Jalanan bergelombang, berkerikil, berdebu, sempit pula. Sudah berulang kali Dayu memaki tanpa suara. Tak ada apa pun yang membuat suasana hatinya sedikit membaik sejak mobil mulai bergerak meninggalkan rumah lamanya yang nyaman. Setelah ratusan kilometer, tetap saja wajahnya mendung.
"Apakah masih lama, Yah?" Dimas, saudara tiri baru yang baru Dayu kenal beberapa hari terakhir bertanya.
"Cih!" Dayu berdecih, pelan sekali. Tentu saja gadis itu tahu dia baru saja melakukan ketidaksopanan yang ke sekian kalinya hari itu, tapi dia tak bisa menahan lisannya.
Dayu hanya kurang suka Dimas memanggil ayahnya dengan sebutan yang sama. Padahal sehari sebelum ayah dan ibu Dimas menikah, cowok enam belas tahun itu masih memanggil ayah dengan sebutan Om dan terlihat sangat canggung. Dayu sendiri masih merasa tak nyaman dengan keberadaan orang-orang asing yang tiba-tiba menjadi anggota keluarganya, bahkan membuatnya harus pindah ke sebuah kabupaten di provinsi lain.
Tante Sekar sebenarnya tak benar-benar asing. Dayu sudah pernah bertemu wanita cantik itu beberapa kali, jauh sebelum diperkenalkan kembali sebagai calon istri baru ayah. Tante Sekar -atau yang sekarang ayah minta Dayu memanggilnya dengan sebutan Bunda- adalah pemilik sebuah restoran langganan yang tak jauh dari rumah.
Wanita itu cantik, bahkan terbilang sangat cantik dan terlihat jauh lebih muda dari usianya yang sudah menginjak lima puluh. Perawakannya tinggi dan ramping, dengan rambut hitam yang lebat dan mata bulat. Kulitnya eksotis, dan dia selalu merawat diri dengan baik. Kecantikannya itu diturunkan pada semua anak-anaknya.
Dimas menjadi salah satu pewaris keindahan ragawi tante Sekar, meskipun sebenarnya lebih banyak tak miripnya. Selain fitur wajah yang sama, nyaris tak ada persamaan lain antara tante Sekar dan Dimas. Cowok itu berkulit putih, dengan mata cokelat yang jernih dan bulu mata lentik. Wajahnya bersih, dengan sebentuk bibir yang bagus dan sepasang gigi kelinci. Jika saja Dimas adalah saudara kandungnya, maka Dayu yakin dirinya sudah pasti lahir dengan paras yang sangat cantik bak primadona.
Setelah ayah menjelaskan bahwa mereka akan segera sampai begitu memasuki sebuah wilayah yang dikelilingi hutan jati luas, sunyi kembali berkuasa. Dimas tak banyak bicara, selain menyapa untuk menunjukkan sopan santun, cowok itu nyaris seperti patung properti berjalan. Dayu sendiri masih malas diajak bicara oleh siapa pun, sementara ayah dan tante Sekar tampak telah sadar bahwa putra dan putri mereka sama sekali tak mau diajak beramah tamah di tengah perjalanan itu. Keduanya sama-sama lahir dan besar di kota besar, wajar jika kepindahan itu membuat mereka merasa kurang senang.
Jalanan sepi. Hanya ada satu truk pengangkut barang yang sudah kosong di depan. Begitu melewati sebuah perkampungan yang tak bisa dibilang ramai, jalanan yang semula dominan landai dan lurus mulai berkelok. Setelah melewati sebuah jembatan yang masih terlihat baru, mata Dayu disuguhi pemandangan hijau dari ujung ke ujung. Mereka akhirnya memasuki wilayah hutan jati yang sepi.
Jalan itu seolah berniat membawanya menuju ke sebuah gunung dengan bebukitan yang diselimuti kabut, sementara rumah-rumah penduduk dilatar belakangi pepohonan jati. Seperti ular yang meliuk, jalanan itu memasuki kawasan bebukitan yang sebagian besar telah menjadi hutan homogen, dengan jati sebagai tumbuhan utama. Di bawahnya, beberapa kebun jagung dan palawija baru saja dipanen.
