Share

2 SUNYI

2 SUNYI

Aku sering bertanya apakah hal-hal yang telah aku lakukan itu suatu kebodohan atau apakah memang takdir?

Sebenarnya takdir itu seperti apa? Aku merindukan banyak hal. Namun hal yang kurindukan itu tidak pernah terjadi di masa laluku. Aku hanya mengkhayalkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

Hal itu bukanlah bagian dari masa laluku, masa kini, bahkan masa depanku. Aku mengharapkan sesuatu yang lebih sempurna dari kehidupanku saat ini. Bagaimana aku dapat menghentikan semua ini?

Aku bukanlah orang yang romantis, namun terkadang aku mengharapkan hal-hal yang romantis, sekedar memberikan warna lain dalam hidupku. Bukan berarti aku benar-benar menginginkannya. Memang dulu aku pernah mendapatkan coklat dari seseorang, puisi dari seseorang yang tidak menuliskan namanya, antar jemput dari orang yang lain lagi, surat cinta (yang menakutkan), kalung, ada juga yang membawakanku makanan.

Meskipun aku tidak pernah tahu siapa yang memberikan semua itu. Namun entah mengapa aku tidak pernah peduli akan semua itu.

Mengingat itu membuatku tersenyum. Kemanakah mereka kini?

Sejujurnya saat itu aku mendapatkan semua itu dari orang yang tidak kuharapkan. Lalu bagaimana mungkin saat itu aku merasa senang? Bahkan seseorang pernah menyanyikan sebuah lagu untukku yang membuatku merasa sangat malu.

Rasa sakit itu hanya akan dirasakan oleh orang yang terluka, bukan yang melihat atau pun mendengar.

Seberapa sering pun mereka melihat aku menangis, mendengar atau mengungkapkan isi hati, mereka tidak akan pernah bisa memahaminya. Aku tahu bagaimana kesunyian itu dapat menyakitkan hati.

Yang menyakitkan itu bukan sunyinya, tapi penyebabnya. Bagaimana waktu yang seharusnya diberikan untukku namun dirampas oleh orang lain.

Ada perasaan dendam dan terzolimi. Aku mencari berbagai cara untuk menghibur diri sendiri. Namun rasa sakit hati itu tidak pernah berhenti.

Kekecewaan yang kurasakan seperti lubang yang membesar. Ketidak pekaan yang mereka miliki pun tak berubah. Aku seperti berada di antara robot bernyawa tak memiliki hati. Pada suatu titik aku merasa ingin menyerah saja.

Aku lelah, benar-benar lelah. Tapi, aku juga penasaran. Penasaran akan akhir kisah hidupku. Seperti sebuah film yang tidak diketahui akhir ceritanya akan seperti apa.

Kenapa aku harus penasaran akan hidupku sendiri? Aku merasa bodoh, dan selalu membodohi diri sendiri. Seharusnya sudah sejak lama aku tutup buku. Tidak ada siapapun yang kutunggu, juga tidak ada seseorang yang menungguku. Jika suatu saat nanti aku memperoleh impianku, aku akan merayakannya seorang diri.

Setiap aku bangun dari tidurku, aku selalu saja merasa takut. Takut akan hari yang harus kujalani detik demi detiknya. Cemas akan kejadian-kejadian tidak terduga yang sering tidak menyenangkan.

Kenapa aku selalu seperti ini? Aku selalu bertanya kenapa? Kenapa? Kenapa?

Hari-hari selalu terasa lebih panjang bagiku. Tapi aku tetap menjalaninya.

Surat yang ditinggalkan oleh ibu sebelum dia meninggal tergenggam erat di tanganku.

“Saat usiamu sudah tujuh belas tahun, bacalah surat ini”, katanya saat itu.

Ibu meninggal saat usiaku lima tahun, menjadikanku anak yatim-piatu. Sama sepertinya yang besar sebagai yatim-piatu. Sudah enam bulan berlalu sejak usiaku tujuh belas tahun. Namun surat itu masih tertutup rapat. Tidak ada niat untuk mengetahui isinya.

“Ini tentang ayahmu,” ucap ibu dengan penuh air mata.

Saat umurku empat tahun ayah pergi. Aku tidak bisa ingat wajahnya dengan jelas, dan aku memang tidak ingin mengingatnya.

Untuk apa aku mengingat seseorang yang menorehkan luka yang teramat dalam padaku dan ibuku. Aku membencinya, sangat membencinya.

Namun entah mengapa aku tidak dapat melupakan kejadian itu, padahal saat itu aku masih terlalu kecil dan itu sudah sangat lama sekali terjadi. Apakah ini trauma?

Dua hari lagi aku akan menjadi mahasiswi. Aku belajar dan bekerja semaksimal mungkin agar aku dapat bertahan hidup. Namun untuk siapa aku bertahan? Aku tidak memiliki orang tua, kakak ataupun adik. Aku benar-benar sebatang kara.

Aku membuat kapal-kapalan dari kertas, membayangkan suatu saat nanti aku dapat berlayar di tengah luasnya samudera. Membayangkan, hanya dengan membayangkannya saja aku sudah merasa senang. Saat aku masih SD, setiap kali ada pelajaran menggambar, aku pasti menggambar kapal.

