POV Maemunah (Ibu Mertua)
“Eh, Bu Mae, si Ibu Hajat. Baru keliatan lagi,” sapa Bu Imah. Ketemu lagi di sini sama ibu-ibu ghibah. Nggak akan jauh-jauh, pasti mau ngomongin si Yasmin. Udah ketebak.
“Eeh, Bu Imah. Iya, nih. Maklum, kemarin saya capek banget, Bu.” Aku pura-pura senyum, padahal di hati rasanya dongkol. Apalagi lihat si Imah itu senyum-senyum mengejek.
“Denger-denger si Yasmin diusir sama Agus, ya, Bu? Berarti dugaan orang-orang bener, dong, ya, kalau si Yasmin udah nggak perawan?” Si Imah mengedip-ngedip matanya sambil nyenggol-nyenggol Bu Marsih.
“kok bisa, sih, Bu Mae, Agus dapetin istri yang udah nggak perawan? Bukannya dia itu sarjana? Kerjanya aja jadi manajer. Masa iya cari istri aja nggak bisa milih yang mana masih segel, yang mana nggak,” katanya dengan bibir menyat-menyot.
Nah, kan. Nggak akan jauh, ujung-ujungnya pasti menghina Agus sebagai laki-laki yang nggak becus milih calon istri. Gara-gara si Yasmin itu. Pasti Agus udah diguna-guna.
“Ya, mana bisa dibedain lah, buibu. Masa harus dicoba dulu? anak saya kan laki baik-baik. Nggak kebetulan saja dapetin si Yasmin itu.” Aku jawab dengan sinis.
Bu Marsih pura-pura membolak-balik baju dagangan yang sedang dilihatnya. Penduduk kampung sini memang sudah biasa kredit baju dari Bu Badru supaya terlihat gaya, padahal modal ngutang.
Sementara Bu Imah malah mencebikan bibirnya. “Harusnya, kan, tanya-tanya sama temen-temennya. Selidiki dulu bibit, bebet sama bobotnya. Kalau sudah begini malah bikin ricuh. Ngusir istri malem-malem, kagak dianterin. Tega amat si Agus, Bu Mae.”
Sia lan si Imah itu. Sok tahu sekali dia.
“Nih Bu Imah, bukan diusir sama saya atau Agus ya! si Yasmin itu tau diri, dia pergi sendiri setelah diinterogasi sama anak saya.”
“Nah, nah, Bu Mae, kalau begitu berarti secara tidak langsung si Yasmin itu mengakui kalau udah nggak perawan. Iya, kan, Bu Marsih.” Si Imah itu lagi-lagi nyenggol-nyenggol Bu Marsih yang ada di sebelahnya.
“Lagian, saya juga memang nggak setuju sama si Yasmin itu,” ucapku sambil ikut duduk di sebelah Bu Badru dan mulai memilih baju atasan. “Si Agus udah diguna-guna sama si Yasmin. Dia dipelet makanya si Agus langsung mau ngawinin dia. Udah gitu, semua biaya pernikahan si Agus yang nanggung.”
Mata mereka langsung melotot. Bagus! biar mereka tahu kalau gaji Agus itu gede. Seorang manajer gitu loh.
“Lho, jadi … semua biaya kawinan Agus yang nanggung? Hebat. Habis berapa, Bu?” Bu Imah mulai penasaran. Hahaha bagus. memang itu yang kumau. Biar dia tidak meremehkan Agus.
“Gede, lah. Kurang lebih seratus juta.” Aku berdusta. Biarin saja, biar mereka ngeces dengernya. Nah, kan, bener dugaanku. Bu Imah melongo dan mulutnya terbuka gitu. Hahaha. Tau rasa kamu, Imah. Jangan nyepelein Maemunah.
“Gila, Bu Mae ini. banyak amat duitnya si Agus,” katanya dengan mata masih melotot. Baju di tangannya dia remes-remes. Pasti kesel.
“Emang banyak. Dia kan manajer. Gajinya aja sepuluh juta.” Lagi-lagi aku berbohong untuk menaikan pamor. Suamiku itu mantan kepala desa, jangan sampai orang-orang memandang rendah walau suamiku nggak kepilih lagi.
Lagi-lagi Bu Imah melotot, begitu juga dengan Bu Marsih dan Bu Badru.
“Eh, Bu Mae, dari mana Bu Mae tahu kalau Agus dipelet sama si Yasmin?” Bu Imah berbisik-bisik.
Sial. ngasih alasan apa sekarang? Aku, kan, nggak punya bukti kalau si Agus diguna-guna sama si Yasmin. Cuman rasa yakin saja, karena Agus mau-maunya sama perempuan yang orangtuanya saja nggak tau di mana. Anak dari panti asuhan, paling juga anak haram. Sama kayak kelakuannya itu.
