Share

5 SIMPANAN OM-OM

5 SIMPANAN OM-OM

Hari keempat aku kuliah.

“Sakit apa sih Lo? Lo kecapean ya gara-gara pelantikan?” tanya Reva.

Di hari keempat ini aku melihat mobilnya di depan gerbang kampus. Mobil mewah yang terparkir di depan kampus tentu saja menarik perhatian banyak orang, apalagi sang pemilik yang memakai barang-barang mewah terus saja memanggil namaku.

Dia pun menepati perkataannya untuk datang ke tempat kerjaku, ke salon.

Sudah seminggu. Selama seminggu ini juga dia terus saja menungguku di depan kampus dan salon. Satu-satunya tempat yang tidak pernah dia datangi adalah kafe. Mungkin karena sudah malam. Tanpa harus dia datang pun, sudah ada gosip yang beredar katanya aku pacaran sama om-om.

“Kenapa, Lo juga mau Gw kenalin sama om-om?” kataku pada seorang gadis.

Reva hanya tertawa. Meskipun tidak tahu cerita yang sebenarnya, tapi Reva percaya kalau aku enggak mungkin pacaran sama om-om.

***

Entah bagian mana yang rusak dalam otakku, akhirnya aku setuju untuk ke rumahnya. Aku mengemasi barang-barangku, meskipun tidak semuanya. Kami duduk dalam diam di mobil.

“Bagaimana kuliahmu?

“....”

“Bagaimana teman-temanmu?”

“....”

“Apa Kamu punya pacar?”

“....”

“Gimana pekerjaan kamu”

“....”

“Kamu mau bekerja dimana setelah lulus?”

Tidak ada satu pun pertanyaannya yang kujawab. Dalam hatiku aku hanya berkata aku sangat membenci orang ini. Kenapa orang ini harus menjadi ayahku?

Mobil masuk ke halaman sebuah rumah yang gerbangnya seperti benteng. Di kanan kirinya ada taman dengan pohon-pohon rindang dan air mancur yang besar.

Lapangan basket diterangi dengan lampu taman. Pintu dari ukiran Jepara tampak kokoh. Kami memasuki ruang tamu. Di situ telah menunggu seseorang wanita dengan rambut digulung. Anak perempuan berusia sekitar lima belas tahun dan anak laki-laki sekitar sepuluh tahun.

“Ayo duduk!” kata wanita itu dengan lembut.

Apa yang ada dalam pikirannya? Tanyaku pada diri sendiri. Haruskah dia bersikap semanis itu padaku, sedangkan dia tau siapa aku ini. Mungkinkah dia hanya berpura-pura didepan suaminya?

Sikap anak perempuannya terlihat lebih normal bagiku. Tidak terlihat senang saat menatapku.

“Maaf Pa, Aku telat,” kata seseorang.

“Lo?” kata kami bersamaan.

“Ngapain Lo disini?” tanyanya.

“Reno, ini Rana adik Kamu. Papa sudah bilang kan kalau akan membawa adik Kamu kesini sekarang. Maaf kalau Papa enggak bilang sebelumnya kalau Kalian satu kampus.”

“Tunggu dulu Pa. Maksud Papa apa? Adik? Jadi Dia adikku? Enggak mungkin. Cewek nyebelin kaya gini. Aku enggak mau Dia jadi adikku,” katanya.

“Eh, Lo pikir Gw mau apa jadi adik Lo? Jadi teman Lo aja Gw malas.”

“Ya udah, terus ngapain Lo masih disini?”

Tanpa berkata apa-apa aku langsung pergi. Menabrak punggungnya dengan kencang.

“Rana, tunggu jangan pergi! Reno, cepat kejar dia!” kata papanya.

“Maaf Pa, tapi Aku enggak bisa terima kalau dia jadi adikku. Enggak akan pernah, selamanya.”

Aku masih bisa mendengar teriakannya itu. Ya ampun, bencana apa ini? Ini pasti hanya mimpi. Ini enggak benar-benar terjadi kan?

***

Aku enggak konsentrasi mengikuti pelajaran.

“Lo kesambet apaan sih, enggak ngomong-ngomong dari tadi?” tanya Reva.

Di tempat kerja pun, aku hanya melamun. Keadaan juga enggak jauh lebih baik di kafe. Reno juga bekerja dalam diam. Kami tidak saling berbicara (meskipun selama ini kami memang tidak pernah bicara dan hanya menyalahkan pekerjaan yang lain, atau hanya saling melihat).

