"Ada apa?""Kita harus cepat pergi, ganti bajumu. Sepertinya Elena sudah tau semuanya!" "Kok bisa?""Gak tau! Udah cepetan bersiap, aku ngerasa harus segera kabur.." aku masih sibuk kesana kemari mencari paspor yang tak kunjung kutemukan. "Baiklah.." Jessica berlari menuju ruang ganti karyawan dan bergegas membawa barang-barangnya.Sementara aku mengunci rapat tas berisi uang ini. Perlahan aku menuruni tangga dengan sikap tenang dan normal. Sedangkan paspor yang tadi kucari tak kutemukan di dalam ruang kerjaku. Mungkin tertinggal di mobil.Salah satu karyawanku bertanya saat melihatku membawa tas besar."Mau kemana bos?""Oh, itu. Saya harus pergi beberapa hari untuk bertemu klien," jawabku.Kemudian salah satu karyawanku datang hendak membantuku membawakan tas ini."Ow..ow..." aku terlonjak kaget."Saya cuman mau bantu bawain, Bos. Keliatannya berat banget," ucapnya tak enak hati, melihatku seketika menepis tangannya saat hendak memegang tas ini."Oh.. maaf. Tidak apa, saya bisa m
Setelah tidak ada lagi yang dibicarakan, kedua detektif itu memutuskan untuk kembali ke kantor polisi. Meskipun menaruh curiga terhadap Jessica karena mantel yang dipakainya sangat mirip seperti yang dipakai wanita dalam Video CCTV, namun tak ada bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa pelakunya adalah Jessica.Aku memutuskan untuk mempercayai Jessica. Jika memang Jessica pelaku aslinya, itu tak masalah, selama tujuan kami masih sama, yaitu uang 10 miliar."Oke, aman!" Ucap Jessica saat memastikan kedua detektif itu sudah benar-benar pergi dari lingkungan restoran, dia mengintip dari balik tirai jendela."Ayo, sekarang!" Ajakku.Kami keluar melalui pintu belakang restoran lalu berlari menuju parkiran, sebelum Elena datang. Akhirnya kami berdua masuk mobil dengan aman. Aku segera mematikan ponsel."Kenapa dimatiin?" Jessica bertanya seraya memakai sabuk pengaman."Menghindari istriku melacak, supaya dia tidak mengikuti kita. Kamu juga harus matikan ponsel!" jawabku dengan napas tersen
POV ElenaKabar kematian Denis membuatku merasa bersalah dan sangat menyesal. Pria malang itu dibutakan oleh cintanya padaku, sehingga dengan rela menuruti semua permintaanku.Tetapi malam itu, aku hanya memintanya pergi jauh dan bersembunyi seolah dia bunuh diri. Kenapa dia harus melakukan itu sungguhan.Aku berangkat ke restoran pagi-pagi dengan alasan belajar menyangrai kopi. Suamiku masih tertidur pulas, aku sengaja tidak membangunkannya. Kutulis pesan di secarik kertas, lalu menaruhnya diatas meja makan.Sampai di restoran, kurir mengantarkan sekarung pesanan biji kopi yang waktu itu kupesan dengan Denis. Di dalam karung ini, Denis sudah menggantinya dengan uang 10 miliar yang dibungkus dengan kantung plastik hitam.Waktu pengiriman memang sudah diatur untuk hari ini, bertepatan dengan kasus bunuh dirinya Denis. “Kenapa kamu sungguh-sungguh melakukan itu, Denis? Apakah kamu menyerah, dan menganggap semua ini sudah berakhir?” gumamku.Namun, hati kecilku mengatakan, Denis tidak bu
Pengacaraku mengajak pihak kepolisian yang terlibat dalam investigasi kematian Denis untuk berkumpul membicarakan masalah yang menimpa suamiku sehingga menjadi tersangka, lantas kami meminta mereka untuk membebaskan suamiku dari tuduhan.Cukup sulit untuk meyakinkan detektif Toni yang bersikap kritis, meski direktur mereka dengan mudah menyeru untuk membebaskan suamiku karena minimnya bukti.Sampai akhirnya ditemukan hasil lab yang mengatakan bahwa terdapat darah Bastian di ujung pisau milik Denis. Tentu saja itu membuat situasi semakin rumit, mereka menyangka bahwa sebelumnya ada perseteruan antara suamiku dan Denis.Lalu aku menjelaskan bahwa sebelumnya Denis pernah menyerang suamiku di garasi. Dari situlah darah suamiku berasal. Namun itu pun tak cukup menjadi bukti. Pukul empat sudah lewat lima menit, namun kiriman bunga dan surat catatan kematian Denis yang kami rencanakan belum juga datang. Aku harus mencari cara untuk mengulur waktu agar mereka tak langsung menangkap suamiku.