Dayu melirik ke samping dan tanpa sengaja bertemu pandang dengan Dimas. Cowok itu tak tersenyum, hanya memandang ke arah Dayu, atau mungkin ke jendela samping mobil yang ada di belakang Dayu.
"Sakit? Mabuk kendaraan?" Dayu tanpa sadar menanyakan keadaan saudara tirinya itu.
Dimas tampak memucat secara tiba-tiba, dan Dayu yang sebenarnya tak mau peduli, tidak bisa menyembunyikan kepeduliannya. Dimas tampak seperti sedang melihat hantu saja.
Tante Sekar langsung menoleh ke belakang begitu mendengar Dayu bersuara. Ayah juga menoleh, memeriksa keadaan Dayu dan Dimas di kursi belakang.
Seharusnya, aturan dalam menyetir tidak pernah boleh dilanggar. Fokus, lihat ke depan.
Ya, seharusnya.
Karena nyatanya ayah menoleh sampai tak sadar bahwa sesuatu terjadi pada truk di depan mereka dan suara benturan keras terdengar nyaring sekali.
Burung-burung yang sedang bertengger di ranting pepohonan terbang ketakutan, sementara angin dari arah hutan bergerak cepat, lurus menuju ke arah mereka.
***
Dayu mengusap keningnya. Rasanya berdenyut nyeri, tapi luka di kakinya lebih menyita atensi. Beberapa bagian tubuhnya mulai membiru, dan rasanya benar-benar tak karuan.
Sebuah gelas kertas disodorkan kepadanya. Aroma teh tercium samar, dikalahkan aroma antiseptik. Sedangkan uap air yang mengepul menarik minat gadis berambut pendek itu untuk mengangkat wajahnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Dayu bertanya pada cowok yang menyodorinya segelas teh panas itu.
"Entah." Dimas menjawab pendek.
Dayu membuang napas lalu menerima gelas itu. Panas teh dari dalam gelas menghangatkan telapak tangannya yang dingin.
Gerakan Dimas terkesan kaku karena cowok itu pun memiliki lebih dari lima luka di tubuhnya. Yang paling jelas adalah luka di siku. Kaos lengan panjang yang tadi Dimas pakai terpaksa dipotong bagian lengannya agar dokter bisa memberikan pengobatan untuk luka-luka di sana. Begitu Dimas duduk di sampingnya, Dayu bisa menghirup aroma amis darah yang khas.
Dimas masih memakai celana jeans yang sama, hanya saja, noda darah membuat beberapa bagian celana itu bermotif polkadot. Lengan yang terlinhat kencang meski hanya sama besar dengan lengan Dayu terekspos jelas, memperlihatkan luka-luka kecil yang pasti akan terasa sangat perih jika terkena air.
Dua remaja yang baru saja menjadi saudara selama seminggu itu duduk diam, dengan masing-masing menggenggam gelas kertas berisi teh di tangan mereka. Jika Dayu memikili luka yang cukup besar di kaki dan keningnya harus menerima jahitan karena luka robek, maka luka Dimas lebih banyak berada di bagian atas tubuh.
Dayu tak tahu persis apa yang terjadi. Begitu dia bangun, dia sudah ada di rumah sakit. Dimas sadar lebih dulu, dan saat itu tengah duduk di atas brangkar yang ada di samping Dayu. Cowok itu bahkan masih terlihat bingung sampai setengah jam yang lalu, tapi sekarang dia tampak lebih tenang.
"Kenapa cuma ada kita berdua di sini? Ayahku dan tante Sekar, maksudku, bundamu, dimana mereka berdua?" tanya Dayu, memecah hening di antara mereka berdua.
Dimas menggeleng.
"Aku juga tak tahu. Aku sudah tanya pada perawat, tapi mereka bilang, mereka hanya menerima tiga pasien, supir truk itu dan kita berdua." Dimas menjawab sambil menggunakan dagunya untuk menunjuk ke arah pintu yang ada di hadapan mereka.
