1 PERJALANAN
Bis yang kutumpangi ini terus berjalan dan tahu ke mana arah tujuannya. Aku berada di dalam bis ini, tetapi tidak tahu ke mana tujuan bis ini, tidak tahu di mana pemberhentian terakhir bis ini. Yang kutahu hanyalah aku ingin pergi jauh. Aku benci pada diriku sendiri. Aku terus berjalan, tetapi tidak ada satu tempat pun yang menerimaku dengan layak. Aku merasa seolah dunia memusuhiku.Di jalan yang kupikir rata, mulus tanpa lubang maupun batu, ternyata aku masih tersandung. Tidak ada yang dapat dijadikan pegangan, dan sekali lagi aku terjatuh!
Mata yang terus melihat ke arah jendela yang berdebu tebal ini seolah menunjukkan bahwa pikiranku sedang melayang jauh. Satu persatu penumpang turun dari bis, dan aku pun ikut turun. Ternyata terminal Kampung Melayu. Aku membeli minuman dingin dan gorengan (yang kuyakin sangat berdebu karena tidak ditutup), sekedar untuk mencari alasan agar bisa tetap berada di sini lebih lama. Rambutku yang sudah berantakan semakin berantakan karena tertiup angin.Aku menutupi mataku karena debu yang ikut beterbangan oleh angin yang berhembus. Entah seberapa tebal debu itu membedaki wajahku. Aku merasa wajahku lebih berat dari yang sebelumnya.
Aku menimbang-nimbang apakah sebaiknya kembali ke kosan atau kembali melanjutkan petualangan tanpa tujuan. Sudahlah, lebih baik aku kembali saja ke kosan, tidak enak juga rasanya memborong perjalanan sekaligus. Lagi pula mukaku sudah semakin gatal, begitu juga dengan kepalaku. Seolah ada ratusan kutu yang menggerogotinya. Toh, kembali ke kosan tetap harus naik kendaraan juga, kan.***Berbaring di kasur kecil sambil menatap langit-langit kamar kosan menjadi rutinitas sebelum tidur. Cat putih yang semakin kusam dan lampu yang mulai redup seperti melukiskan perasaanku saat ini. Seolah kami saling menatap dan mengasihani satu sama lain.Aku mengangkat kakiku ke tembok , sedikit menghilangkan pegal. Semua benda yang ada di kamar ini menjadi saksi rutinitasku (yang kadang sangat membosankan). Jam berapa aku tidur, jam berapa aku bangun. Apa yang aku lakukan jika aku tidak bisa tidur (bolak-balik kanan kiri, atau bolak-balik mematikan dan menyalakan lampu), bahkan meletakkan buku di sampingku. Seolah buku itu dapat membacakan sendiri dongeng untukku.
Aku sedang bermimpi, aku sadar bahwa saat ini aku sedang tidur dan bermimpi. Mimpi yang menyedihkan, namun membuatku sangat rindu. Aku sadar, saat aku terbangun nanti mimpi ini pun akan segera berakhir. Aku ingin tetap menutup mataku, agar mimpi ini terus berlanjut. Namun aku pun sadar, pada akhirnya tetap aku yang terluka.Perasaan rindu ini seperti perasaan orang yang sedang patah hati. Aku ingin duduk di ruang-ruang kosong kelas, atau duduk di atas balkon depan kamar memandang langit atau apapun, yang penting aku sendiri. Berjalan di lorong-lorong yang kadang sepi. Aku pun merindukan saat-saat itu. Entah kenapa saat ini aku ingin menangis. Bukan hanya pikiranku, namun juga hatiku melayang pada satu hal. Dapatkah aku menghilangkan semua ini untuk selamanya?***Melakukan pekerjaan di depan komputer terus-terusan sangat membosankan. Namun inilah yang harus aku lakukan. Entah kenapa aku dapat terjebak dalam situasi seperti ini.Aku memalingkan wajahku ke luar jendela. Nampak kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang. Apakah mereka senang dengan pekerjaan yang mereka lakukan, apa mereka sering merasa jenuh? Aku dapat berjam-jam melakukan hal yang kusukai, namun melakukan pekerjaan ini beberapa menit saja sudah membuatku sangat lelah. Lagi-lagi aku berpikir, kenapa aku harus terjebak dalam situasi seperti ini?
