Share

4 DIA KEMBALI

4 DIA KEMBALI

Di ruangan klub fotografi.

“Hari Sabtu dan Minggu nanti, Gw mau Kita ambil foto di Taman Mini,” kata Reno.

“Bukannya libur?”

“Lo kan anak baru, harus banyak berlatih.”

“Kenapa di Taman Mini? Kenapa harus sama Lo?”

“Karena kalau di Ragunan, nanti bingung ngebedain yang mana Lo, yang mana bukan, dan karena Gw ketuanya, jadi Gw yang nentuin. Udah enggak usah banyak nanya.”

Hari Sabtu.

“Kita naik kereta gantung dulu. Dari atas sana Lo bisa ambil gambar.”

Kami naik kereta gantung. Dari atas sana aku mengambil foto beberapa wahana permainan dan pemandangan yang ada di bawahnya.

“Ini gambarnya buram, coba Lo ambil dari arah lain!”

“Mata Lo kali yang buram, gambarnya terang begini juga.”

“Gw ini senior Lo, kalau soal fotografi Gw lebih berpengalaman.”

“Terserah Lo deh, senior!”

Seharian kami mengelilingi Taman Mini dan mengambil foto. Membuat kakiku rasanya pegal-pegal.

“Besok Kita ke Kota Tua. Disana juga banyak objek yang bagus-bagus. Ingat, ambil gambarnya jangan asal-asalan!”

Keesokannya

“Ini gambarnya kurang terang, butuh pencahayaan, coba Lo ke kiri dikit biar ada cahayanya, coba Lo kasih pencahayaan. Kalau yang ini, terlalu banyak kena cahaya, coba agak gelap dikit!”

“Kayanya hati dan pikiran Lo deh yang butuh penerangan!”

“Lo ngeyel amat sih.”

“Iya senior, Gw tau Lo lebih berpengalaman. Tapi mungkin ini masalah selera. Lo suka putih, Gw suka hitam. Jadi tolong, jangan nyari-nyari alasan biar Lo bisa ngerjain Gw.”

“Gw enggak nyari-nyari alasan biar bisa ngerjain Lo, Gw hanya ....”

“Udah deh, jangan diterusin. Capek Gw berdebat terus sama Lo, enggak ada ujungnya.”

Lagi-lagi kami mencari objek foto sampai malam.

“Lo ngapain foto Gw?”

“Gw enggak ada minat buat foto penampakan.”

Sesampainya di kosan, aku langsung merebahkan diri, dan tertidur.

Di kampus

“Lo belum ngerjain tugasnya Pak Alex? Kok bisa?” tanya Reva.

“Hari Sabtu Gw ke Taman Mini sampai malam. Terus hari Minggu Gw ke Kota Tua, sampai malam juga. Gw cuma sempat ngerjain tugas Bu Tuti dan Pak Agung.”

“Ngapain Lo kesana? Kok enggak ngajak-ngajak, sama siapa?”

“Ambil foto buat klub, sama si Reno.”

“Hah? Lo malam mingguan sama Reno? Enak dong, Gw juga mau.”

“Malam mingguan apaan? Yang ada Gw disiksa dia. Selama ini, Gw kerja dan belajar berjam-jam, tapi Gw enggak pernah selelah dua hari kemarin. Bayangin aja, semua kerjaan Gw dikritik. Frustasi Gw gara-gara dia. Kalau bukan karena beasiswa, Gw langsung keluar dihari pertama Gw daftar jadi anggota.”

“Ran, nanti ada rapat untuk pembentukan panitia ulang tahun klub kita, jam empat, jangan lupa datang,” kata Dito yang baru datang.

Aku mengangguk kecil. Dito lalu duduk di hadapanku.

“Gw cari-cari ternyata Lo disini Dit,” kata Reno yang ikut duduk di sebelah Dito.

Reva langsung senyum-senyum.

“Kayaknya enak nih, Gw boleh minta enggak?” tanya Dito yang melihat kue di atas meja.

“Makan aja, enak loh. Ini Rana yang buat,” kata Reva.

Dito langsung memakan kue itu.

“Iya enak. Enggak nyangka Gw, Lo bisa bikin kue Ra. Gw habisin aja ya, lapar banget Gw. Lo enggak mau kan, Ren?”

Tanpa menunggu jawaban dari Reno, Dito langsung menghabiskan kue itu.

“Oya, Minggu depan ada pelantikan anggota baru, di Anyer. Semua anggota baru wajib datang,” kata Reno kepadaku.

“Untung waktunya enggak bentrok sama pelantikan di klub Gw ya. Kalau enggak, pasti Lo bingung Ran,” kata Dito.

“Emang kapan?” tanya Reva.

“Minggu depannya lagi,” kata Dito.

Bakalan sering bolos kerja nih, pikirku.

“Pelantikannya dimana Dit?”

“Di puncak Rev.”

Hari Sabtu telah tiba. Anggota klub sudah berkumpul. Acaranya akan diadakan selama dua hari, jadi panitia acara menyewa sebuah vila. Anggota senior mengabsen. Setelah semuanya siap, bis mulai berjalan. Suara tawa dan nyanyian terdengar.

