Melinda tiba di Rumah sakit. Perempuan ini langsung melabrak Dani. "Ngapain kamu di sini, hah? Apa kamu lupa sama perjanjian kita?" tanya Melinda sambil menatap marah."Aku gak lupa." "Terus?" "Aku cuma gak tega kalau ada yang sakit terus gak ditolongin." Melinda tersenyum sinis sambil mengalihkan tatapan ke arah kiri, lalu ia kembali menatap lelaki itu. "Jangan bohong, Dani. Akui saja kalau kamu sama dia ada main di belakangku." Dani mendesah kesal, tapi ia tidak ingin menjawab pertanyaan itu. "Jawab! Iya, kan?" "Ini Rumah sakit, Melinda. Lebih baik kita jangan berdebat di sini." "Peduli amat," ujarnya sambil melirik ke arah pintu kamar pasien di hadapannya. Dokter Feni keluar dari kamar rawat Alisha. Ia langsung akan mendatangi Dani, tetapi Dani langsung mencegahnya dengan langsung mengajaknya menjauh dari Melinda. "Kenapa mereka menjauh?" Melinda penasaran. Ia perlahan mendekati mereka. "Dia dan bayinya berhasil selamat, tapi kondisinya sangat memerihatinkan," ujar Dokte
Kerena terbawa amarah, Dani terpaksa menarik ibunya kemudian menampar wajah Melinda. Ibunya terkejut melihat kelancangan Dani. "Dani!" bentak Ibunya Dani. Swarini yang tidak terima anaknya ditampar oleh Dani. Akhirnya ia membalas tamparan itu pada Alisha. Plak! "Auh!" jerit Alisha. Ia hampir terjatuh, tetapi Dani dengan sigap menopang tubuhnya."Lisha," sebut Dani."Mama!" Melinda langsung berlari merangkul ibunya. Ia merengek memperlihatkan pipinya yang merah karena perlakuan Dani."Dani, apa kamu gak malu bersikap begitu? Kamu lebih memilih perempuan itu daripada mama. Padahal belum tentu itu anakmu."Dani hanya diam sambil mengusap punggung Alisha. Pintu dibuka dengan paksa oleh dua orang polisi. Rupanya suster tadi langsung melapor pada Dokter Feni, kemudian Dokter Feni langsung menghubungi polisi. "Tahan saja mereka, Pak," kata Dani. Membuat ibu, Swarini dan Melinda terkejut. Wajah Dani kini datar. Ia tak ragu dengan keputusannya untuk menuntut perlakuan mereka."Dani, apa k
Alisha terkejut saat melihat seorang lelaki kini tengah berdiri di depan pintu kamar rawatnya. Ia panik dan segera meminta Madin untuk membantu satpam mengusir lelaki itu."Tua, tolong jauhkan dia dariku!" Ia menunjuk ke arah lelaki yang ternyata adalah Anwar.Madin segera mendatangi lelaki itu. "Dia gak mau ketemu kamu. Tolong pergi dari sini sebelum saya lapor polisi." Lelaki itu berontak ketika Madin akan menyeretnya. "Aku cuma mau ngomong sebentar sama perempuan itu." Setelah berkata pada Madin, ia lalu beralih berbicara pada perempuan itu. "Tolong, dengar dulu Alisha! Dengarkan aku!" Alisha berpaling ke arah kiri, tak Sudi melihatnya lagi. Madin semakin bingung tentang lelaki itu, tetapi ia tak ingin membuang waktu dengan bertanya. Lelaki ini segera menyeretnya dengan sekuat tenaga hingga akhirnya ia dan satpam mampu menyeret lelaki itu yang terus berteriak memanggil nama Alisha."Aku harus ngomong sama dia! Tolong lepaskan aku!" "Pergi dari sini!" usir Satpam, sambil mendoro
Alisha termenung setelah pertemuannya yang secara kebetulan di Rumah sakit bersama Anjas, lelaki yang telah membuatnya berbadan dua. Perempuan ini menghela napas sedalam-dalamnya, pikirannya tertuju langsung ke Dani. Ia harus memastikan hubungan mereka berdua. Madin melirik perempuan itu dari spion mobil. "Siapa tadi?" Alisha terkejut mendengar suara Madin yang tiba-tiba membuyarkan lamunannya. "Anu ... bukan siapa-siapa, Tua.""Mantan?" tanya Madin dan kali ini ia sengaja menatap Alisha yang duduk di bangku belakang sendirian sedangkan ia tengah duduk di bangku sebelah supir."Bukan," jawab Alisha sambil menggelengkan kepala, ia malu karena Madin harus melihat semua itu tadi di Rumah sakit."Habisnya kayak serius banget." Madin kini tengah menatap ke arah jendela."Tua, apa gak ada yang keberatan kalau saya tinggal di rumah, Tua? Saya takut ada yang marah." "Ah, tenang saja kamu Ada biniku dia baik, kok.""Oh, hm. Syukurlah." Perempuan ini tersenyum. Sebenarnya ada rasa tidak nya