Lalu lintas di luar sana sangat macet, suara klakson mobil-mobil yang tidak sabar menunggu giliran untuk maju semakin membuat suasana terlihat ruwet. Namun adakalanya bagiku begitu menikmati kemacetan di dalam bis. Juga menikmati kesendirian di tengah keramaian tanpa harus berbicara dan mendengar siapapun. Saat itu aku bebas (dan di saat itu pun aku sedih dan kesepian).
Kesendirian membuatku bertekad suatu saat nanti aku akan bangkit meski tanpa dirinya dan mereka. Ada banyak kendaraan menuju tempat yang sama, aku lah yang akan memilih kendaraan itu. Meski aku sendiri pun tak tahu kapan itu akan terjadi.Ada banyak hinaan yang aku dapat, kesulitan dan hal yang tidak menyenangkan lainnya. Namun aku harus memendamnya seorang diri. Seperti angin kencang yang terus bertiup dan membuat daun-daun berguguran.
Tepukan tangan seseorang di pundakku menyadarkanku dari lamunanku.
“Ayo istirahat!” kata Yuli.
Aku pun tahu sebenarnya dia jenuh dengan pekerjaannya ini. Entah siapa diantara kami yang akan lebih dulu berhenti dari pekerjaan ini.
Aku ingin melakukan banyak hal. Melihat orang bekerja di tempat yang mereka impikan, seperti melihat impianku yang tidak tercapai.
Melihat orang dapat bernyanyi, menari atau memainkan alat musik, aku pun ingin. Namun sayangnya aku tidak memiliki kemampuan untuk itu.
Melihat orang yang dengan gampangnya keluar negeri, membuat aku bertanya seberapa banyak uang mereka. Semua itu adalah hal yang memang sejak dulu sangat aku impikan, namun hingga kini tidak bisa aku dapatkan. Lagi-lagi seperti patah hati. Seperti orang yang merasakan kegagalan hidup karena tidak mendapat dukungan dari siapa pun. Nyamuk itu menyukai tempat-tempat yang gelap. Seperti itulah mereka, mereka menyukai keadaanku yang suram.
Aku mendapat pekerjaan ini pun tidak dengan cepat, walaupun ini bukan pekerjaan yang kusukai. Intinya, hidupku ini membosankan.
Sungguh membosankan hingga membuatku ingin menangis. Sangat membosankan hingga membuatku ingin berteriak sekencang-kencangnya. Selalu membosankan, hingga aku ingin berkata namun tidak ada yang memedulikan.
Lalu untuk apa aku berada di sisi mereka. Di mana mereka saat aku sedih, saat aku susah, saat aku butuh, saat aku kesepian. Yang mereka pedulikan hanya diri mereka sendiri. Mereka tidak peduli aku senang atau tidak, yang penting mereka senang. Itulah mereka. Mereka tanpa aku, dan aku tanpa mereka. Lebih baik sendiri saja.
Masalah yang ada pada diriku yang kutahu dengan pasti adalah kepercayaan diri. Entah tertular dari siapa semua ini. Krisis kepercayaan diri itu seperti baju yang dibuat dengan bahan yang kusut. Walau disetrika dengan pelicin pun akan tetap kusut.Aku seperti berkejar-kejaran dengan diriku sendiri. Walau sudah lelah namun belum menemukan garis finish. Aku menantang diriku sendiri, apa aku bisa memperoleh impianku sendiri atau tidak.
Bukankah mengecewakan diri sendiri itu akan lebih menyakitkan. Walau orang meremehkan aku, meski orang menghinaku, tapi aku yakin kalau aku bisa, dan akan aku buktikan bahwa apa yang aku peroleh bukan dari belas kasihan mereka.
Di satu sisi ada kalanya aku menjadi orang yang sangat optimis, namun di sisi lain aku orang yang sangst pesimis. Tentu saja aku tidak memiliki kepribadian ganda atau penyakit bipolar.
Ada hal tertentu yang membaut diriku seperti ini. Dan aku sangat membencinya.
