Share

6 SAKIT

6 SAKIT

Pagi-pagi sekali setelah adzan subuh aku langsung pergi. Aku nyaris tidak tidur semalaman. Aku memanggul tas ranselku menuju kosan. Setiba di kosan aku meletakkan tasku dan bergegas mengantarkan kue-kue. Ini hari Minggu, jadi akan banyak pekerjaan yang harus kulakukan.

Di hari Minggu, biasanya setelah mengantarkan kue, aku membantu ibu kos berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue. Belanjanya memang seminggu sekali. Ibu kos berbaik hati menggratiskan uang kosan. Sebagai gantinya aku mengantarkan kue-kue dan berbelanja setiap Minggu.

Orangnya baik sekali. Dia juga suka memberi anak-anak kosan makanan secara gratis, dan dia tidak pernah bertanya siapa pria berumur yang tiba-tiba datang menemuiku.

Setelah selesai berbelanja aku istirahat sebentar, lalu ke salon. Saat libur aku memang datang lebih cepat, akan ada lebih banyak pengunjung. Jam lima aku ke kafe.

Reno melihat kedatanganku dan tidak berkata apa-apa. Kami tetap bekerja dalam diam. Mungkin saat ini hal yang kami pikirkan sama.

Bagaimana mungkin orang nyebelin ini tiba-tiba bisa jadi saudara?

Jam sepuluh kami bersiap akan pulang. Tentu saja kami selalu menaiki bis yang sama. Mungkin karena hari Minggu, orang-orang pulang lebih larut. Aku tidak mendapatkan tempat duduk. Mataku terasa berat karena kurang tidur. Setibanya di pemberhentian terakhir, aku langsung mencari tempat duduk untuk melemaskan kaki. Aku bersandar dipunggung bangku. Reno ikut duduk di sebelahku.

Ibu, kenapa hidup ini semakin tidak menyenangkan ...

Aku tersentak melihat ke sekeliling terminal. Terminal semakin sepi. Entah berapa lama aku ketiduran.

“Ayo, itu mungkin angkot yang terakhir,” kata Reno menarik tanganku.

Aku melepaskan tanganku dari genggamannya, aku kan bukan anak kecil yang harus dituntun.

Kami menaiki angkot itu, tidak ada penumpang lain. Mendekati gang kosan, aku bersiap akan turun, tapi Reno mencegahku. Gang kosan dilewati begitu saja.

“Mau turun di mana? Turun di sini aja ya, saya sudah mau pulang. Dah enggak usah bayar,” kata sang sopir memaksa kami turun.

“Lo lihat kan, ini semua tuh gara-gara Lo. Coba tadi Gw turun di kosan.”

“Lah, suruh siapa Lo tidur di terminal?”

“Suruh siapa Lo nungguin Gw?”

“Lo tuh perempuan. Lo mau disana sendirian? Lagian bisa-bisanya Lo ketiduran ditempat kaya gitu,” katanya sambil menunjuk-nunjuk jidatku.

Dasar songong!

“Namanya juga ketiduran, emangnya bisa milih-milih tempat? Gw juga enggak mau ada yang tahu kalau Gw tinggal di rumah Lo.”

“Lo kira Gw mau orang-orang tahu tentang hubungan Kita? Jadi Lo tenang aja.”

Aku berjalan sempoyongan. Tersandung-sandung lubang dan kerikil-kerikil kecil. Tidak ada ojek atau pun taksi yang lewat. Sejak bertemu dengan mereka, keadaan jadi semakin tidak menyenangkan.

Satu jam lebih kami berjalan kaki. Setibanya di rumah, aku langsung merebahkan diri di tempat tidur.

***

Sudah dua minggu aku tinggal di sana. Setiap pagi setelah adzan subuh aku pergi dan pulang malam-malam sekali. Tidak pernah sekali pun makan atau minum di rumah itu. Enggak pernah bertemu dengan siapapun kecuali dengan Reno di kampus kalau kebetulan kami berpapasan, mengikuti kegiatan organisasi atau di tempat kerja.

Jarak rumahnya dengan kampus yang lebih jauh semakin mengurangi jam belajar dan tidurku. Kata Reva, aku semakin kurus dan pucat. Belum lagi sebentar lagi ada ujian semester dua, ada tugas mengerjakan makalah dari semua dosen.

“Lo berhenti aja dari kafe,” kata Reva yang iba melihat keadaanku.

Sampai sekarang dia belum tahu tentang aku dan Reno.

“Gw harus dapat pekerjaan yang lain sebelum berhenti,” kataku sambil menguap.

