat percaya dengan suaminya, maka dia pun diam. Bungkam dan menyaksikan. Darmawan melangkah ke arah Keyra, sementara gadis itu masih terpaku di tempatnya, seolah melekat dengan bumi tempatnya berpijak.
Damar sudah sampai di perumahan yang dimaksud ayahnya. Sepanjang sisa perjalanan gemetar sekali pria itu. Entah karena apa.Tiba di sebuah bangunan tak begitu besar, konsep rumah sederhana yang terlihat nyaman, Damar memarkirkan mobilnya tepat di halaman. Membuka pintu perlahan, kemudian melangkah menuju pintu berwarna kecoklatan.Setelah mengucap salam, mengetuk ringan, Si pemilik rumah keluar. Wajahnya semringah melihat Damar."Sudah sampai, Le? Ya ampun bagus tenan Saiki, Le. ( Ya ampun tampan sekali sekarang, Nak). Sini masuk, ayah sama ibukmu lagi makan siang." Wanita seusai ibunya itu ramah sekali. Seperti biasanya."Njih, Bude." Damar mengekori langkah wanita bernama Lastri itu.Lastri mempersilakan Damar menunggu di ruang tamu. Tak lama Darmawan datang dengan wajah tenang."Kamu menolak menjemput kami, lalu secepat kilat datang hanya karen
Ruang tamu rumah sederhana itu kembali sunyi. Keyra dan Damar duduk berjauhan, saling menikmati keheningan. Tak ada lagi pembahasan tentang celana Damar yang bau karena ompol Naina.Sementara Nurma sengaja membawa Naina pergi untuk memberi keduanya waktu privasi.Damar berdehem. "Key …." Lelaki itu mengembuskan napas panjang. "Kamu kenapa pergi?"Keyra menunduk. Kelopak matanya memanas dengan sempurna. Lelehan-lelehan air mata mulai berjatuhan. Entah sebab apa.Damar menggigit bibir bawahnya, seolah sedang memupuk keyakinan untuk mengeluarkan kata. "Key … jawab."Keyra menyeka sudut mata. Kemudian berani menatap Damar yang sedang menanti
“Ada apa, Mas?” Rahayu memijit lengan suaminya dengan lembut. Kedua suami istri itu duduk di sisi ranjang setelah adegan berpelukan yang manis barusan.Darawan menghela napas berat. Menatap Rahayu yang masih menampakan wajah penuh kecemasan.“Tentang Damar?” Rahayu menebak.Darmawan menengadah. Menatap langit-langit kamar yang berwarna putih cerah. Matanya sejenak menampakkan seribu sesal, menyiratkan kegundahan yang teramat nyata.“Yuk, aku harus bagaimana?” Darmawan menatap Rahayu. Matanya teramat sayu, mengerling sendu.Rahayu menggenggam jemari suaminya, menguatkan, memberi kekuatan. Kemudian menunggu dengan sabar apa yang akan disampaikan suaminya. Sekian puluh tahun bersama membuat Rahayu hafal perangai Darmawan, dia akan menceritakan semua beban setelah tatapan sendu demikian.Dan benar saja.“Aku sudah berjanji pada Wangsa akan menjaga Joya, Yuk. aku berjanji akan memperlakukannya sepe
Damar sedang berbunga hatinya, teramat bahagia setelah percakapan dengan ayahnya sewaktu sarapan tadi. Kemudian, pemuda itu segera bergegas pergi. Pamit ke kafe memang, tetapi dia berdusta, lihatlah kemana mobilnya melaju.Pagi yang sibuk di seluruh penjuru Kota. Termasuk Keyra yang pagi itu sedang berkeliling komplek perumahan menjajakan dagangannya.Damar yang berniat menemui Keyra melihat perempuan pujaannya itu dari kejauhan. Sengaja tidak keluar dari mobil agar tidak menggangu aktivitas Keyra yang sedang berjualan.Damar menatap penuh sayang, tersenyum malu-malu demi menatap Keyra yang bersemangat sekali menawarkan dagangan.Damar membuntuti Keyra dari kejauhan, melakukan mobilnya serupa semut yang merayap dengan sabar. Mengawasi aktivitas pagi kekasihnya tanpa bosan. Jika orang lain teliti melihatnya, mungkin akan mengira Damar sedang menguntit Keyra dan berniat jahat padanya.