“Emh, saya nemuin bungkusan kain kafan yang ada bonekanya di kamar Agus. Coba saja Bu Imah pikir, dari mana tiba-tiba ada boneka dibungkus pake kain kafan, padahal waktu itu si Agus lagi kerja di Jakarta. Dalem boneka itu ada rambut yang saya curiga pasti rambutnya Agus.” Aku menjawab sambil berbisik-bisik, takut ada orang lain lagi yang denger. Rumahnya Bu Marsih ini sering banget dipake kumpul-kumpul sambih gibahin orang sekampung. Pokoknya yang nggak ada, sudah pasti jadi bahan gibah. Makanya kalau mereka kumpul, aku usahakan ikut nimbrung, biar nggak jadi bahan gibahan. Seperti saat ini, niatku mau beli mi instan sama kopi ke warung, jadinya malah negrumpi di sini. Tak apa, ketimbang diomongin di belakang.
“Sst, jangan bilang-bilang sama yang lain.” Aku memberi kode dengan menyilangkan telunjuk di bibir. Mereka bertiga langsung mengangguk.
“Saya permisi dulu, mau cari kopi. Bapaknya anak-anak pasti udah nungguin.” Aku berpamitan karena terlihat Bu Kokom sama Bu Eti keluar dari rumahnya. Mereka pasti mau ikut gibah di sini. Hiih, kayak hidup mereka udah bener aja, kerjaannya ngomongin orang.
“Eeh, Bu Mae, nggak pilih-pilih dulu bajunya? Ini saya lagi adain diskon, lho. Dua puluh persen, kalau Bu Mae mau bayar 2 kali, sekarang setengahnya, ntar bulan depan setengah lagi, ” tawar Bu Badru.
“Aah, saya lagi nggak mau ngutang, Bu Badru. Duit saya masih banyak, dikasih sama Agus kemarin. Permisi,” ucapku menolak tawaran Bu Badru. Padahal sebenarnya aku lagi nggak punya duit.
**
POV Yasmin
Pulang kerja ternyata hujan mengguyur dengan derasnya. Aku menunggu di halte bis dengan jilbab yang basah karena cipratan air hujan. Teman-teman yang lain sudha pulang sejak tadi. Aku kebetulan dimintai tolong oleh bagian GA untuk membereskan sisa meeting karena OB yang tugas hari ini tidak masuk.
Aku bekerja bukan di perusahaan yang besar. Hanya perusahaan cabang di mana pekerjanya masih tidak terlalu banyak. Office boy pun hanya satu. Aku bertugas sebagai resepsionis yang juga berada di bawah divisi General Affair, sama dengan OB yang juga dibawah divisi itu.
Karena tadi tidak ada OB, jadi aku dan staf yang ikut meeting terpaksa membereskan bekas snack. Untungnya Mas Agus hari ini belum masuk, karena kami sebetulnya masih cuti. Tapi, aku sengaja membatalkan cuti itu.
Entah bagaimana rasanya jika kami bertemu lagi nanti. Tapi, aku akan berusaha bersikap profesional.
Sudut mataku menangkap seorang ibu-ibu yang tampak kebingungan. Wajahnya sendu sambil menyeka air di ujung matanya dengan pashmina yang dia kenakan.
Aku penasaran, kenapa beliau seperti itu. Lalu, aku pun mendekatinya.
“Ibu. Ibu kenapa?” tanyaku khawatir. Ibu itu mendongak.
“Eh, Neng. Ibu tadi dijambret pas turun dari bis. Orangnya naik motor, jadi Ibu nggak bisa ngejar.” Dia terisak. Hatiku terenyuh. Bia dab sekali orang yang berani merampok wanita tua.
“Ibu, mau pulang? Nggak punya ongkos?” tanyaku memberanikan diri. Ibu itu menoleh lagi.
“Ibu mau mengunjungi anak Ibu. Tapi sekarang alamatnya saja ibu tidak tahu. Hp Ibu di dalam tas diambil sama jambret itu.”
Astagfirullah. Kasihan sekali. Aku curiga si ibu sudah lama diam di sini tanpa ada yang peduli. Orang-orang memang jarang yang keluar karena lagi PPKM.
“Ibu ikut ke kontrakan saya aja, yuk! Nanti kita pikirkan lagi bagaimana caranya mencari alamat rumah anak Ibu,” ajakku padanya. Ibu itu seketika berbinar matanya.
“Apa boleh, Neng?” tanyanya ragu.
“Nggak apa-apa, yuk!”
