Mas Arsya mengatakan jika pagi ini, Mama akan datang berkunjung. Dia juga mengingatkan agar aku bersiap karena harus datang ke persidangan pertama Jihan. Gadis itu rupanya sudah ditahan sejak dua pekan yang lalu karena semua bukti yang diperlukan pihak kepolisian sudah komplet. Aku sebenarnya tidak tega, tapi hukum sudah berjalan dan semuanya harus jelas. Ada rasa takut yang masih melekat di hati, tapi pengacara yang mengurus kasus kami dengan Jihan, sudah mengarahkanku untuk mengatakan apa saja yang diperlukan. Terkadang, aku sadar jika hati ini begitu rapuh. Namun, ada saatnya aku harus tetap waras dengan memperlihatkan tawa di depan banyak orang. Konyol memang, tapi saat aku bersama Mas Arsya yang sekarang, sikap Amanda berubah drastis. Seperti orang yang awalnya garang, bisa berubah begitu manis. Lalu, orang yang awalnya penyabar, bisa berubah menjadi pemarah. Itu memang bukan watak bawaan, tapi cenderung ekspresi pada kenyataan yang dialami. Dan aku sekarang memilih untuk meni
Hari ini, hari terakhir cuti Mas Arsya. Tepat satu bulan lamanya dia tidak bekerja. Ria harus kembali ke tempat kerjanya untuk menyelesaikan tugas yang belum selesai sebelum akhirnya mengajukan resign. Mas Arsya sudah bertekad untuk mengajakku pindah meskipun rencana itu belum terlalu matang. Ditambah lagi, permintaan Mama dan Papa yang menambah dilema. Mama meminta Mas Arsya membantu di perusahaan Papa dan mengajak kami untuk tinggal bersama di rumah mereka. Aku sendiri juga bingung, tapi semua keputusan kuserahkan kepada Mas Arsya. Dia pasti mencari solusi yang terbaik. Lagi pula, hubunganku dengan Mama memang sudah lebih baik meskipun masih ada rasa canggung saat bertemu. "Kalau Sayang bersedia, kita akan pindah ke rumah Mama sama Papa. Kamu baru sekali ke sana, 'kan, setelah kita menikah?" cetusnya saat kami sedang bercengkrama di depan televisi yang menyala. Mendengar ucapan Mas Arsya, aku justru menunduk. Masih ada sedikit keraguan jika harus tinggal bersama Mama dan Papa. Ak
Aku dan Mas Arsya terpaksa menerima permintaan Mama untuk menginap. Kami tidak enak menolak karena ini adalah kali pertama aku tidur di rumah mertua sejak menikah dengan Mas Arsya. Dulu, acara ngunduh mantu dilaksanakan di rumah Mas Arsya dan aku hanya sempat diajak satu kali saja di rumah besar ini untuk bertemu keluarga besar. Itu pun tidak menginap.Mama benar-benar sudah berubah sikap terhadapku. Namun, seperti masih ada ganjalan di hati mengenai apa alasan beliau. Bukannya ingin berprasangka buruk kepada mertua, tapi memang keraguan belum mau enyah dari pikiran. "Belum tidur?" Mas Arsya muncul dari balik pintu yang baru saja terbuka. Aku menggeleng pelan, lalu berkata, "Nggak bisa tidur. Mungkin karena belum terbiasa aja sama tempat ini. Aku orangnya susah buat adaptasi."Mas Arsya lantas naik ke tempat tidur, di sampingku. "Kalau ada aku, harusnya bisa tidur nyenyak di mana pun."Kamu duduk berdampingan, lalu kusandarkan kepala di lengannya. Kehadirannya memang sangat berarti.