Dayu membuang napas panjang. Dia juga sudah menanyakan pertanyaan yang sama pada perawat dan dokter yang tadi menjahit lukanya. Mereka hanya mengatakan bahwa beberapa warga desa yang pulang dari memanen jagung menemukan sebuah truk dan mobil yang mengalami kecelakaan, lalu mereka membawa supir truk yang terluka parah dan dua remaja di dalam mobil ke rumah sakit itu. Sisanya, dokter dan perawat itu juga belum tau.
"Mereka bilang, mereka sudah mencoba menghubungi bunda. Karena mereka pikir kita hanya pergi berdua, dan mereka butuh wali untuk membereskan semua urusan administrasi. Aku bahkan memberi nomor kontak bunda dan ayah, tapi seperti yang sudah bisa aku tebak, panggilan pihak rumah sakit tak diangkat. Jadi, mereka membiarkan polisi menangani kasus ini, dan aku memberikan nomor kak Anis." Dimas bercerita.
Dayu tertawa kecil. Dia masih belum memahami apa yang sebenarnya sudah mereka alami, belum bisa menebak kemana perginya ayah dan tante Sekar, dan mengapa warga yang menolong mereka sampai polisi, perawat dan dokter berpikir mereka pergi hanya berdua saja.
"Oh, ini pertama kalinya aku mendengar kamu benar-benar bicara. Aku kira selama ini kamu hanya tahu lima pertanyaan dasar dan jawaban ya atau tidak saja." Dayu mencoba mengalihkan keruh dalam pikirannya dengan mengajak Dimas terus bicara.
Tak ada pilihan lain, mereka hanya berdua dan supir truk yang mungkin bisa bersaksi untuk menceritakan apa yang sudah terjadi masih terbaring tak sadarkan diri. Keluarga supir itu sudah dihubungi tapi belum tiba, sementara keluarganya dan keluarga Dimas juga entah bagaimana.
"Apakah kamu ingat apa yang terjadi saat kita mulai memasuki hutan jati?" tanya Dimas, mengabaikan olokan yang cuma candaan dari Dayu sebelumnya.
Dayu menoleh dan memandang pemilik mata cokelat bening itu.
"Aku hanya ingat ... aku bertanya apakah kamu sakit atau mabuk kendaraan karena wajahmu sangat pucat, lalu ... aku tidak yakin tapi aku seperti mendengar sebuah teriakan." jawab Dayu.
Dimas diam, tak bereaksi sampai tiga detik kemudian dia berkata, "Ya, aku juga mendengarnya. Tapi, itu teriakan siapa? Itu bukan suara salah satu dari kita. Hal terakhir yang aku ingat ... aku seperti bermimpi."
Mereka berdua tanpa sengaja menghela napas bersama.
"Selamat malam," Sebuah suara tegas menyapa dari arah samping, membuat keduanya terkejut.
***
"Maaf mengejutkan kalian, tapi apakah benar kalian adalah korban kecelakaan di hutan jati sore tadi?" tanya seorang laki-laki muda berperawakan tinggi kurus.Dayu memandang dengan tatapan menyelidik. Laki-laki muda itu membawa kamera dan berkaca mata, terlihat seperti seorang jurnalis tapi tak memakai tanda pengenal atau pun kartu pers. Dayu jelas merasa wajib untuk curiga pada orang itu.Laki-laki itu memang tak tampak seperti penjahat, tapi Dayu tak mengenalnya dan ketika dia melihat reaksi Dimas, cowok itu pun tak menunjukkan gelagat sudah mengenal laki-laki itu."Ah, maaf. Saya bukan wartawan. Nama saya Anto, dan kebetulan saya sedang mengumpulkan bahan untuk tulisan saya mengenai hutan itu." Laki-laki itu akhirnya berinisiatif untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu.Dayu memutar pandangannya, mengalihkannya pada Dimas yang hanya diam saja. Tampaknya, Dimas tak merasa tertarik dengan kedatangan Anto, tapi juga tak terlihat terganggu. Dayu sebenarnya juga tak ingin menanggapi,
