Share

3 PRIA MENYEBALKAN

3 PRIA MENYEBALKAN

Hari-hariku yang semakin berlalu, semakin membuatku mengerti akan banyak hal. Ada banyak orang di dunia ini, tapi siapa yang akan menjadi bagian dalam hidupku? Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat, dengan apa yang kudengar dan dengan apa yang kurasakan.

Aku masih sering tidak yakin dengan apa yang telah terjadi, memang terjadi padaku. Aku berharap, ada yang menemaniku saat ini, dan semakin berlalunya waktu, kini kusadari rasa kesepian itu tak akan pernah hilang dariku, dan kini semakin menyakitkan hati.

Menunggu itu tidak menyenangkan dan sangat melelahkan, juga menyakitkan. Aku seperti patah hati berulang-ulang tanpa tahu siapa yang kusukai. Aku mencari kebahagiaan semu, hanya dengan membayangkan. Aku menangisi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Aku gagal memerankan karakterku. Aku mengharapkan peran lain, yang kupikir dan kurasa lebih sempurna.

***

“Ra, Lo tahu gak senior yang namanya Reno?” tanya Reva.

“Enggak.”

“Payah Lo, masa enggak tahu sih. Dia kan terkenal. Udah orangnya ganteng, kaya ....”

“Punya otak ga?”

“Maksud Lo?”

“Pinter gak?”

“Emang kenapa?”

“Kalau pinter, baru Gw kagum. Kalau Cuma ngandelin muka sama kantong doang, ya enggak usah diomongin.”

Reva memandangku sambil senyum-senyum.

“Oya, masih ada Dito, Steven, Arya, Aryo, Ronald yang kaya bule,” katanya sambil menghitung dengan jari.

“Lo kan tau Rev, Gw enggak ada waktu buat mikirin cowok.”

“Ya Lo enggak usah mikirin, biar Gw yang nyariin.”

“Dasar!” kataku.

Dia tertawa. Reva itu gadis yang cantik dan periang. Berbanding terbalik dengan aku. Entah kenapa dengannya aku bisa lebih terbuka.

Dia berbeda dengan teman-temanku yang lain, yang suka memandang status sosial. Bahkan di antara sesama penghuni rumah yatim yang pernah kutinggali, ketidak harmonisan sering terjadi. Tidak memiliki ikatan batin sebagai sesama anak yatim-piatu (setidaknya itu yang kurasakan).

Hari-hariku berlalu dengan sangat cepat dan melelahkan. Kuliah, kerja dan mengerjakan tugas.

“Lo tinggal sama Gw aja di apartemen. Lebih dekat dengan kampus,” kata Reva menyarankan.

Namun aku tetap menolaknya.

“Kalau Lo mau bantu Gw, Lo cukup duduk manis disitu,” kataku sambil membaca catatan di bawah pohon rindang taman belakang. Tempat itu menjadi tempat favorit aku dan Reva.

Aku berkonsentrasi penuh pada catatan yang ditulis dengan terburu-buru. Catatan itu hanya poin-poin penting saja, karena aku merekam semua perkataan para dosen untuk kudengarkan di sepanjang perjalanan jika aku harus bekerja. Pekerjaanku bukanlah pekerjaan yang memeras otak. Pagi-pagi sekali, sebelum kuliah aku mengantar kue-kue buatan ibu kos ke warung-warung, itu kulakukan setiap hari.

Siang hari setiap Senin sampai Sabtu, jika ada jam kosong, aku membersihkan salon. Pemiliknya berbaik hati mengizinkan aku datang di saat ada jam kuliah yang kosong.

Lalu setelah selesai kuliah, aku bekerja di kafe sebagai tukang cuci piring hingga jam sepuluh. Belum lagi aku harus mengerjakan tugas kuliah. Tidak ada waktu bagiku untuk beristirahat apalagi bersenang-senang.

***

Sebentar lagi akan ada ujian tengah semester dan aku harus memastikan nilai-nilaiku tetap memuaskan agar aku tidak kehilangan beasiswa yang aku peroleh.

Aku duduk dalam bis yang melaju dengan pelan. Angin malam menyapu wajahku yang mulai merasa kedinginan. Bis ini akhirnya tiba di pemberhentian terakhir.

Seorang laki-laki bertopi biru turun di belakangku, dan dia juga menaiki angkot yang sama denganku. Angkot yang tidak begitu ramai ini melaju dengan kecepatan tinggi, mungkin ingin segera pulang ke rumahnya, berkumpul dengan anak istri.

Aku tidak tahu sampai kapan harus menjalankan semua ini. Rumah yang selama ini kuimpikan, aku pun tidak tahu apa aku benar-benar mengharapkannya.

Tidak akan ada yang mengatakan padaku hati-hati di jalan saat aku akan pergi. Juga tidak akan ada yang menyambut kepulanganku.

Hampa sekali rasanya.

***

Hari ini pekerjaanku di kafe sangat banyak. Ada satu pegawai yang baru bekerja malam ini. Sepertinya aku pernah melihatnya. Kami tidak saling memperkenalkan diri ataupun bertegur sapa. Dia ditugaskan untuk membawa piring-piring kotor dan membersihkan meja, sedangkan aku mencuci piring.