Alisha terbangun di tengah malam, ia mendengar suara orang berbisik di dekat jendela kamar. Perempuan ini perlahan mendekati jendela, kemudian menempelkan telinganya di daun jendela. "Kamu yakin dia bakal kirim uang itu malam ini? Sudah dua jam kita nunggu, tapi belum ada kiriman juga?" Terdengar suara seorang lelaki yang tidak asing lagi bagi Alisha. "Apa itu dia?" Alisha terkejut, ia segera mencari celah untuk mengintip, tetapi ia tidak melihat siapa pun kecuali pohon belimbing wuluh di luar sana. Pandangannya tidak leluasa untuk melirik ke sekelilingnya, tapi meski begitu Alisha yang penasaran kini mencari cara agar bisa melihat ke luar.Perempuan ini mengambil kursi yang berada di samping lemari kemudian perlahan agar tidak terdengar oleh mereka, ia meletakkan kursi di dekat jendela. Dengan masih menahan nyeri di perutnya, ia paksakan untuk naik ke kursi. Akhirnya ia berhasil mengintip lewat ventilasi jendela itu. Alisha melihat Anwar dan Anjas tengah berdiri sambil mengetik seb
Alisha berupaya melepaskan dirinya dari Siah, tetapi perempuan itu terlalu kuat darinya. Kini pinggangnya tertekan di pinggiran cincin sumur. Terasa amat sakit ketika perutnya turut tertekuk ke belakang. Kini tubuhnya lebih condong ke arah sumur. "Kamu mau macam-macam sama perempuan mandul, kan? Kamu pikir aku akan pasrah diperlakukan begitu, kan? Kamu salah pilih lawan, Lisha! Hari ini habis kamu!" Alisha berusaha melepaskan cekikan kedua tangan Siah pada lehernya. "Tolong!" teriaknya dengan suara yang serak."Lisha!" Tiba-tiba terdengar suara lelaki di belakang mereka, sekaligus mengejutkan Siah. Suara lelaki itu membuat Alisha senang karena akan ada yang akan menolongnya, tetapi ia malah lengah sehingga terjatuh ke sumur. "Aaaa!" "Alisha!" seru Dani sambil berlari ke arah sumur, sementara Siah yang panik langsung lari dari sana.Alisha membentur dinding sumur, kemudian tenggelam, tetapi untung batas air tidak sampai mencapai dadanya. Ia masih bisa berdiri walaupun hampir pingsa
Yeni meradang saat tahu Alisha dan Dani kini tinggal bersama lagi, tetapi ia tidak tahu bahwa Alisha dan Dani hari ini akan menikah. Perempuan cantik ini tidak diberikan kabar bahagia itu karena takut ia akan kecewa pada sahabatnya itu. "Bapak, dari mana saja? Saya sudah menelepon beberapa kali," ungkap kesal Yeni saat ia berhasil menghubungi Dani. "Kamu masih di kantor, kan? Tolong, semua dokumen penting dikirim lewat kurir saja, ya. Saya masih banyak urusan penting." Yeni menghembus napas jengah. Tak tahan rasanya diabaikan begini. Lain ditanyakan lain pula tanggapan Dani terhadapnya, membuatnya makin emosi saja. "Iya, nanti saya ke sana langsung." "Jangan kamu. Kurir saja." "Bapak, gak mau ketemu saya?" "Saya gak di rumah." "Oh, okeh-okeh." Ia menganggukkan kepalanya beberapa kali sambil menutup rapat bibirnya. Hidungnya membesar karena harus lebih menghirup napas segar untuk menghilangkan kekesalannya. "Saya tutup dulu. Kalau ada yang cari suruh telepon langsung saja." Ye
Alisha terdiam malu ketika Dani membelai rambutnya. Ia pasrah jika Dani memang menginginkan malam pertama dengannya, tetapi Dani justru menghentikan sikap romantis itu ketika mendengar suara dari luar. "Siapa?" tanya Dani. Ia melihat bayangan seseorang dari sela bawah pintu. "Siapa?" bisik Alisha."Biar kulihat," kata Dani yang segera menuju ke luar kamar. Lelaki itu tidak menemukan siapa-siapa di rumahnya. "Ada siapa, Dani?" tanya Alisha yang ingin beranjak keluar kamar juga."Gak tahu siapa itu," kata Dani yang mengejutkan Alisha dengan kedatangannya yang tiba-tiba. "Aku udah memeriksa semuanya, tapi gak ada siapapun. Bahkan semua jendela dan pintu sudah dikunci." "Atau mungkin cuma perasaan kita aja, soalnya Anwar belum ketangkap oleh polisi," kata Alisha. "Hem, mungkin." Dani menggaruk kepalanya. "Oh, ya, aku mau ngambil sesuatu di rambutmu." Dani mengambil benang putih di antara rambut Alisha. Rupanya benang itu tadi yang selalu membuat Dani menaruh perhatian lebih pada Ali