“Katanya si Yasmin sama si Adit lagi ga ada di kampung ini,Bu.” Agus yang baru saja kembali ke rumahnya tampak begitu tak terawat. Kumis dan cambang membuatnya terlihat lebih tua.“Iya, katanya mereka lagi ke Garut. Kata si Sri yang sekarang bantu-bantu di rumah si Adit. Pokoknya, sekarang dia jadi mata-mata Ibu buat tahu soal mereka,” ujar Maemunah.“Bersihin kumis kamu, Agus. Kayak kakek-kakek aja. Mana ada perempuan yang bakalan mau. Ibu pengen, kamu nyari perempuan buat dijadiin istri. kita hajatan lagi. Kita kalahin hajatannya si Adit itu. Ibu nggak rela orang-orang terus saja muji-muji si Adit sama si Yasmin.” Biji mata Maemunah seakan mau lompat ke luar.“Halah, aku nggak mikirin itu sekarang, Bu. Aku pengen si Yasmin cerai dari si Adit. Aku mau ambil lagi dia jadi istriku.” Agus bangkit dengan tangan mengusap-usap jambangnya yang sudah lebat.“Kayak gak ada perempuan lain saja kamu ini, Gus! Sudah, Ibu jodohin saja kamu sama si Lilis anak juragan Kardun. Walaupun cuman juragan
“Iya, kamu kan, dulu cinta mati sama Agus. Eh, dianya malah dipelet sama si Yasmin. Mumpung sekarang peletnya udah gak mempan, makanya si Agus sadar kalau nggak ada yang lebih baik daripada Lilis. Cuman, dia malu buat bilangnya. Agus nyuruh saya buat sampein salam ke kamu, Lis.” Mae nyerocos seperti beo.“Masa, iya, Bu Mae? Beneran Mas Agus titip salam buat saya?” mata Lilis berbinar. “Etapi … sekarang Lilis cintanya sama dokter Radit,” ucapnya sambil cemberut.“Halah, si Adit, kan, udah kawin. Mending sama Agus. Dia itu manajer di Jakarta. Gajinya gede. Rumahnya bagus,” cerocosnya lagi.“Lah, kata orang-orang Mas Agus kemarin pulang naik ojek ke sini. Emang ke mana mobilnya, Bu Mae?” tanya Lilis.“Oh, itu. Lagi diservis. Biasa, ganti cat, biar tambah bagus,” jawab Maemunah terdengar gugup.“Ooh,” sahut Lilis juga Yani berbarengan.“Nggak taulah, Bu Mae. Lilis udah ilang rasa sama Mas Agus. Soalnya Dokter Radit lebih menggoda. Dia udah buktiin bisa bangun rumah segede aula. Mana mobil
POV Maemunah Sial. Kenapa si Yasmin datang ke sini segala sih? Pas banget lagi, saat aku bilang soal dia tukang teluh.“Siapa yang bilang tukang teluh? Aku bilang kamu tukang ngeluh. Kuping kamu aja yang budeg,” kataku sambil melihat tentengan tangannya. Sepertinya dia mau ngasih sesuatu sama Bu Kardun. Bu Kardun melirik padaku dengan sinis. Semoga saja dia tidak bongkar rahasia. Kalau tidak, bisa runyam dunia persilatan. Kebohonganku bisa terbongkar. “Waalaikumsalam, Neng Yasmin? Ada apa, Neng?” jawab Bu Kardun sambil nyamperin mantan menantuku itu. Selamat, selamaat. Aku mengusap dada yang masih berdebar. Si Yasmin masih menatapku dengan wajah penasaran, sepertinya tadi dia mendengar dengan jelas apa yang aku katakan. Masa bodo, lah. “Ah, ini ada sedikit oleh-oleh buat Ibu,” katanya. Aku langsung menajamkan pandangan, menilik dari jauh, apa yang dikasihin si Yasmin sama Bu Kardun. “Wah, dodol. Kayaknya enak, nih. Emang dapet dari mana dodol sebanyak ini?” ujar Bu Kardun, sok
“Heh kamu timbang disuruh begitu aja kagak mau! Dasar ya. Saya ini orang terpandang di sini. Mana mungkin saya nggak bayar! Udah sana, awas jangan ngalangin jalan saya!” aku menyenggolnya sampai si Sri oleng dan hampir jatuh. Tau rasa dia. Begitu kalau nolak keinginan Mae.“Lah, sama Bu Badru aja katanya Ibu nggak bayar,” ucapnya pelan dengan logatnya yang lemah.Sialan si Badru, rupanya dia omong-omong ke orang kalau aku belum bayar. Nggak akan kubayar sekalian. Duit hasil penjualan burung habis buat urus-urus si Agus. Bukannya aku nggak mau bayar.Ah, jadi dapat ide. Apa aku curi aja ya burung Pak Didi barang satu ekor. Pak Didi kayaknya lagi nggak ada. Bagus juga ideku ini. Dasar Mae orang pinter. Selalu saja dapat ide yang cemerlang.Aku lalu mengendap masuk ke pekarangan Pak Didi yang pagarnya nggak dikunci. Semoga Pak Didi lagi keluar atau lagi tidur. Celingak-celinguk. Sepi. Kayaknya Pak Didi emang nggak ada. Rejeki nomplok ini. Burung yang mana yang kira-kira paling mahal, y