2 SUNYIAku sering bertanya apakah hal-hal yang telah aku lakukan itu suatu kebodohan atau apakah memang takdir?Sebenarnya takdir itu seperti apa? Aku merindukan banyak hal. Namun hal yang kurindukan itu tidak pernah terjadi di masa laluku. Aku hanya mengkhayalkan hal-hal yang sebenarnya tidak pernah terjadi.Hal itu bukanlah bagian dari masa laluku, masa kini, bahkan masa depanku. Aku mengharapkan sesuatu yang lebih sempurna dari kehidupanku saat ini. Bagaimana aku dapat menghentikan semua ini?Aku bukanlah orang yang romantis, namun terkadang aku mengharapkan hal-hal yang romantis, sekedar memberikan warna lain dalam hidupku. Bukan berarti aku benar-benar menginginkannya. Memang dulu aku pernah mendapatkan coklat dari seseorang, puisi dari seseorang yang tidak menuliskan namanya, antar jemput dari orang yang lain lagi, surat cinta (yang menakutkan), kalung, ada juga yang membawakanku makanan.Meskipun aku tidak pernah tahu siapa yang memberikan
3 PRIA MENYEBALKANHari-hariku yang semakin berlalu, semakin membuatku mengerti akan banyak hal. Ada banyak orang di dunia ini, tapi siapa yang akan menjadi bagian dalam hidupku? Aku tidak yakin dengan apa yang kulihat, dengan apa yang kudengar dan dengan apa yang kurasakan.Aku masih sering tidak yakin dengan apa yang telah terjadi, memang terjadi padaku. Aku berharap, ada yang menemaniku saat ini, dan semakin berlalunya waktu, kini kusadari rasa kesepian itu tak akan pernah hilang dariku, dan kini semakin menyakitkan hati.Menunggu itu tidak menyenangkan dan sangat melelahkan, juga menyakitkan. Aku seperti patah hati berulang-ulang tanpa tahu siapa yang kusukai. Aku mencari kebahagiaan semu, hanya dengan membayangkan. Aku menangisi masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan. Aku gagal memerankan karakterku. Aku mengharapkan peran lain, yang kupikir dan kurasa lebih sempurna.***“Ra, Lo tahu gak senior yang namanya Reno?&rdq
4 DIA KEMBALIDi ruangan klub fotografi.“Hari Sabtu dan Minggu nanti, Gw mau Kita ambil foto di Taman Mini,” kata Reno.“Bukannya libur?”“Lo kan anak baru, harus banyak berlatih.”“Kenapa di Taman Mini? Kenapa harus sama Lo?”“Karena kalau di Ragunan, nanti bingung ngebedain yang mana Lo, yang mana bukan, dan karena Gw ketuanya, jadi Gw yang nentuin. Udah enggak usah banyak nanya.”Hari Sabtu.“Kita naik kereta gantung dulu. Dari atas sana Lo bisa ambil gambar.”Kami naik kereta gantung. Dari atas sana aku mengambil foto beberapa wahana permainan dan pemandangan yang ada di bawahnya.“Ini gambarnya buram, coba Lo ambil dari arah lain!”“Mata Lo kali yang buram, gambarnya terang begini juga.”“Gw ini senior Lo, kalau soal fotografi Gw
5 SIMPANAN OM-OMHari keempat aku kuliah.“Sakit apa sih Lo? Lo kecapean ya gara-gara pelantikan?” tanya Reva.Di hari keempat ini aku melihat mobilnya di depan gerbang kampus. Mobil mewah yang terparkir di depan kampus tentu saja menarik perhatian banyak orang, apalagi sang pemilik yang memakai barang-barang mewah terus saja memanggil namaku.Dia pun menepati perkataannya untuk datang ke tempat kerjaku, ke salon.Sudah seminggu. Selama seminggu ini juga dia terus saja menungguku di depan kampus dan salon. Satu-satunya tempat yang tidak pernah dia datangi adalah kafe. Mungkin karena sudah malam. Tanpa harus dia datang pun, sudah ada gosip yang beredar katanya aku pacaran sama om-om.“Kenapa, Lo juga mau Gw kenalin sama om-om?” kataku pada seorang gadis.Reva hanya tertawa. Meskipun tidak tahu cerita yang sebenarnya, tapi Reva percaya kalau aku enggak mungkin pacaran sama om-om.