“Lho, kan Lo berhenti biar punya waktu buat belajar dan istirahat. Kenapa malah nyari kerjaan lagi? Makanya Lo tinggal sama Gw, biar dekat dari kampus. Lagian Gw juga suka BT kalau sendirian terus di apartemen,” kata Reva.

Dua hari kemudian kondisiku semakin memburuk. Aku duduk di anak tangga sambil meletakkan kepala di lutut.

“Lo kenapa, sakit?”

Aku melihat Reno. Aku tidak menjawab dan memalingkan muka. Keringat dingin membasahi wajahku. Dia memegang keningku dengan punggung tangannya.

“Apaan sih, bukan urusan Lo. Pergi sana jauh-jauh.”

Dia langsung pergi. Heran tuh orang, semakin hari semakin nyebelin ...

Aku membuka mataku perlahan. Di sampingku sudah ada Reva.

“Kok Gw disini?” tanyaku.

“Tadi Lo pingsan di tangga. Reno yang bawa Lo kesini,” kata Reva. Kepalaku terasa berat.

“Lo tunggu disini sampai kuliah Pa Alex selesai ya. Entar Gw antar pulang. Gw udah enggak bisa absen lagi dikuliahnya. Bisa-bisa Gw enggak lulus. Lo enggak apa-apa kan sendiri disini?” tanyanya.

“Iya enggak apa-apa, Lo kuliah aja. Gw juga bisa pulang sendiri kok,” kataku.

“Dah Lo tunggu aja, entar Gw antar Lo pulang,” katanya sambil melambaikan tangan.

Lima menit kemudian Reno masuk.

“Ayo pulang, Gw udah panggil taksi,” katanya.

“Lo pulang aja sendiri.”

“Lo mau Reva tahu Lo tinggal dimana?”

“Gw mau tidur di kosan.”

“Nggak boleh.”

“Emang Lo siapa ngatur-ngatur Gw?”

“Gw emang bukan siapa-siapa Lo, tapi sebagai sesama manusia ....”

“Emang Lo manusia?” kataku sebelum dia sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Heh, Lo tuh ya bisa enggak sih sopan dikit?”

“Kalau sama Lo dan keluarga Lo enggak bisa. Pake nanya lagi.”

“Lo mau jalan sendiri ke taksi atau Gw gendong?”

“Lo gendong aja taksinya kesini!”

Reno sudah bersiap menggendongku.

“Tungguuu ... Gw jalan sendiri.”

Dia tersenyum penuh kemenangan. Aku memberi tahu Reva kalau pulang duluan lewat Wa. Di tengah perjalanan aku menghentikan taksi dan muntah-muntah. Aku mulai keringat dingin lagi. Tangan dan kakiku gemetar. Setelah sepuluh menit, aku masuk lagi ke dalam taksi. Aku menyeka keningku yang basah, memejamkan mata dan tertidur.

Aku terbangun diatas tempat tidur yang empuk. Selimut lembut menutupi sebagian badanku. Cahaya bulan menerangi kamarku. Ternyata sudah malam. Di atas meja kecil di sisi tempat tidurku ada makanan, juga buah dan segelas air putih. Lima jenis obat-obatan tergeletak di sisinya. Apa pun yang ada di meja itu tidak kusentuh sama sekali. Aku berjalan menuju balkon. Keheningan malam seolah melengkapi kesepianku.

“Ibu, kenapa aku harus berada disini?” kataku lirih.

Saat kubuka pintu kamar keesokan paginya, ada Reno yang duduk di sofa.

“Lo mau kemana?”

“Ya kerja lah.”

“Lo enggak lihat muka Lo masih pucat gitu. Kata dokter Lo kecapean dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa sih yang Lo makan selama ini?”

“Makan hati!”

“Gw enggak mau ribut pagi-pagi gini.”

“Ya udah Lo minggir. Lagi apa peduli Lo coba. Gw mau sakit kek, mati kek, Gw mau kemana, ngapain kek, itu bukan urusan kalian.”

“Jadi urusan Kami selama Lo masih tinggal disini.”

“Dengar baik-baik ya, Gw tinggal disini bukan dengan senang hati. Lo kira Gw disini penuh suka cita? Kalau bukan karena Lo dan bokap Lo yang suka neror hidup Gw, keadaan Gw enggak akan gini-gini amat.”

“Lo yang dengar baik-baik ya, bokap Gw bawa Lo kesini buat ngejagain Lo, bukan buat bikin Lo sengsara. Masih mending bokap masih ingat Lo sebagai anak. Seharusnya Lo bersyukur!”

“Reno, ada apa ini pagi-pagi teriak-teriak?” tanya papanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status