Maria tersipu malu saat bangun keesokan harinya. Dia merasa berbunga-bunga karena telah menjadi seorang istri yang utuh bagi Denis. Dia menutupi tubuhnya yang polos dengan handuk yang terserak di lantai.“Mbak, Mbak Maria.” Terdengar panggilang dari Bi Noneng.“I-iya, Bi?” Maria gegas membuka pintu itu sedikit. Ternyata wanita itu tengah menggendong Amanda yang habis menangis.“Astagfirullah, Sayang maafin Mama,” ujar Maria yang langsung membuka pintu dan mengambil Amanda dari tangan Bi Noneng.Wanita paruh baya itu tak sengaja melihat ke dalam kamar di mana ada Denis yang masih terlelap di atas kasur milik Maria.“Eh.” Maria tampak malu karena kepergok telah sekamar.Bi Noneng malah tersenyum dan mengelus pundak Maria. “Sudah sewajarnya, toh? Pak Denis itu suamimu, Mbak. Dia seperti orang gila sewaktu Mbak Maria pergi dari rumah. Dia sering melamun dan gelisah,” ucapnya.“Kalian berhak bahagia. Saya ikut senang, Mbak,” pungkasnya sebelum beranjak pergi.Maria masih terpaku setelah me
“Tak perlu basa basi,” jawab ibunya Hanif terlihat emosi. Dia sangat kesal karena melihat Maria yang terlihat mewah. Sementara dirinya justru terlihat kumal.“Baiklah kalau tidak boleh berbasa basi. Sepertinya kalian tetap saja sial walaupun sudah mengusir Maria.” Denis tersenyum miring.Mata Hanif langsung melotot, begitu juga dengan ibunya.“Enak aja kamu bilang kami sial. Hanif ini sekarang bekerja di perusahaan bonafid. Dia ini jadi manager,” balas ibunya Hanif dengan mata melotot.Denis tersenyum miring. “Oh ya? Benarkah? Anak Ibu bilang jadi manager?” tanyanya dengan nada mencibir.“Ya, tentu saja. Bukan begitu, Hanif?” ujar wanita paruh baya itu dengan dagu yang mendongak.“I-iya, tentu saja,” jawab Hanif tergagap.“Oh begitu. Baguslah kalau memang dia sudah jadi manager. Permisi, kami mau mencari peralatan bayi,” pamit Denis yang lalu menuntun Maria untuk memasuki toko.Istrinya Hanif pun ikut mengekor sambil menarik Hanif untuk segera masuk ke dalam toko. Namun, lelaki itu me
“Pucat amat istrimu. Katanya pake tukang rias yang mahaal.” Walaupun berbisik, aku masih bisa mendengarnya dengan jelas apa yang dikatakan oleh wanita yang baru saja resmi menjadi ibu mertuaku. Sesekali dia mendelik. Matanya seperti bola pingpong yang ditangkis. Mendelik sana-sini.Kupingnya pun kayaknya dia pertajam untuk mendengar omongan para tamu yang datang.“Pengantinnya pucet. Biasanya kalo pengantin itu lipennya merah. Ini mah apaan.”“Kayaknya sih, lagi tek dung. Makanya gak bercahaya sama sekali.”Duh, nyesel juga dengerin kata Mas Agus yang minta ngerayain pesta pernikahan kami di kapung halamannya. Begini jadinya.Orang-orang yang nggak ngerti tentang trend make up, mikirnya malah salah.Tamu mulai berdatangan lagi. Aku dan Mas Agus bangkit untuk bersalaman. Sepertinya ini dari keluarga jauhnya Mas Agus. Dia tersenyum ramah sebelum akhirnya mengatakan sesuatu yang membuat aku down.“Neng, pucet sekali. Nggak ada cahayanya. Lagi hamil?” Dia mendekatkan bibirnya ke telingaku
POV Ibu Mertua“Bu Mae, menantunya pucet banget. Kayaknya udah nggak orisinil. Udah blong. Makanya nggak bercahaya. Coba lihat waktu nikahannya si Wiwin kemarin. Uuuh, cetar membahenol. Pantesnya penganten tuh, kayak gitu. Bukannya pucet kayak yang belum makan dua hari,” kata Bu Imah tetangga satu RT. Emang iya, riasan macam apa itu? Masa penganten dandanannya kayak gitu. Itu mah cocoknya buat dandanan sehari-hari. Aku lihat dandanannya Wiwin waktu nikahannya kemarin. Pipinya merona merah kayak tomat. Matanya bling-bling kayak pake lampu mercusuar. Bulu mata anti badai. Cocok itu kalau untuk pengantin. Beda dari yang lain. Padahal bayar tukang rias cuman 2 juta udah sama dekor. Ini mah apa? Sama penyanyi dangdut aja masih kerenan penyanyi dangdut. Bilangnya aja make up doang sampai sampai 5 juta. Belum dekor sama foto. Semua habis 20 juta. Belum buat biaya prasmanan. Habislah 50 juta. Dari mana duitnya kalau bukan dari Agus anakku. Mending kalau hasilnya bagus. Ini mah jadinya kaya