Aku bergegas meninggalkan restoran. Tapi, saat melewati tong sampah di dekat dapur, aku merasa ada yang janggal. Setelah kupikir-pikir, ternyata surat kiriman paket kopi hilang. Aku ingat, setelah merobeknya, lalu membuangnya ke tong sampah itu. Kemudian, Bang Rozi datang. Baiklah, aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang.Pertama, aku pulang ke rumah. Mengambil anggur beracun yang kusembunyikan di dalam pot bunga. Kemudian, meneteskan anggur itu kepada sebuah permen. Aku menyiapkan beberapa buah permen, dan hanya salah satunya saja yang akan kugunakan nantinya.aku semakin marah, ini adalah pilihan yang kubuat. Bagaimana pun hanya ada satu jawaban. Orang yang telah merebut benda berhargaku, aku tidak akan memakai perasaan untuk melenyapkannya!Hanya dengan dua miligram racun ADTX ini, orang yang memakannya dalam 12 jam, akan meninggal dengan gagal organ. Aku ingin menggunakan racun yang mereka rencakan padaku, lalu mengambil kembali 10 miliarku.Aku menyiapkan beberapa makanan untu
Baiklah kalau kalian ingin bermain denganku. Dengan senang hati aku meladeninya. Tujuan pertamaku adalah sekolah Sheza. Sebelumnya aku sudah membelikannya sepaket mainan anak perempuan. Lengkap dengan boneka dan rumah-rumahannya.Kuhentikan mobil di depan gerbang sekolah, tak lama kemudian gadis kecil itu keluar sambil cemberut karena tak ada yang menjemput."Sheza!!!" Aku memanggilnya sambil melambaikan tangan."Tante Elena..." gadis kecil berseragam SD dan memakai tas berwarna pink itu berlari menghampiriku dengan raut wajah gembira."Kenapa? Kamu pasti kaget ya, tante jemput kamu?" Aku membungkuk menatap wajahnya yang berubah ceria.Aku lantas mengeluarkan mainan yang kubeli tadi."Ta..da... kamu harus menyukai ini," ucapku bangga."Waaah.. aku suka banget, Tante. Tapi kenapa Tante tiba-tiba memberiku hadiah?" Raut wajah Sheza berubah bingung."Karena ketika Tente keluar dari rumah sakit, kamu yang paling bersemangat menyambut tante, iya kan?" Untung saja aku sudah menyiapkan al
"Anak saya.. Sheza. Dimana dia?" Ucapnya lirih."Kamu bertanya dia dimana? Hahaha.. kenapa Abang mendadak bicara formal begitu.." aku terkekeh mendengar Bang Rozi berbicara formal sambil berlutut, apalagi nada bicaranya sedikit gemetar.Pria berkemeja lusuh itu semakin memelas, seakan putus asa begitu mendalam."Ah, kenapa dengan ekspresimu itu, Bang? Kamu hanya menghadapi ibu rumah tangga biasa, loh.. kamu sungguh rela berlutut seperti itu.. hahahaha," aku tertawa terbahak-bahak. Benar-benar lucu sekali melihat ekspresi Bang Rozi yang ketakutan.Bukannya dia bilang aku hanya ibu rumah tangga biasa dan tak mampu mengalahkannya? "Dimana Sheza???!!!" Dia berteriak penuh emosi. Wajahnya memerah. Aku baru kali ini melihat pria yang suka cengengesan itu marah seperti ini."Ups... sabar.. sabar! Baiklah, uangnya mana? Aku mau lihat dulu uang itu," ucapku setelah tawaku reda.Bastian dan Bang Rozi tergesa-gesa memperlihatkan uang dalam tas yang mereka pegang masing-masing."Ini.. lihat! Se
POV BASTIAN"Apa ini, Bang?" "Gue akan membunuh wanita itu!" ucapnya geram.Aku masih bergeming, Jessica melotot disebelahku melihat foto Sheza dalamnkeadaan tersekap."Cepat bawa uang itu! Kalau gak, gue akan bunuh kalian berdua!"Tanpa pikir panjang, aku segera membongkar kembali uang yang sudah kami kubur. Jessica menarik tanganku, mencegahku agar tidak membongkar kembali uang yang sudah kami kubur."Sayang.. sayang..! Jangan! Kamu akan mengantar uang itu kesana? Itu adalah masalah mereka, kita tidak harus memberikan uang ini pada mereka!" Jessica mencengkram lenganku.Aku menatap lekat manik mata Jessica yang tampak putus asa."Maaf, aku tidak bisa melibatkan anak kecil, ini tentang keselamatan Sheza. Kalau aku tidak segera menghentikan istriku, semua orang akan dalam bahaya," ujarku lemas.Saat aku berhasil mengeluarkan tas besar berisi uang itu, Jessica merebutnya."Jangan! Aku tidak mau kehilangan ini, kita sudah susah payah mendapatkannya, tidak! Jangan!" Jessica memeluk tas