Keesokan harinya, Elena sudah diperbolehkan pulang. Saat kami sedang bersiap, dokter masuk ke ruangan untuk memberikan sedikit nasihat pada Elena."Untuk mengembalikan ingatan, stabilitas emosional sangatlah penting. Tetap di rumah akan membantumu untuk hal itu," ucap sang dokter."Baiklah," jawab Elena."Terima kasih," sahutku.Sejurus kemudian, sang dokter pamit undur diri.Elena manarik napas kasar. Dia mengotak atik ponselnya sedari tadi. Wajahnya cemberut. Dia tampak sangat gelisah. Berkali-kali seperti menelepon seseorang namun selalu kecewa yang didapatkan.Sementara aku masih sibuk mengemas barang-barang untuk dibawa pulang."Hmmm.. kenapa gak diangkat-angkat," gumamnya mengeluh."Siapa?" tanyaku."Mama dan Papaku..." Elena berujar lirih.Aku mengernyit sejenak sembari menghentikan kegiatanku mengemas barang."Bagaimana bisa mereka tidak datang menjengukku saat putri semata wayangnya sakit," ucap Elena, mengeluh dan kesal.Aku masih terdiam, bingung ingin mengucapkan apa dan b
Pagi harinya, aku bangun lebih dulu. Memasak untuknya. Istriku itu benar-benar sudah berubah, dia bangun kesiangan bahkan sesuka hatinya. Biasanya sikat gigi di wastafel, membuang air bekas kumur terlalu menunduk supaya airnya tidak berserakan. Tapi kali ini, dia meludah sembarangan, meletakkan sikat gigi berserakan tidak rapi dan teratur seperti biasanya.Entah aku harus senang atau waspada. Bisa saja dia hanya menjalani trik sandiwara baru untuk mengelabuiku.Saat sedang sibuk memasak di dapur, Elena turun dan menghampiriku."Wuaahh.. chef Bastian! Bukannya kamu bilang sudah lama tidak memasak?" Elena bertanya sambil menyandarkan kedua tangannya di atas meja makan, memperhatikanku dari sana sambil mengedipkan mata, menggodaku."Bagaimana bisa aku berhenti memasak untukmu, sayang.." ujarku menggombalinya."Adduuhh.. kelihatannya enak bangett.. jadi gak sabar mau makan masakan Chef Bastian yang terkenal sejagat raya ini.." Elena kembali menggodaku, dia berlari menghampiriku lalu memel
Sejak saat itu, Elena menghindariku. Dia juga tidak pernah lagi datang ke lembaga pelatihan meracik kopi. Hari itu, saat dia selesai menjadi juri perasa hasil racikan kopi, lebih tepatnya dia datang sebagai penikmat, Aku mengejarnya sampai ke lift dan dia sama sekali tidak melirikku, pintu lift tertutup, aku kehilangan cahaya hatiku. Hatiku terus merindukannya. Tapi, tidak tahu sejak kapan semua orang harus menunjukkan rasa cinta dalam pernikahan, sama sepertiku dan Elena sebagai pasangan suami istri. Aku tersadar dari lamunanku tentang pertemuan pertamaku dengan Elena. Ku pandang wajah cantik istriku yang sedang terpejam lelap dalam tidurnya. *** Hari ini aku tetap pergi bekerja seperti biasanya. Sebelum itu, aku menghidangkan makanan diatas meja agar Elena bisa menyantapnya setelah dia bangun. Semua berjalan seperti biasanya. Jessica juga tak banyak bicara. Kami lebih banyak diam dan cuek.Malam harinya, aku pulang lebih cepat. Setelah menyangrai kopi, aku tidak kemana-mana la
"Apa aku harus pindah tidur disebelahmu?" ucapnya genit."Apa?" Aku terkejut, lantas membalikkan badan."Aku harus tidur disini, Mas.. disana bocor!" Elena langsung berbaring disebelahku lalu menarik selimut sehingga kami satu selimut berdua. Ranjang ini juga lumayan sempit karena ukurannya yang hanya empat kaki. Pas-pasan sekali untuk saling berbaring tanpa bisa berguling ke kanan atau ke kiri."Bocor apanya?" Aku masih setengah duduk melihat tingkah istriku.Dia tidak menggubris, matanya langsung terpejam."Aku harus tidur seperti ini, agar lebih nyaman..." Elena terus bergerak lalu memelukku, dia menjadikan lenganku sebagai bantalnya."Tapi ini single bed," ucapku."Bahkan lebih luas dari yang ku kira," sahutnya sambil terpejam dan terus memelukku erat.Aku hanya bisa terdiam. Sama sekali tak berkutik. Kupandangai wajah Elena.Katanya cinta membutakan orang, apakah pernikahan ini membuat matanya terbuka lagi? Apakah ini arti dari pernikahan? Seharusnya aku mempercayaimu, Elena.Ti