Sekarang kami tidak peduli apakah pekerjaan satu sama lain dikerjakan dengan benar atau tidak. Kami benar-benar tidak peduli. Bagiku dia hanyalah udara kosong. Mungkin baginya aku pun begitu. Ini berlangsung selama seminggu.

***

“Gw mau ngomong empat mata sama Lo!” katanya sambil menarik tanganku.

“Apaan sih, lepasin!”

“Lo harus pulang ke rumah Gw malam ini. Bokap Gw udah khawatir banget sama Lo, dan harus Gw yang bawa Lo pulang”

“Bodo amat, itu sih bukan urusan Gw. Lo pastinya senang dong kalau Gw enggak disana.”

“Gw enggak mau tau, pokoknya malam ini Lo harus pulang bareng Gw.”

Dia melepaskan genggamannya. Aku memijat-mijat pergelangan tanganku yang memerah.

“Kenapa sih Ra kok sampai merah gitu?” tanya Reva yang baru datang.

Untung saja Reno sudah pergi dan Reva tidak melihat dan mendengar pembicaraan kami.

Malam ini aku libur kerja di kafe, dan saat aku pulang, sudah duduk Reno di teras kosan. Dia pasti tau kosan ini dari papanya.

Aku langsung ke kamar tanpa memedulikannya. Hingga jam sembilan dia masih disitu. Pemilik kos akhirnya menyuruhku turun untuk menemuinya. Kami duduk dalam keheningan. Dia menatap lurus-lurus ke depan. Desahan nafasnya yang panjang dan berat memecah keheningan. Terlihat sekali dia sangat marah. Entah siapa diantara kami yang sangat marah pada kenyataan ini.

“Gw bakalan terus duduk disini sampai Lo mau ikut ke rumah,” katanya lalu memejamkan mata.

Aku lalu berdiri, menuju kamar. Apa yang harus kulakukan, Bu? Aku benci mereka semua. Haruskah aku tinggal bersama mereka? Anak-anaknya jelas sangat membenciku, begitu juga aku. Tinggal disana hanya akan membuatku lebih menderita.

Kenapa pria tua itu tiba-tiba datang lagi dalam kehidupanku, menambah keruwetan yang ada.

Aku berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Tidak ada untungnya aku disana. Tapi bagaimana kalau dia benar-benar akan terus duduk disana. Bukankah ayahnya juga seperti itu, datang ke kampus, ke kosan dan ke tempat kerja.

Setengah jam kemudian kami sudah duduk di dalam angkot.

Kami duduk berhadapan namun tetap dalam diam. Apa yang kulakukan ini tepat? Tidak banyak barang yang kubawa. Hanya satu tas ransel yang berisi buku-buku kuliah dan beberapa baju. Toh aku tidak yakin akan bertahan berapa lama tinggal disana.

Kami turun dari angkot. Berjalan menyusuri jalan-jalan perumahan elit. Jalanan sudah sangat sepi. Lampu-lampu jalan menemani langkah kami. Agak jauh juga kami berjalan kaki. Jam sebelas lewat sepuluh kami tiba. Lampu ruang tamu masih menyala. Papanya yang membukakan pintu dan tersenyum penuh kelegaan.

“Mulai sekarang, Kita akan jadi keluarga” kata papanya.

Reno menunjukkan dimana kamarku. Kamar kami bersebelahan dengan balkon menghadap halaman depan. Di depan kamar kami ada ruang bersantai dan balkon yang menghadap taman belakang. Dibawahnya ada kolam renang dengan prosotan berbentuk rumah siput. Berbagai jenis bunga ada disana.

Reno membukakan pintu kamar dan menyalakan lampu. Dia menaruh tasku diatas sofa kamar.

“Kalau ada apa-apa kamar Gw disebelah,” katanya lalu menutup pintu.

Kamar ini besar sekali. Enam kali lebih besar dari luas kamar kosanku. Tempat tidur berukuran besar dan bantal-bantal berseprai biru muda. Meja rias berukiran kayu Jepara ada di seberangnya. Meja belajar disertai lampu meja berbentuk bola kristal. Sofa yang sangat empuk ada disisi jendela. Lemari baju berukuran tiga pintu juga berukiran Jepara.

Di belakangnya ada kamar mandi. Aku ke kamar mandi untuk mencuci muka. Kamar mandi bertemakan alam pedesaan. Batu alam menutupi dinding dan lantainya. Wastafel nya pun terbuat dari batu alam. Shower berbentuk bambu-bambu kecil terlihat melengkapi suasana itu.

Untuk apa tempat sebesar dan sebagus ini kalau aku semakin merasa kesepian. Untuk apa kalau aku tetap tidak bahagia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status