Saat aku akan meletakkan piring yang sudah dicuci ke atas meja, dia menyenggol tanganku dan PRANGGG ... pecahlah semua piring yang kubawa itu, membuat semua orang melihatku.

“Rana, Kamu kalau kerja hati-hati dong!” kata wakil manager.

“Maaf Saya enggak sengaja, lagian dia nyenggol saya,” kataku sambil melihat kearah anak baru itu.

“Gw kan juga enggak sengaja. Lagian Lo udah tau jalanan sempit bukannya minggir dikit.”

Yeee... nih orang dah tau salah malah nyari-nyari alasan.

“Lo matanya dibuka lebar-lebar, jangan langkahnya yang dilebarin!” kataku.

“Udah jangan malah berantem. Kalian berdua bersihkan itu, kalau sudah selesai lanjutkan pekerjaan yang lain! Besok sore temui saya,” kata asisten manager.

Aku memasukkan pecahan-pecahan piring itu kedalam plastik dan membuangnya ke tempat sampah. Sedangkan dia menyimpan sapu dan sekop ke tempatnya.

Setelah pengunjung terakhir pulang, kami membersihkan kafe. Karena khawatir akan ada yang pecah lagi, kami ditugaskan untuk mengelap meja, nyapu, ngepel dan membuang sampah.

“Kita bagi tugas aja biar cepat selesai. Lo ngelap meja dan buang sampah, Gw yang nyapu dan ngepel,” katanya.

“Lo aja yang ngelap dan buang sampah.”

“Lo dikasih tau susah amat sih.”

“Lagi kenapa Lo yang ngatur-ngatur.”

“Stoopppp!” kata wakil manager.

Dia menggeleng-gelengkan kepala.

“Kalian berdua ini kenapa sih. Saya enggak mau lagi mendengar kalian bertengkar atau kalian langsung saya pecat. Kalian harus kerjakan semuanya bersama, atau kalian tetap saya pecat.”

Aku naik bus, untunglah busnya tidak banyak penumpang, jadi aku bisa duduk. Si orang nyebelin itu pun ikut naik. Aku memalingkan wajahku darinya.

***

Ujian telah selesai. Dosen pembimbing memberitahuku bahwa aku harus mengikuti minimal dua organisasi mahasiswa kalau aku mau mendapatkan beasiswa tambahan.

Ada banyak pilihan sebenarnya, tapi aku tidak yakin harus memilih yang mana.

“Majalah kampus aja, kan Lo bisa bareng sama Gw,” saran Reva.

Aku menggeleng.

“Radio kampus,” sarannya lagi.

Aku menggeleng lagi.

“Jangan yang membutuhkan banyak komunikasi. Lo kan tau Gw gak suka banyak ngomong,” kataku.

“Basket, badminton, voli, karate, silat, taekwondo,” sarannya lagi.

“Jangan olahraga, Lo kan juga tau gw masih harus kerja.”

Dia mengangguk-angguk setuju.

“Ya udah gini aja, Lo ikut fotografi. Enggak banyak ngomong, juga enggak ngeluarin banyak tenaga. Tinggal jepret-jepret,” katanya asal sambil bergaya mengambil gambar.

“Tapi kan harus punya kamera sendiri. Lagian kameranya juga mahal banget. Gaji semua kerjaan Gw selama tiga bulan ini digabungkan juga enggak bakalan cukup,” kataku.

“Lah terus Lo maunya apa? Yang ini begini lah, yang itu begitu lah. Lagian kalau masih baru enggak harus punya kamera yang bagus banget kok,” katanya menghela nafas.

“Gw pikir-pikir dulu deh.”

***

Akhirnya aku memutuskan untuk masuk klub fotografi dan seni rupa, itu karena jadwalnya yang cocok dengan keadaanku, dan karena aku juga suka melukis. Walaupun lukisan yang sering aku buat hanyalah kapal dengan berbagai ukuran dan model. Aku juga meminjam kamera Reva yang tidak terpakai.

“Waktu itu Gw beli biar bisa PDKT sama senior Gw di SMU. Eh dia malah jadian sama teman Gw, BT deh Gw. Lagian Gw sukanya difoto, bukan sebaliknya. Dah Lo pake aja daripada nganggur tuh kamera. Kalau emang Lo teman Gw, Lo hargai dong pemberian Gw,” katanya manyun.

Yang enggak disangka-sangka dan paling menyebalkan, si super nyebelin itu ternyata mahasiswa di kampus ini juga. Dia seniorku dua tahun lebih tua, dan dia ketua klub fotografi. Namanya Reno.

Sepertinya aku familiar dengan namanya! Bakalan ditindas habis-habisan nih. Di klub seni rupa ada senior yang bernama Dito. Dito orang yang baik dan enggak sok senior sama mahasiswa-mahasiswa baru. Kata Reva, dia salah satu cowok popular di kampus (kalau soal cowok popular, Reva itu informan yang paling bisa dipercaya walaupun dia mahasiswi baru).