POV Maemunah (Ibu Mertua)“Eh, Bu Mae, si Ibu Hajat. Baru keliatan lagi,” sapa Bu Imah. Ketemu lagi di sini sama ibu-ibu ghibah. Nggak akan jauh-jauh, pasti mau ngomongin si Yasmin. Udah ketebak.“Eeh, Bu Imah. Iya, nih. Maklum, kemarin saya capek banget, Bu.” Aku pura-pura senyum, padahal di hati rasanya dongkol. Apalagi lihat si Imah itu senyum-senyum mengejek.“Denger-denger si Yasmin diusir sama Agus, ya, Bu? Berarti dugaan orang-orang bener, dong, ya, kalau si Yasmin udah nggak perawan?” Si Imah mengedip-ngedip matanya sambil nyenggol-nyenggol Bu Marsih.“kok bisa, sih, Bu Mae, Agus dapetin istri yang udah nggak perawan? Bukannya dia itu sarjana? Kerjanya aja jadi manajer. Masa iya cari istri aja nggak bisa milih yang mana masih segel, yang mana nggak,” katanya dengan bibir menyat-menyot.Nah, kan. Nggak akan jauh, ujung-ujungnya pasti menghina Agus sebagai laki-laki yang nggak becus milih calon istri. Gara-gara si Yasmin itu. Pasti Agus udah diguna-guna.“Ya, mana bisa dibedain
POV Yasmin“Dokter Radit?” Aku tak sadar memekik.“Iya. Apa Neng Yasmin kenal sama anak Ibu?” Wajahnya berbinar bahagia. Mungkin dia berpikir aku akan bisa mengantarkannya pada sang anak. Padahal aku juga tidak tahu alamatnya di mana. Duh, tau bakal begini, waktu itu aku mau minta nomor HP-nya. Aku kan, malu. Masa cewek tiba-tiba minta nomor HP sama cowok yang baru dikenal.“Emmh, dibilang kenal banget, sih, nggak. Cuman saya pernah satu bis sama dr.Adit waktu pulang dari rumah teman di Suniaraja.” AKu masih berbohong. Tak enak rasanya harus mengungkit kepicikan keluarga mantan suami. Biar saja itu jadi rahasiaku.“Oh, Ibu kira Neng Yasmin kenal sama anak Ibu.” Dia menghela napas. Mungkin kecewa karena tak bisa segera bertemu dengan anaknya.“Gini aja, Bu. Sekarang hujannya masih besar, jadi … Ibu menginap saja semalam di sini, ya? Besok pagi, sambil berangkat kerja saya antar Ibu ke rumah sakit Sentosa. Di sana pasti ada yang kenal sama anak Ibu,” ungkapku agar si ibu agak sedikit me
POV AgusApa benar yang dibilang sama Ibu, kalau pengantin wanita make up-nya jelek menandakan jika dia sudah nggak perawan? Atau bahkan kemungkinan dia lagi hamil?Apa ada penelitiannya? Ataukah hanya pengalaman para orangtua zaman dulu saja?Ah, entahlah. Tapi … aku yakin tak semata-mata Ibu mengatakan itu jika semua itu tidak ada dasarnya. Tidak mungkin Ibu ingin memfitnah Yasmin tanpa sebab.Sebenarnya, malam itu aku ingin membuktikannya. Tapi, aku takut jika Yasmin benar-benar sudah tidak lagi perawan atau bahkan lagi hamil. Aku tidak mau itu hanya menjadi akal-akalannya untuk menjebakku.Dia itu cantik dan banyak yang suka. Bagaimana kalau seandainya di belakangku dia melakukannya dengan orang lain, lalu meminta tanggungjawab padaku. Amit-amit. Secinta-cintanya aku sama dia, tetap saja aku nggak mau kalau harus menanggung perbuatan orang lain.“Bu, besok Agus balik lagi ke Jakarta.” Aku mendekati wanita yang telah melahirkanku itu di ruang keluarga. Dia sedang menonton sinetron
“Oh, ini ibuku.” Dr.Radit menunjuk Bu Wati dengan sopan. Lalu, dia menunjuk ke arahku dan mengatakan, “dan ini Yasmin, calon istriku.”Apa? Mataku terbelalak seketika. Jantungku seakan berhenti. Apa maksudnya ini?Aku benar-benar tercengang dengan pengakuan dr.Radit yang bilang jika aku ini calon istrinya. Aku rasa Bu Wati juga merasakan hal yang sama. Apalagi saat wanita itu mendelik. Sepertinya dia marah atau justru benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa-apa.“Calon istri kamu?” tanyanya seolah tidak yakin. Dia menilikku dari atas sampai bawah. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang memakai pakaian mahal.“Ini tempat umum, Vir. Aku mohon jangan bikin keributan. Permisi,” ucap dr.Radit meninggalkan tempatnya. Aku lihat dengan ujung mata, wanita itu mendelik sinis lalu pergi tanpa permisi.Dr.Radit mengajak kami pulang karena Bu Wati terlihat kelelahan.“Saya antarkan dulu Ibu ke rumah ya, karena jarak ke rumah saya lebih dekat dibanding ke rumah kamu,” katanya.“Saya naik angkuta