"Ini kan anggur merah yang kita minum saat kamu melamarku, dan membuat janji dengan setetes dari anggurnya, iya kan?" Elena tertawa kecil, mungkin merasa bangga telah menemukan benda yang dia anggap harta karun ini.Seketika tubuhku yang tadi menegang menjadi lemas, lega. Aku pun ikut tersenyum kecut. Syukurlah, berarti dia memang tidak mengingat hal lain selain itu. Dan memang ingatannya hanya saat setahun menikah saja."Ayo kita minum sekarang..." ucapku pelan, dengan seringaian yang terbut dari bibirku.Elena mengangguk senang. Padahal aku berniat untuk melenyapkannya dengan anggur ini.Kami kembali ke meja makan. Kubuka tutup botol anggur itu dengan perasaan kalut. Antara ingin melenyapkan Elena atau melindunginya.Namun tetap kutuangkan anggur itu ke dua gelas. Tentu aku akan pura-pura ikut meminumnya."Kamu ingat, sampai mau memisahkan kita..." aku mengungkap kembali kata-kata saat Elena membuat janji dengan anggur ini, ketika kamj berkencan dan aku melamarnya saat itu."Cinta A
POV AuthorSaat ingin mengantarkan makanan ke tetangga, Andre si suami muda milik Melisa mendengar pertengkaran antara Elena, Bastian dan Denis.Pria berkaos putih itu merondok sambil berjongkok bersembunyi dibalik pohon dan mendengarkan semuanya, termasuk masalah uang 10 Miliar.Andre bertahan dalam persembunyiannya sampai akhirnya kedua pasangan itu masuk ke dalam rumah dan Denis pergi dari garasi tempat mereka berdebat.Beberapa saat kemudian, Andre pun memencet bel rumah Elena untuk mengantarkan makanan yang sejak tadi dia pegang.Disana dia memperhatikan semua orang, ternyata keluarganya sedang berkumpul merayakan kepulangan Elena dari rumah sakit setelah kejadian penculikan itu. Tak lama, Andre pulang dan menemui istrinya yang sedang melamun, berdiri di depan jendela lantai dua sambil memperhatikan rumah sebelah yang terlihat pasangan suami istri dan keluarganya itu sangat bahagia merayakan kepulangan Elena."Apa mereka mau menerima makanannya?" tanya Melisa, sambil bersedekap
Setelah perdebatan semalam, pasangan suami istri kontrak itu tidak banyak bicara lagi. Namun pagi ini, Andre menemukan istrinya itu tengah menggigil seperti sedang tidak sehat, duduk di ruang tengah menonton TV. Memakai selimut sambil memakan bubur hangat.Klik! Andre mematikan TV yang menayangkan berita tentang kematian Denis yang terjadi pagi ini."Kenapa kamu matikan TV-nya?" tanya Melisa."Buat orang kesal, aku malas menonton berita begitu pagi-pagi begini," jawab Andre berkilah.Dia sudah mengetahui gerak gerik istrinya itu. Semalam, di dalam paper bag yang Melisa bawa, dia melihat sekilas setelan mantel panjang, topi dan kacamata serba hitam. Dia bisa melihatnya karena Melisa meletakannya diatas nakas luar kamarnya. Mungkin lupa membawa masuk saat berdebat dengan Andre semalam."Maaf, aku telat memberikan gajimu. Bisakah kamu menunggunya sebentar lagi?" ucap Melisa gugup."Sudahlah jangan dibahas! Aku mengerti!" jawab Andre, datar namun tenang.Setelah perbincangan singkat itu,
"Kamu kan, yang membunuh Denis?" Andre langsung menuduh Jessica tanpa basa basi.Jessica terhenyak, dia hanya bisa diam saat dituduh tiba-tiba. Memang, sebelum kematian Denis, dia sempat menyusup ke apartemennya. Tapi, dia tidak menemukan Denis, karena dia sengaja menunggu pria itu keluar dari apartemennya. Jadi, bukan dia pelakunya.Namun, ada satu orang yang dia curigai. Seorang pria yang juga masuk ke dalam apartemen Denis. Saat itu, dia bersembunyi di dalam lemari, jadi tidak tahu siapa pria yang masuk setelah dirinya. Apakah itu Denis, dia juga tak bisa memastikan."Apakah kamu juga berpikir bahwa dia bunuh diri?" tanya Andre lagi."Maksudmu apa? Sebenarnya apa yang ingin kamu katakan? Jangan bertele-tele!" ucap Jessica kesal."Aku melihat semuanya.." kata Andre sambil menyeringai licik.Jessica menelan salivanya. Namun dia berusaha untuk tetap tenang."Saat Elena dan Bastian bertengkar di garasi, kamu mengikuti Denis karena berpikir uang 10 miliar itu ada padanya, kan? Dan saat