6 SAKITPagi-pagi sekali setelah adzan subuh aku langsung pergi. Aku nyaris tidak tidur semalaman. Aku memanggul tas ranselku menuju kosan. Setiba di kosan aku meletakkan tasku dan bergegas mengantarkan kue-kue. Ini hari Minggu, jadi akan banyak pekerjaan yang harus kulakukan.Di hari Minggu, biasanya setelah mengantarkan kue, aku membantu ibu kos berbelanja bahan-bahan untuk membuat kue. Belanjanya memang seminggu sekali. Ibu kos berbaik hati menggratiskan uang kosan. Sebagai gantinya aku mengantarkan kue-kue dan berbelanja setiap Minggu.Orangnya baik sekali. Dia juga suka memberi anak-anak kosan makanan secara gratis, dan dia tidak pernah bertanya siapa pria berumur yang tiba-tiba datang menemuiku.Setelah selesai berbelanja aku istirahat sebentar, lalu ke salon. Saat libur aku memang datang lebih cepat, akan ada lebih banyak pengunjung. Jam lima aku ke kafe.Reno melihat kedatanganku dan tidak berkata apa-apa. Kami tetap bekerja dalam diam. Mun
7 BERTENGKAR“Oh ya? Lo bilang bokap Lo enggak mau bikin Gw sengsara? Tapi dia udah bikin ibu Gw sengsara sampai akhir hayatnya. Dia ninggalin Gw saat umur Gw empat tahun. Itu yang Lo bilang enggak mau bikin Gw sengsara? Kemana aja dia selama hampir empat belas tahun ini? Lo tau saat ibu Gw meninggal diusia Gw yang baru lima tahun, enggak ada siapa-siapa disisi Gw. Berkali-kali Gw datang ke rumah Gw yang sudah terbakar habis, berharap dia ada disana. Berkali-kali juga Gw ke kuburan ibu Gw, berpikir mungkin dia datang dan menaburkan bunga di kuburan itu. Lo tau gimana rasanya orang-orang memandang Lo dengan penuh rasa kasihan dan berbisik-bisik dibelakang Lo? 'kasihan ya, masih kecil udah ditinggal sama orang tuanya, mana enggak punya keluarga yang lain.’ Lo tau gimana rasanya terlantar di jalanan, kelaparan dan kehausan, sampe-sampe Lo harus nampung air hujan buat minum? Lo tau gimana rasanya pake baju yang kekecilan, sepatu yang udah bolong, dan tas yang udah robek selama
8 RENTENIR “Ra tunggu, Lo mau kemana?” Reno mengejarku namun aku tidak peduli. Untuk apa aku mempedulikan orang seperti itu. “Mau apalagi sih Lo? Mau ikut-ikutan ngehadiahin Gw tamparan di pipi yang sebelah?” “Ini udah malam, ayo pulang!” “Udah deh berhenti pura-pura. Kalau emang enggak suka, kenapa terus-terusan nyuruh Gw pulang. Di sana tuh bukan tempat Gw. Satu perkataan Gw ke nyokap Lo bikin kalian sakit hati. Terus gimana dengan Gw, dengan ibu Gw. Apa karena dia udah enggak ada, terus enggak ada yang peduli. Apa karena bagi Kalian, Gw ini duri dalam daging?” “Bukan gitu,” kata Reno sambil melonggarkan pegangannya. “Bukan gitu, bukan gitu, bukan gitu gimana? Udah deh Lo jangan ikut campur terus urusan Gw.” Hujan sudah sangat deras, tapi aku tidak berniat untuk pulang. Aku terus berjalan tanpa henti dan Reno masih mengikutiku dari belakang. Kemudian aku duduk di halte. Reno pun ikut duduk
9 ANJING GILA DI RUMAH HANTU“Lo tinggal di mana, Lo gak ada di kosan?” tanya Reno.“Bukan urusan Lo.”“Kenapa sih Lo suka kabur kaya anak kecil?”“Kenapa sih Lo enggak bunuh Gw aja sekalian biar Lo puas. Gw benci banget sama Lo, sama orang tua Lo, sama adik-adik Lo. Gw enggak pernah merasa sebenci ini sama orang.”“Lo pikir Gw senang dengan kehadiran Lo di keluarga Gw?”“Ya udah kalau emang Lo benci, Lo enggak usah bersikap sok peduli sama Gw. Gak usah sok jadi anak penurut deh Lo. Gw benci sama sikap Lo, Gw benci dengar suara Lo, Gw benci lihat muka Lo.”“Udah puas Lo maki-maki Gw?”“Belum! Gw benci semua cewek memuja Lo seolah Lo pangeran dari negeri dongeng. Lo bahkan enggak pernah ngerasain setengah dari penderitaan Gw. Kalau Lo perempuan mungkin kita udah saling jambak dan cakar. Kaya a