Aku menahan diri untuk tidak tertidur. Reno sibuk mengambil foto. Anto, senior berkacamata memainkan gitar. Ada juga yang membagikan cemilan.

Tanpa terasa akhirnya kami tiba. Kami meletakkan barang-barang kami di vila, lalu langsung menuju pantai. Game dan kegiatan lainnya dimulai. Aku menyiapkan kameraku. Aku memotret perahu dan batu karang yang ada disekitarnya.

Kegiatan terus berlanjut hingga larut malam.

Pagi-pagi sekali kami dibangunkan. Aku yang sudah terbiasa sedikit tidur dan bangun sepagi mungkin bisa langsung menyesuaikan keadaan.

Waktu demi waktu berlalu, acara bebas diadakan. Aku duduk di tepi pantai. Riak kecil air laut membasahi kakiku. Aku teringat ibuku.

Lagi, dan lagi.

Aku tertidur di dalam bis. Rasa kantuk ini sulit untuk dihindari. Aku duduk dalam angkot, sedangkan Reno duduk di sampingku. Kami sama sekali tidak mengobrol. Aku turun di depan gang kosan. Menyeret kakiku dengan agak berat.

Satu minggu lagi telah berlalu, sekarang giliran klub seni yang mengadakan pelantikan. Rasanya aku ingin sekali tidur sehari penuh, tanpa harus memikirkan apa-apa dan melakukan apapun. Acara juga dilakukan selama dua hari. Tulang-tulangku sepertinya mau rontok.

“Ko bengong?” tanya Dito.

“Ngantuk Gw.”

“Sama nih, Gw juga. Bosan Gw.”

Aku tersenyum, dia kan panitianya, kenapa malah dia yang bosan?

Akhirnya kami pulang juga. Aku langsung merebahkan badanku di kasur. Tidak ingin memikirkan hari esok. Tugas-tugas kuliah, ataupun pekerjaan. Tidak ingin memikirkan apapun ...

***

“Rana!” seorang pria memanggilku.

Selama beberapa menit aku mematung melihat kehadirannya yang tidak pernah kubayangkan. Aku tidak mengingat wajahnya, namun entah mengapa aku bisa langsung mengetahui siapa dia. Tak ada perasaan rindu apalagi bahagia saat melihatnya. Yang ada hanyalah perasaan benci dan dendam.

Kenapa aku harus bertemu dengannya disini, sekarang?

Pria itu memakai kemeja biru laut, sepatunya bersih mengkilap. Dia memakai jam tangan merk terkenal.

Minyak wangi beraroma lembut tercium, bahkan orang yang berada dijarak jauh tetap bisa mencium aromanya. Dia memakai kacamata. Rambutnya sedikit beruban. Aku melihat mobil mewah terparkir di depan pagar kosan.

“Lama tidak bertemu, bagaimana keadaan Kamu?” tanyanya dengan tersenyum.

“Mau apa Anda kesini, dan dari mana Anda tau kalau Saya tinggal disini?” tanyaku membentak.

Ada perasaan terkejut dalam dirinya. Perkataanku tentu saja bukan sesuatu yang dia harapkan.

“Kenapa bicara begitu? Tentu saja banyak yang harus Kita bicarakan. Tentang ibu Kamu dan Kamu.”

“Kalau maksud Anda kesini untuk meminta maaf dan berharap Saya akan memanggil Anda Ayah, itu tidak akan pernah terjadi!”

“Apa maksud Kamu?”

“Bagi Saya, Ayah saya sudah mati sejak dia meninggalkan ibu dan Saya empat belas tahun yang lalu. Apa menurut Anda, Saya akan memaafkan begitu saja?”

“Tapi bukan itu yang terjadi.”

“Apa Anda kesini hanya untuk membela diri?”

“Tidak. Ayah memang salah. Seharusnya Ayah tidak pergi begitu saja. Ayah datang kesini untuk mengajak Kamu tinggal bersama Kami,” katanya.

“Tinggal bersama? Selama empat belas tahun Anda pergi lalu tiba-tiba datang untuk mengajak tinggal bersama kalian? Anda, istri Anda dan anak-anak Anda yang lain? Jangan mimpi!”

“Tidak apa-apa kalau sekarang Kamu tidak mau. Tapi Ayah akan terus datang kesini, ke kampus bahkan ke tempat kerja Kamu setiap harinya sampai Kamu berubah pikiran. Ada banyak hal yang harus Ayah sampaikan,” katanya.

Setelah berpamitan dia pun pergi. Ini pagi yang buruk untukku. Kulangkahkan kakiku ke kamar, mengunci pintu. Tidak lagi berniat untuk kuliah hari ini.

Perasaan sakit hati selama hampir empat belas tahun ini menguasai hatiku. Tangisan ibu di depan pintu rumah saat melihat kepergiannya seperti siaran ulang yang diputar sangat lambat.

SMS dan WA dari Reva tidak kubalas, telpnya pun tidak kuangkat. Selama tiga hari ini aku tidak kuliah ataupun kerja, dan selama tiga hari ini dia selalu datang ke kosanku. Entah itu pagi ataupun sore, dan sepertinya dia tau kalau aku memang selalu di kosan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status