POV LUNA"Masih pagi bengong kamu, Luna!" Tiba-tiba Mama menepuk pundakku sedikit kencang. Membuatku sedikit terperanjat dari tempat dudukku. "Ma, sakit. Ngagetin aja, Mama," kesalku memprotes. Mama menatapku sinis kemudian ia pun duduk di sampingku. "Kalau tivi nggak ditonton, jangan kamu nyalain!" kesal Mama. Aku diam saja malas mendebatnya. "Eh bodoh! Mama itu gemas sama kamu ya, Lun! Jangan goblok jadi perempuan! Kalau udah basah, nyelam aja sekalian! Jangan nanggung-nanggung! Dasar bodoh!" maki Mama. "Inget nih kamu itu sebentar lagi punya anak, Luna! Anak kamu butuh biaya! Mendingan kamu balik lagi ke dukun itu, biar Mama pinjami kamu uang, terus kamu pelet lagi itu si Reyhan!" ujar Mama. "Aku gak mau ke, Ma! Aku mau mendapatkan Reyhan dengan cara murni sekarang! Aku mau Reyhan itu benar-benar mau sama aku bukan karena aku pergi ke dukun itu!" keukeuh aku membantah ucapan Mama. Membuat Mama semakin geram. "Kamu ya! Susah banget dibilangin!" berang Mama sembari menoyor kepal
Pov Luna"Istri?" tanya Mas Reyhan sembari menoleh ke arahku. "Jangan bercanda, Tante. Istri saya Indah," ucapnya. "Saya tahu Luna. Dia itu teman saya," lanjutnya lagi. "Mas," lirihku. Aku tidak tahu harus bicara apa saat ini. Ternyata benar. Mas Reyhan amnesia. Bagaimana ini?"Iya, Mas. Aku memang temanmu. Aku sahabatmu," ucapku kemudian memegang tangan Mas Reyhan. Dia mengingatku. Tapi hanya mengingat seorang teman. Dan mengingat Indah, sebagai istri. "Sabar, Luna. Sabar," batinku. "Suamimu mana? Kamu hamil tua?" tanyanya. Aku diam saja. "Suamiku pergi. Aku kira kamu yang akan jadi suamiku," kataku menggoda. Padahal hatiku terasa pedih. "Sayang," Reyhan memanggil Indah. "I-iya, Mas?" sahut Indah sembari menatap ke arahku."Indah, kamu antar Reyhan ke kamar supaya dia bisa beristirahat, ya?" ujar Tente Lendia. Indah mengangguk dan langsung berdiri menghampiri Mas Reyhan. Mas Reyhan pun langsung berdiri. Keduanya beranjak ke kamar meninggalkan kami. Benci sekali aku melihat pema
Pov Indah"Kenapa, Mba?" tanya Rumi mengagetkanku. Aku yang sedang terpukau memperhatikan Rashi pun menoleh ke arahnya. "Anak ini mirip sekali dengan seseorang. Wajahnya, bola matanya, hidungnya. Mirip sekali. Tapi siapa?" jawabku sambil coba mengingat-ingat. "Siapa, Mba? Secara Rashi kan juga gak tau anak siapa. Dulu ditemukan di depan panti, Mba," ucap Rumi. Entah kenapa aku merasa sedikit tersinggung. "Rashi anak Mba, Rum. Jangan pernah bahas masa lalunya. Jangan pernah katakan padanya jika dia besar nanti bahwa aku ini bukan anak kandungnya!" "Kamu dan Rashi itu bukan orang lain. Kalian keluarga Mbak. Ingat, kamu adikku. Dan Rashi anak mba. Lupakan masa lalu kalian, dan tatap masa sekarang. Ingat, mulai saat kita bertemu, saat itu juga kita adalah keluarga," lanjutku lagi ketika ucapanku sempat terhenti. Mata Rumi berkaca-kaca. Mungkin ia terharu dengan kata yang kuucapkan penuh dari hati. "Ya Allah, Mba. Terima kasih banyak. Aku bersyukur dipertemukan dengan orang baik sepert
"Ada apa, Mas?" tanyaku sedikit malas. Aku melirik jam di dinding baru pukul 09.00 pagi. "Ada apa gimana? Kamu kok aku perhatikan tidak pernah mengurusku? Malah selalu saja Luna yang yang memperhatikanku. Tidak pernah tidur di rumah. Selalu sibuk di konveksi. Seolah menghindar dariku. Alasan banyak orderan ini itu. Dan sampai saat ini, kamu juga tidak pernah membawa anak yang sering bersamamu itu! Padahal aku sering memintamu untuk membawa anak itu. Aku penasaran dengan anak itu," protes Mas Reyhan. Aku mendengus. " Kalau untuk mengurus kamu memang sudah sepantasnya tugas Luna. Karena istrimu itu Luna bukan aku! Kamu itu sudah menceraikan aku. Jangan pura-pura amnesia lah, Mas! Aku tahu kamu akting! Amnesiamu itu pura-pura!" ketusku reflek keluar begitu saja dari mulutku. "Aku kasih tahu kamu ya, Mas. Aku itu bukan istrimu! Istrimu Luna! Aku dah muak harus terus berpura-pura, Mas! Kamu gak perlu penasaran dengan anak yang sering bersamaku. Karena itu anakku. Anak yang tak pernah ka