Bi Narti mengoceh panjang saat aku datang. Katanya ada tamu semalam, tapi saat diminta menunggu untuk menghubungiku atau Mas Arsya, orang itu memilih pergi. Bi Narti juga belum sempat menanyakan nama orang itu. Aku memilih masuk kamar saat Bi Narti menawari makan siang. Tadi, aku sudah makan di acara arisan dengan Mama. Jadi, rasanya masih cukup kenyang. Aku lantas berganti pakaian rumahan yang lebih nyaman dan bergegas mengambil wudu. Sudah pukul satu siang, sedangkan aku belum salat Zuhur. Aku masih saja kepikiran dengan sikap Mama. Apa yang sebenarnya membuat dia marah? Kenapa meskipun sudah dijelaskan, prasangkanya terhadapku masih saja ada? Adam? Apa mungkin Mama ada masa lalu buruk dengan laki-laki itu? Atau masih ada hubungannya dengan Jihan? Ah, memikirkan itu membuatku kembali dilanda kebingungan. Terserah saja Mama mau menganggapku seperti apa, yang penting tuduhan itu tidaklah benar. Usai salat, pintu kamarku diketuk, lalu diikuti panggilan dari Bi Narti. Aku pun berge
PoV ArsyaManda cenderung diam sejak sore tadi. Selepas dia mandi, azan Magrib berkumandang. Kami pun salat berjemaah dan melanjutkan mengaji hingga Isya. Selama itu pula, kami fokus dengan bacaan masing-masing. Namun, usai salat Isya, Manda tetap diam dan hanya sesekali menanggapi perkataanku. Sepertinya, dia marah karena aku membuang bunga yang tidak jelas pengirimnya tadi. Dia terlihat begitu kecewa, bahkan selalu memalingkan muka ataupun menunduk saat kuajak bicara. "Sayang, jangan tidur dulu. Makan malam dulu, yuk!" ajakku saat dia justru merebahkan badan di tempat tidur usai melipat mukena. "Aku nggak pengen makan. Mau tidur aja," jawabnya, lalu menarik selimut hingga leher. Aku sangat bingung jika menghadapi Manda yang diam seperti itu. Akan lebih baik jika dia marah-marah dan mengeluarkan semua yang mengganjal di hati. Aku lebih siap mengahadapi sikapnya yang seperti itu daripada sikap diamnya. "Aku bawa makanannya ke sini, ya? Atau mau disuapi?" Lagi-lagi, ucapanku tida
Mas Arsya sudah terlelap sejak sekitar pukul sepuluh tadi. Pastinya, dia lelah setelah seharian bekerja. Meskipun dokter sudah memperbolehkannya beraktivitas normal, tatap saja aku merasa khawatir. Apalagi, kondisinya masih dalam pantauan hingga tiga bulan setelah operasi.Memilikinya adalah anugerah yang harus selalu kusyukuri. Dia begitu menyayangiku, bahkan setelah putrinya meninggal saat bersamaku. Meskipun bukti menyatakan Jihan sebagai penyebab kecelakaan, tetap saja itu membuatku merasa bersalah. Aku kembali gelisah malam ini. Bukan karena memikirkan keberadaan Mas Danu, tapi aku ingin makan wedang ronde. Sedari tadi, aroma jahe bercampur gula merah tercium begitu wangi. Lalu, bayangan kacang dan butiran ronde terus melintas di kepala. Akan tetapi, ingin membangunkan Mas Arsya, rasanya tidak tega. Aku akhirnya memilih keluar dari kamar dan mencoba mencari sesuatu di dapur. Siapa tahu, Bi Narti masih punya stok jahe dan gula merah. Setidaknya, minum air jahe seperti itu akan s
Aku tidak tahu harus bagaimana. Rasa takut jika Mas Arsya akan marah seperti tadi siang membuatku membeku di tempat. Berulang kali aku menatap bergantian antara Mas Arsya dan si penjual wedang ronde yang mengulurkan sekuntum bunga mawar. Aku tidak ingin hubungan dengan Mas Arsya memburuk lagi hanya karena salah paham yang entah siapa penyebabnya. Akan tetapi, Mas Arsya menyuruhku mengambil bunga itu. Dengan terpaksa, aku menerima bunga itu dan membiarkan si pengantar langsung pergi. Ada kertas yang dililitkan di batang rupanya. Aku terus melirik ke arah Mas Arsya, tapi ekspresinya biasa saja. "Buka dulu, baca kalau ada tulisannya," ucapnya sambil memasukkan dua plastik besar wedang ronde ke jok penumpang di belakang kemudi. Aku pun menurut meskipun melakukannya dengan takut-takut. Namun, kalimat yang tertulis pada kertas ini membuatku justru mengerutkan kening. Jika wedang ronde menghangantkan dengan jaheKamu menghangatkanku dengan cintadari suamimu yang paling tampan saat di k
"Apa yang terjadi, Ni? Bukannya kamu dan Mas Adam baik-baik saja? Kalian juga akan segera menikah, bukan?" cecarku begitu Kaniya duduk. Sengaja aku meminta gadis berlesung pipit itu untuk datang di mana aku, Mas Arsya, dan Mas Danu masih di tempat makan dekat klinik. Dia menangis dengan wajah bingung. Padahal, di hari pertama aku kembali dari Jogja, Kaniya dan Adam terlihat baik-baik saja. "Mas Adam hanya menggunakanku sebagai media informasi, Nda. Dia banyak menanyakan soal kamu saat kami bersama. Di mana tempat tinggalmu, siapa saudaramu, siapa orang tuamu, apa makanan kesukaanmu, pokoknya semua hal tentangmu. Awalnya, aku biasa saja, tapi lama-lama dia keterlaluan. Mas Adam terang-terangan memutuskan hubungan kami saat kamu dan Pak Arsya pergi di hari kita ketemuan pekan lalu." Kaniya menahan isak tangis meskipun air matanya sudah berkali-kali jatuh. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Adam. Kenapa dia seperti itu? Siapalah aku yang sampai membuat dia sampai seperti itu? At