"Apa mungkin ayah kami keluar lebih dulu dari mobil, lalu mencari bantuan?" Anis bertanya pada polisi muda di hadapannya.Sayangnya jawaban yang dia harapkan bertolak belakang dengan gelengan kepala laki-laki itu."Tak ada tanda seseorang keluar dari pintu depan. Kondisi mobil tidak memungkinkan, kami sudah memastikan itu. Sekarang, kami sedang menunggu hasil pemeriksaan terhadap darah di jok depan untuk memastikan bahwa benar ayah dan ibu kalian ada di sana saat kejadian." Polisi itu bertutur dengah menahan diri.Dayu memandang tajam ke arah tangan si polisi. Tangan itu gemetar. Dayu yakin ada sesuatu yang ingin polisi itu sampaikan atau tanyakan tapi dia tak mengutarakannya. Lagi pula, tak ada penjelasan yang masuk akal untuk kedua belah pihak.Polisi tak menemukan tanda keberadaan siapa pun di sekitar lokasi, keterangan bahwa mobil dalam keadaan terkunci dan tak ada jejak seseorang keluar dari dalam mobil. Dengan semua fakta yang mereka temukan di lapangan, sangat wajar jika apa ya
Dayu berdehem, mencoba menetralkan pening di kepalanya yang makin menjadi."Jadi, apakah kamu mencoba mengatakan kepadaku, bahkan jika polisi nantinya menyatakan bahwa ayah, tante Sekar dan supir itu menghilang, para warga sekitar hanya akan membiarkannya saja?" tanya Dayu.Anto membuang napas, terlihat jelas menyesali jawaban yang harus dia berikan sebelum akhirnya dia mengangguk."Jangan salahkan mereka. Daerah itu cukup terpencil, satu jam dari sini. Belum lagi, banyak dari mereka yang tak berpendidikan tinggi, dibesarkan dalam kepercayaan mengenai kerajaan ghaib pula. Mereka bukan tidak peduli, mereka hanya terlanjur mempercayai bahwa mereka harus berbagi wilayah dengan penguasa tempat itu." Anto mencoba untuk membuka pemahaman Dayu.Mereka diam untuk sejenak, sampai kemudian Dayu meminta Anto untuk meninggalkannya sendirian. Awalnya, Anto masih mencoba untuk tetap di sana, tapi Dayu mengatakan dia butuh waktu untuk berpikir dan mengingat-ngingat apa yang sebenarnya terjadi saat k
"Siapa itu Danyang?" tanya Dayu.Dokter muda itu diam, seperti menyesal telah bertanya.Tak ada obrolan lebih lanjut, karena pembicaraan dokter dengan Anis juga sudah selesai. Dokter muda itu sepertinya adalah calon dokter yang sedang menjalankan koas di rumah sakit itu, jadi begitu sang dokter pergi, dia pun mengikuti.***Dayu tertidur setelah minum obat, dan baru bangun setelah lewat jam lima sore. Saat dia bangun, Anis tak ada di kamar, tapi ada pesan dari kakaknya itu bahwa Anis harus pergi ke kantor polisi untuk membahas masalah kecelakaan dan menghilangnya orang tua mereka, sekaligus pergi ke rumah duka dari supir pengganti.Selama sepuluh menit, Dayu hanya diam di dalam kamar, baru kemudian pergi ke kamar mandi untuk membasuh mukanya. Dia baru saja ingat, wajahnya belum tersentuh air sama sekali sejak sadar.Merasa segar tapi kesepian, Dayu melangkahkan kaki keluar dari kamar rawatnya. Lukanya masih terasa nyeri, tapi Dayu mengabaikannya.Suasana lengang karena tak banyak oran
Dayu ingin sekali meneriakkan bahwa apa yang Nala katakan tidak masuk akal. Lelaki muda itu seorang dokter koas, seharusnya berpikir rasional, seharusnya bersikap masuk akal. Tapi, tak ada yang bisa Dayu tolak lantaran Nala sendiri bisa menunjukkan sesuatu yang seperti sihir itu. Tak mungkin Dayu berpikir lebih jauh, menyangkal dan menuduh Nala sebagai pesulap.Benang merah itu nyaris transparan, tapi nyata adanya meski semula Dayu tak bisa melihatnya. Dimas juga terlihat sama kagetnya, tak menyangka ada benda semacam melilit lehernya.Dayu mencoba memastikan apakah benang merah itu asli dengan menyentuhnya, tapi begitu tangannya nyaris mencapainya, benang merah itu menghilang."Kamu tak bisa menyentuh benda itu, karena kamu adalah mangsanya. Benda ini akan menandai kalian berdua, dan membawa Danyang ke tempat di mana kalian berada, atau sebaliknya, tanpa kalian sadari membawa kalian mendatangi wilayah yang Danyang kuasai. Benda ini seperti jerat yang tidak bisa kalian lepas selama ka