POV INDAH "Mba, beneran mau pindah, Mbak?" tanya Rumi. Aku mengangguk cepat. Meskipun semua terasa berat. Tapi aku tidak mau berhubungan dengan masa lalu apapun. Aku ingin hidup damai saja bersama anak-anakku. "Mba serius?" tanya Rumi lagi. Aku mengangguk. "Kau tinggali saja rumah ini, dan aku percayakan untuk butik serta konveksi kamu yang mengatur. Lagi pula kamu kan akan menikah dengan Haris. Jadi, setelah menikah kalian tinggal saja di rumah ini. Aku akan mengabarimu kemana aku dan kedua anakku pergi. Dan kamu, jangan pernah beritahu siapapun aku pergi kemana. Aku dan anak-anak ingin menata hidup baru. Toh aku juga sudah mandiri rasanya tidak perlu menikah lagi. Malu juga janda dua kali," ucapku. Wajah Rumi terlihat sedikit keberatan. "Tapi, Mbak? Kenapa bisa seperti ini?" tanyanya. "Aku sendiri tidak tahu, Rum. Yang aku tahu, aku hanya ingin hidup tenang bersama kedua anakku. Tidak ingin juga bertemu dengan siapapun. Malas, di kota ini di lingkungan ini masih saja berada di l
Exstra Part"Kenapa tidak mau menerimaku?" tanya Edwan saat laki-laki itu sudah duduk tepat di samping Indah. Indah hanya tersenyum."Aku butuh jawabanmu, bukan senyummu," ujar Edwan lagi. Indah pun menarik nafas panjang. "Huh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Indah. "Apa jawabanku tidak cukup?" Indah balik bertanya. Edwan menggeleng. "Aku belum puas. Sekarang hanya ada aku dan kamu di sini, aku mohon dengan sangat kejujuran kamu," pinta Edwan terus memaksa. Edwan memang tidak yakin pada jawaban Indah karena laki-laki itu merasa Indah mencintainya. "Kenapa? Sebenarnya kamu masih mencintai Reyhan? Gak apa-apa. Kamu jujur aja sama aku." Kata-kata Edwan barusan membuat Indah sedikit tersinggung. "Kenapa harus Reyhan? Bukankah kalau aku masih mau sama Reyhan aku bisa dengan mudah mendapatkannya kembali? Tapi aku tidak mau. Aku tidak ada rasa apapun pada laki-laki itu, meskipun dulu aku sangat mencintainya. Jadi aku mohon sama kamu, tolong jangan pernah sangkut pautkan aku dengan Reyha
POV INDAH"Mama!" teriak Rashi dan Nadira bersamaan. Ini tahun pertama mereka masuk sekolah dasar berbasis internasional. Keduanya sekolah di tempat yang sama di daerah bintaro sektor IX di tangerang. Seharusnya Rashi satu tahun di atas Nadira. Tapi aku memilih dua tahun untuk TK Rashi supaya bisa bareng dengan Nadira. Toh usia mereka juga tidak berbeda jauh. Tidak terasa saja waktu bergulir begitu cepat. Kedua anak yang kupantau pertumbuhan dan perkembangannya ternyata kini mereka sudah memasuki usia pendidikan dasar. 7 tahun lamanya aku benar-benar tidak pernah berurusan lagi dengan orang-orang di masa lalu. Termasuk juga berhubungan dengan Edwan. Atau keluarga Mas Reyhan. Terakhir kali sebelum akhirnya aku memilih pindah, pada saat pernikahan Rumi dan Haris jelas terlihat bahwa keluarga Reyhan sudah dapat menerima keberadaan Luna dan anaknya. Mereka terlihat akrab. Hingga aku tak ingin lagi berurusan dengan mereka. Tanpa memberi tahu Rumi, aku bahkan menjual rumah dan pindah secar
"Nanti bila sudah waktunya, kalian akan tahu. Sekarang kamu ke kamar ya. Hibur Nadira. Mama percaya sama Rashi. Rashi bisa menenangkan Nadira," ucapku. Rashi menurut dan lekas berlari ke kamar. Saat Rashi tak terlihat lagi, aku coba melangkah ke kamar anak-anak. Saat tiba di depan kamar mereka, aku coba menguping. Kutempelkan telinga di depan pintu. Beruntung pintu sedikit terbuka hingga aku bisa mengintip mereka. Terlihat Rashi menghampiri Nadira yang sedang melipat kedua tangannya dengan muka manyun. "Kamu kenapa? Kasihan Mama Dira," ujar Rashi. Nadira menarik nafas panjang. Bola matanya memerah. Perlahan air mata jatuh membasahi pipinya. "Kak Rashi, aku hanya ingin tahu, siapa Papaku dan dimana dia? Kenapa sampai saat ini Mama tak pernah memberitahu kita? Kalau Papa kita sudah meninggal, dimana kuburannya? Mama tidak pernah memberitahu kita. Setiap kali kita bertanya, Mama hanya diam. Dan selalu menjawab jika sudah saatnya kita pasti akan tahu. Cuma itu dan selalu jawaban itu yan