POV YasminKeesokan paginya aku dikejutkan dengan tiket pesawat ke Lombok yang ada di atas meja rias. Aku bolak-balik. Untuk dua orang atas nama aku juga dr.Radit. Untuk akhir pekan ini.“Mas,” panggilku pada dr.Radit yang baru keluar dari kamar mandi dengan hanya memakai handuk. Aku yang tadinya melihat dia langsung melengos. Duh, roti sobeknya boleh buat sarapan, nggak, sih?Dr.Radit memang rajin fitness di kala waktu senggangnya. Minimal lari selama satu jam di atas treadmil setiap pagi dan sore hari dia akan sit up, push up, dan lain-lain. Kadang suka gemes juga kalau lihat dr.Radit yang basah karena keringat.“Kenapa?” tanyanya.“Emh, ini apa?” tanyaku tanpa melihat padanya. Bisa kacau kalau melihat lagi deretan roti itu.“Tiket. Memangnya kamu nggak bisa baca?” Dia balik bertanya dengan nada menggoda. Menyebalkan kadang-kadang. Bisa saja mancing-mancing.“Kok, nggak bilang-bilang?” Aku bertanya lagi, masih berpura-pura tidak ingin melihatnya.“Biar kamu lihat sendiri,” katanya d
“Sudah beres sholatnya?”Sebuah pertanyaan yang membuat jantungku seakan mau copot. Pertanyaan itu seolah terdengar, ‘apa kamu sudah siap malam ini?’.“Su-sudah,” jawabku tergagap.“Ayo,” ajaknya membuat mataku membulat sempurna. Ayo ke mana ini?“Ke-mana?” tanyaku terbata.“Lihat pemandangan malam dari sana,” tunjuknya ke area luar kamar yang terhubung dengan kolam renang dan tempat duduk out door tanpa atap.Mau tak mau aku bangkit. Tidak terlalu malu karena masih ada handuk kimono yang menutupi.Aku sambut uluran tangannya yang hangat. Mungkin karena dia habis tiduran. Sementara tanganku terasa dingin karena habis mandi walaupun dengan air hangat.Kelap-kelip lampu di kejauhan terlihat indah. Sepertinya dari hotel lain ataupun rumah penduduk.“Indah sekali,” bisiknya dari belakangku. Dia memelukku erat dari belakang. Berulang kali menghidu rambutku yang beriak tersapu angin. Tangannya melingkar ke perutku.Perlahan tangannya membuka tali simpul dari handuk kimono yang kupakai. Aku
POV Yasmin.Pagi-pagi di hari terakhir kami di Lombok. Dr.Radit mengajakku ke pantai, setelah hari kemarin malah kami habiskan sepanjang hari di kamar untuk menjalankan ritual pengantin baru yang sebenarnya sudah tidak baru.Aku sengaja memakai kaus ditambah sweater dan celana jins, soalnya kata dr.Radit kami akan keliling pantai naik ATV. Wah, pasti seru. Aku belum pernah menaiki kendaraan itu.Saat kami hendak keluar dan melalui loby hotel, sebuah suara juga sosok yang rasanya sangat kuhapal. Tentu saja, karena baru seminggu yang lalu kami bertemu. Aku dan dr.Radit langsung menghentikan langkah.Dia yang sedang berbicara dengan seorang wanita bercelana pendek dan memakai topi pun sama, dia berhenti dan menatapku juga dr.Radit bergantian.“Yas-min,” ucapnya mengeja namaku dengan mata berbinar.Dr.Radit langsung mengeratkan genggaman tangannya. Apalagi saat wanita yang sedang bersama Kak Jeff itu memasang wajah terpukau saat melihatku.“Inikah Yasmin itu?” pekiknya menghampiriku. Dia
“Yes, sure. Dia pasti tidak akan melepaskan Yasmin begitu saja. Karena itu, pertahankan dia, atau kau akan kehilangan dia selamanya. Jeff tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.” Jennifer memperingatkan dr.Radit. “Terima kasih sudah memperingatkan,” sahut dr.Radit. “Kami akan pulang sore ini, karena itu kami pamit. Aku akan rekomendasikan hotel kalian pada teman-teman. Pelayanannya sangat memuaskan.”“Thank you. Oh ya, untuk liburan kalian kali ini anggap saja itu hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Kalian tidak perlu membayarnya,” ujar Jennifer lalu menyeruput minuman dari gelasnya.“Tidak usah. Saya merasa tidak enak,” balas dr.Radit.“No, with my pleasure. Aku senang bisa membuat kalian bahagia datang ke tempat ini. datanglah kapan pun kalian mau. Aku akan siapkan tempat untuk kalian.” Jennifer berhenti, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.“You know, aku sangat berterima kasih padamu, Yasmin. Karena kamu, dia punya semangat memperbaiki diri. Dia adalah anak paling bandel dan s