Dayu menceritakan pada Anto setiap detail yang dia ingat, meski dia sendiri yakin bahwa ada bagian yang tak bisa dia ingat."Aku sangat yakin nendengar suara jeritan saat itu, bersamaan dengan suara benturan antara mobil kami dengan truk yang ada di depan. Aku sudah mengkonfirmasinya pada Dimas dan dia pun mengatakan hal yang sama, kami berdua sama-sama mendengar jeritan itu. Sebagai catatan, itu bukan suara salah satu dari kami, ayah atau tante Sekar. Aku bahkan tak yakin itu jeritan apa." Dayu mengakhiri ceritanya."Setelah itu, kamu tak ingat apa-apa lagi?" tanya Anto.Dayu menganggukkan kepalanya. Dia benar-benar tak ingat apa yang terjadi setelah itu."Itu sama persis seperti apa yang aku alami, hanya saja aku tak mendengar suara jeritan seperti yang kamu sebutkan. Aku hanya ingat aku melihat sebuah truk datang dari arah depan, itu saja." Anto menyebutkan kesamaan kejadian yang mereka alami."Lalu, apa saja yang kamu lakukan setelah itu?" tanya Dayu.Anto diam sejenak, mengingat-
Dayu melirik ke kanan dan ke kiri. Dia mulai dihinggapi ketakutan dan kecemasan, membuatnya tak ingin memejamkan mata apalagi tertidur meskipun obat membuatnya mulai mengantuk. Dayu takut dia akan mulai memasuki mimpi menakutkan di hutan yang suram itu lagi jika jatuh terlelap.Dayu merasa tak nyaman. Dia mengenakan selimut sampai ke dada tapi masih merasakan dingin yang berasal dari sekitarnya. Seolah udara di dalam ruang rawatnya menjadi lebih dingin dan lebih lembab, membuat Dayu merasa seperti tengah berada di dalam hutan jati yang ada dalam mimpinya, tapi dalam versi yang lebi lh dingin.AC memang menyala, tapi suhu di dalam ruangan itu diatur untuk tak kurang dari dua puluh empat derajat celcius oleh Anis, sesuai keinginan Dayu.Setelah dokter yang memeriksanya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, Anis menemaninya sebentar. Namun, setelah setengah jam mereka bicara mengenai perkembangan kasus menghilangnya ayah dan tante Sekar, Anis meninggalkan Dayu sendirian u
Nala menghena napas, seolah lelaki muda itu tengah menyesali sesuatu. Dayu tak mengucap sepatah kata pun, tak mengeluarkan suara bahkan tak membuat gerakan yang terlalu jelas meskipun dadanya terasa nyeri dan sesak. Rasa sakit menjalar dari dada sampai ke seluruh tubuhnya, sementara kepalanya berdenyut nyeri.Dokter koas itu duduk dengan gelisah di sofa, tak mengatakan apa pun lagi setelah pembicaraan singkat mereka yang terakhir. Dayu awalnya mengira Nala akan segera pergi dan meninggalkannya begitu saja seperti apa yang sudah terjadi sebelumnya, tapi ternyata pemilik wajah teduh itu justru hilir mudik di depan pintu kamar rawat Dayu yang sengaja dibiarkan terbuka, lantas duduk di sofa seperti sekarang."Aku tidak menyukai hal ini, kenapa aku aku harus melakukannya tadi?" Nala mengkritik dirinya sendiri. Dari tindak tanduknya, sepertinya Nala bahkan telah lupa bahwa dia tak sedang sendirian di sana, dan tanpa sengaja memperdengarkan keluhannya pada Dayu."Apa yang tidak kamu sukai, N