31Damar tak langsung mengajak Keyra ke rumah Yusuf. Pria itu membawa kekasih hatinya ke sebuah kafe di daerah itu. Lereng merapi yang teramat syahdu, menawarkan pemandangan yang masih asri, juga aroma rerumputan liar di sekitarnya membuat kisah pagi menjelang siang itu kian sempurna.Keyra duduk di kursi yang terbuat dari kayu besar, bentuknya hanya serupa onggokan kayu utuh. Damar duduk di sebelahnya, menatap keindahan di depan mata. Keyra.Mereka memesan kopi robusta dan camilan khas di kafe lereng merapi itu, pisang goreng dan roti bakar selai kacang. Karyawan kafe itu tampak ramah, sesekali mengajak Damar berbasa-basi ringan.“Pak Damar tumben ke sini padahal bukan awal bulan?” Karyawati cantik yang mengenakan hijab itu bertanya. Senyumnya dibuat semanis mungkin.Damar mengangguk, membantu karyawan perempuan tadi menurunkan kopi, meletakkannya di depan Keyra yang saat itu menatap cemburu.“Kok akrab banget?” keyr
32.Malam yang sepi.Rumah besar itu kian sunyi. Sepasang suami-istri duduk di ruang tamunya, menatap kosong gelas teh yang tak lagi hangat. Keduanya menghela napas, sama-sama merasakan lelah dan rasa bersalah. Sementara Joya di kamarnya masih bersedih. Meski tak ada lagi air mata yang tumpah.“Joya sudah mau makan, Yuk?” darmawan bertanya. Meski dia sudah tahu jawaban apa yang akan Rahayu berikan.Rahayu menggeleng. wajahnya tak lagi berseri, penuh dengan kesedihan. “Mas tahu sesuatu tentang mereka, Kan?”Darmawan mengangguk. “Kalau dipaksakan, Joya hanya akan menderita. Hidup dengan orang yang tidak mencintainya, sama saja menyuruhnya tersiksa di sisa hidupnya, Yuk. kamu sendiri tahu itu.”Rahayu mengangguk. “Iya, Mas, kau tahu. Tapi kita harus bagaimana? Aku takut, nanti Joya akan tambah bersedih begitu Wangsa ke sini.”Darmawan mengangguk, setuju dengan pendapat istrinya. &ldqu
33. Malam tak dilalui Wangsa dengan tenang, meski berulang-kali pria tua itu berusaha memejamkan mata. Helaan napas lelah, penuh keputus-asaan dan rasa bersalah. Andai dulu dia tidak membawa Dara ke dalam rumahnya, mungkin Joya masih seutuhnya menjadi anak gadis penurut yang senantiasa manis bertingkah dan bertutur kata. Ingatan Wangsa terlempar, mengenang hari itu, saat prahara itu memulai episodnya. Senja yang tenang seharusnya, istri Wangsa terbaring lemas di atas ranjang, sementara Joya menungguinya dengan sabar. Gadis itu amat ceria, berceloteh riang tentang pertemuannya dengan Damar beberapa hari yang lalu. “Ma, Mas Damar anaknya Paklik Darmawan ternyata orangnya ganteng banget. Dia juga baik, nggak seperti saudaranya. Joy suka nginep di tempat Paklik Darmawan, kapan-kapan, kalau Papa ke Magelang lagi, Joya mau ikut, boleh, kan, Ma?” Joya menggoyang-goyangkan lengan ibunya dengan lembut. Sementara wanita yang tengah berbar