“Ini lukisan Lo yang buat Ra?” tanya Dito sambil terus melihat lukisanku.

“Iya.”

“Lo mau jadi pelukis?”

“Enggak.”

“Hmmm, kenapa enggak mau? Lo kan berbakat, lukisan yang Lo buat juga bagus-bagus.”

“Gw ngelukis buat hobi aja. Lo sendiri?”

“Hmmm... Gw sih pengennya suatu saat nanti bisa punya galeri lukis sendiri. Sama pengen buka sekolah lukis.”

Aku mengangguk-angguk pelan. Aku merapihkan peralatan lukisku dan membersihkan ruangan. Beberapa anggota lainnya datang.

“Lo lihat kamus Gw enggak?” tanya Tika, teman seangkatanku yang berbeda jurusan.

“Oh, itu ada dalam laci,” kata Dito.

Hari ini terasa melelahkan, lelah hati dan pikiran. Aku ingin membeli waktu agar bisa istirahat lebih lama, tapi jelas itu tidak mungkin. Aku juga enggak bisa memotong jarak agar lebih dekat. Kalau aku pindah kosan, belum tentu menemukan ibu kos yang lebih baik. Hanya otak dan tenaga saja yang bisa kuandalkan.

“Lo kredit motor aja, kan bisa ngirit waktu dan ongkos,” kata Reva. Dia seperti prihatin melihat keadaanku.

“Kalau naik motor, Gw gak bisa istirahat, apalagi kalau macet. Kalau di angkot atau bis kan, Gw bisa duduk nyantai.”

“Makanya buruan Lo nyari cowok!”

“Apa hubungannya?”

“Biar ada yang antar jemput Lo, lah. Coba deh Lo lihat di kampus ini ada ratusan cowok. Dari yang seumuran sampai yang senior. Dari yang naik motor sampai naik mobil. Lo tau Adit kan, dia sering nanyain Lo tuh sama gw.”

“Kan Gw udah bilang, Gw gada waktu buat pacaran. Gw lebih butuh uang dari pada cowok.”

“Ya Lo cari cowok yang kaya. Lo dapat orangnya, Lo dapat uangnya.”

“Buset dah Lo.”

Reva hanya ngakak.

“Nih ada Reno, Dito, Adit, Steven ... aduhh pokoknya di kampus ini banyak banget deh. Tapi menurut Gw ya, yang paling menonjol itu ya Reno dan Dito. Mereka tuh juga sahabatan.”

“Reno itu yang ketua fotografi bukan? Terus Dito yang ketua klub seni rupa kan?” tanyaku.

Reva mengangguk-angguk.

“Ihhh ... Lo tau enggak Rev, si Reno itu satu kerjaan sama Gw di kafe. Masa hari pertama dia kerja, dia udah bikin Gw mecahin selusin lebih piring. Ngeselin banget. Udah enggak mau minta maaf, malah dia yang marah-marah. Gw juga baru tau ternyata dia kuliah disini pas udah daftar di klub fotografi,” kataku.

“Hahhhh ... Reno magang di tempat kerja Lo? Ngapain, dia kan kaya? Udah gitu yang Gw dengar katanya dia itu udah jadi asisten dosen.”

“Ya mana Gw tau.”

“Lagian, emang sebelumnya Lo enggak pernah lihat Reno di kampus ini? Kok bisa sih?”

“Hmmm ... kayaknya enggak deh. Tapi mungkin pernah kali, cuma Gw yang enggak pernah merhatiin. Ini gara-gara tragedi piring pecah, Gw jadi terus-terusan perang dingin sama dia.”

“Tapi salut juga dia mau kerja disitu. Ya berarti Reno itu enggak sombong, enggak sok kaya. Pantaslah jadi idaman. Eh, apa Gw kerja juga ya di tempat Lo. Terus disana Reno kerjanya ngapain? Ya ampun ... enggak nyangka Gw.”

Mendengar Reva berbicara seperti itu kaya lagi ngedengrin dongeng.

“Rana, Lo tuh cantik, manis. Cuma Lo enggak nyadar aja. Coba deh Lo dandan, agak feminim dikit,” kata Reva.

“Enggak ah, ribet. Lagian ngapain dandan, Gw kan cuma kuliah dan kerja sambilan. Itu juga kerjaan Gw cuma nyuci piring dan bersih-bersih,” kataku.

“Kenapa Lo enggak nyari kerjaan yang lain sih?”

“Gw juga maunya gitu. Tapi kan Lo tau sendiri Gw masih kuliah, belum bisa nyari kerjaan tetap. Jadi kerjaan yang kaya gitu yang cocok untuk waktu Gw saat ini. Lulus juga masih lama banget Rev.”

“Ya udah, entar kalau ada kerjaan yang lebih baik, Gw kasih tau Lo deh. Lo mau jadi model majalah enggak? Tenang aja, bukan model yang aneh-aneh kok.”

“Gw pikir-pikir dulu deh. Enggak PD Gw,” kataku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status