Entah mengapa aku sangat menyukainya. Melihat kapal yang semakin lama semakin menjauh, hingga menjadi seperti titik di kejauhan dan akhirnya menghilang, atau sebaliknya, dari sebuah titik yang hampir tak nampak, akhirnya menjadi bentuk kapal yang sempurna, membuatku merasa seolah telah kehilangan seseorang.

Lukisan kapal dengan berbagai ukuran dan model memenuhi meja dan lantai kamarku. Aku tidak tahu akan di kemanakan atau diapakan semua lukisan ini. Aku hanya melukisnya, tanpa mengetahui tujuannya.

☆☆☆

Hari ini hari pertama masa orientasi mahasiswa. Bukan hal yang menyenangkan mengikuti kegiatan ini. Aku harus membagi waktuku dengan baik antara belajar dan bekerja. Memang, aku selalu mendapatkan beasiswa. Tapi bukan hanya itu masalahnya. Aku tetap harus mengumpulkan uang agar aku bisa membeli sebuah rumah. Bagi anak yatim-piatu seperti aku, rumah seperti surga yang sangat dirindukan.

“Hai!” kata seseorang menepuk pundakku.

“Fakultas ekonomi kan?” tanyanya sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk. Kami diarahkan ke lapangan yang lebih besar oleh seorang senior berkacamata. Gadis yang tadi menyapaku bernama Reva.

Saat istirahat, aku dan Reva duduk di bawah pohon rindang yang menyejukkan.

“Ayo Ra, sebentar lagi mau mulai,” ucap Reva.

Saat aku berbalik, botol air mineral yang belum ditutup rapat membasahi baju seorang senior.

“Maaf!” kataku tanpa melihat kearahnya.

“Hati-hati lho, nanti bisa dikerjain sama senior itu,” kata Reva.

“Kan cuma air mineral, jadi nggak bikin kotor. Lagian bentar lagi juga kering, emangnya numpahin air seember apa?” kataku cuek.

“Sssttt...dia dengar tuh,” kata Reva.

***

Hari terakhir masa bimbingan mahasiswa terasa lebih menyenangkan. Besok kuliah pertama akan dimulai. Akan jauh lebih baik bagiku kalau sudah mendapatkan jadwal kuliahnya.

Aku bisa mulai kerja sambilan. Aku sudah berhenti dari pekerjaanku yang sebelumnya, karena jam kerjanya tidak sesuai dengan anak yang sedang berkuliah seperti aku.

Aku memejamkan mataku, mencari jalan keluar atas keruwetan pikiran dan hatiku.

Aku tidak dapat merasakan rintikan hujan meskipun ia membasahi wajahku. Aku seperti mati rasa. Aku tidak dapat mendengar suara orang-orang yang berbicara, tertawa atau berteriak satu sama lain.

Mereka berlalu lalang di hadapanku, namun aku seperti orang buta. Aku tidak peduli dengan semua itu, dan untuk apa aku peduli? Lagi-lagi ada rasa kesal dan hampa. Aku melangkah seperti layang-layang yang diterbangkan angin.

Aku tidak merindukan kasur empuk di kamarku meskipun saat ini aku sangat lelah. Yang kuinginkan hanya terus melangkah tanpa ada yang menggangguku.

Hujan yang tadinya hanya rintikan kecil ini perlahan digantikan cahaya matahari sore. Hujan tak akan terus merajai langit, akan ada waktunya langit bersinar. Seperti juga matahari dengan bulan, malam dengan siang.

Keremangan malam membuatku mengerti bahwa kesendirian adalah sahabat terbaik bagiku. Kubuka jendela kamarku, angin sepoi-sepoi memberi kesejukan di kamar ini. Aku mengetuk-ngetuk jariku di lantai.

Aku memandang langit, tidak ada bulan. Meskipun ada malam dimana ia tidak dapat hadir, namun tetap saja malam adalah miliknya, posisinya tidak dapat digantikan oleh matahari.

Aku sering mengulang-ulang pikiran yang sama, hingga aku sendiri merasa bosan pada diriku sendiri. Aku sering merasa kesepian, tapi tidak ada teman yang dapat kuajak bicara. Dalam hati aku selalu saja berkata bahwa semua ini tidak adil. Apa takdir ini diharuskan untukku? Aku tidak pintar dalam mengekspresikan diri seperti orang-orang yang langsung menunjukkan rasa suka terhadap seseorang, jika merasa kesal dapat mengeluarkan kemarahan. Aku tidak seperti itu, dan aku rasa aku tidak dapat seperti itu.

Aku merasa, aku telah kehilangan saat-saat dimana seharusnya aku bisa merasa senang. Kemanakah saat-saat itu? Mengapa aku bisa kehilangan saat-saat itu? Aku tidak pernah mempercayai siapapun di dunia ini sepenuhnya. Aku ragu akan kejujuran mereka. Aku ragu akan kesetiaan mereka. Aku ragu akan pengertian mereka. Entah mengapa aku merasa, mereka tidak mengerti kesedihanku.

Aku butuh orang yang dapat dipercaya sampai kapanpun. Aku butuh kesetiaan mereka, butuh kejujuran mereka. Apakah ada? Jika ada yang bertanya mengapa aku bisa seperti ini, tanyakanlah dulu apa dan siapa penyebabnya. Mungkin selamanya tidak akan ada. Benarkah ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status