Akhirnya aku membawa Ibu itu ke kontrakan. Memberinya makan dan minum. Aku bisa melihat jika si ibu begitu kelaparan juga kehausan. Kasihan sekali.
“Kampung Ibu di mana?” tanyaku setelah si Ibu selesai makan.
“Ibu dari Suniaraja, mau jenguk anak ibu yang dinas di Jakarta. Dia itu dokter di Rumah Sakit Sentosa,” jawabnya.
Deg. Anaknya seorang dokter? Dari Suniaraja.
“Mmh, namanya siapa?” tanyaku memastikan.
“Namanya Raditya. Cuma Ibu suka memanggilnya Adit,” jawabnya.
Kenapa bisa kebetulan seperti ini?
POV Yasmin“Dokter Radit?” Aku tak sadar memekik.“Iya. Apa Neng Yasmin kenal sama anak Ibu?” Wajahnya berbinar bahagia. Mungkin dia berpikir aku akan bisa mengantarkannya pada sang anak. Padahal aku juga tidak tahu alamatnya di mana. Duh, tau bakal begini, waktu itu aku mau minta nomor HP-nya. Aku kan, malu. Masa cewek tiba-tiba minta nomor HP sama cowok yang baru dikenal.“Emmh, dibilang kenal banget, sih, nggak. Cuman saya pernah satu bis sama dr.Adit waktu pulang dari rumah teman di Suniaraja.” AKu masih berbohong. Tak enak rasanya harus mengungkit kepicikan keluarga mantan suami. Biar saja itu jadi rahasiaku.“Oh, Ibu kira Neng Yasmin kenal sama anak Ibu.” Dia menghela napas. Mungkin kecewa karena tak bisa segera bertemu dengan anaknya.“Gini aja, Bu. Sekarang hujannya masih besar, jadi … Ibu menginap saja semalam di sini, ya? Besok pagi, sambil berangkat kerja saya antar Ibu ke rumah sakit Sentosa. Di sana pasti ada yang kenal sama anak Ibu,” ungkapku agar si ibu agak sedikit me
POV AgusApa benar yang dibilang sama Ibu, kalau pengantin wanita make up-nya jelek menandakan jika dia sudah nggak perawan? Atau bahkan kemungkinan dia lagi hamil?Apa ada penelitiannya? Ataukah hanya pengalaman para orangtua zaman dulu saja?Ah, entahlah. Tapi … aku yakin tak semata-mata Ibu mengatakan itu jika semua itu tidak ada dasarnya. Tidak mungkin Ibu ingin memfitnah Yasmin tanpa sebab.Sebenarnya, malam itu aku ingin membuktikannya. Tapi, aku takut jika Yasmin benar-benar sudah tidak lagi perawan atau bahkan lagi hamil. Aku tidak mau itu hanya menjadi akal-akalannya untuk menjebakku.Dia itu cantik dan banyak yang suka. Bagaimana kalau seandainya di belakangku dia melakukannya dengan orang lain, lalu meminta tanggungjawab padaku. Amit-amit. Secinta-cintanya aku sama dia, tetap saja aku nggak mau kalau harus menanggung perbuatan orang lain.“Bu, besok Agus balik lagi ke Jakarta.” Aku mendekati wanita yang telah melahirkanku itu di ruang keluarga. Dia sedang menonton sinetron
“Oh, ini ibuku.” Dr.Radit menunjuk Bu Wati dengan sopan. Lalu, dia menunjuk ke arahku dan mengatakan, “dan ini Yasmin, calon istriku.”Apa? Mataku terbelalak seketika. Jantungku seakan berhenti. Apa maksudnya ini?Aku benar-benar tercengang dengan pengakuan dr.Radit yang bilang jika aku ini calon istrinya. Aku rasa Bu Wati juga merasakan hal yang sama. Apalagi saat wanita itu mendelik. Sepertinya dia marah atau justru benci padaku. Padahal aku nggak tahu apa-apa.“Calon istri kamu?” tanyanya seolah tidak yakin. Dia menilikku dari atas sampai bawah. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang memakai pakaian mahal.“Ini tempat umum, Vir. Aku mohon jangan bikin keributan. Permisi,” ucap dr.Radit meninggalkan tempatnya. Aku lihat dengan ujung mata, wanita itu mendelik sinis lalu pergi tanpa permisi.Dr.Radit mengajak kami pulang karena Bu Wati terlihat kelelahan.“Saya antarkan dulu Ibu ke rumah ya, karena jarak ke rumah saya lebih dekat dibanding ke rumah kamu,” katanya.“Saya naik angkuta
Duh, mesti jawab apa ya?“Emmh, saya nggak marah. Hanya saja saya sedikit kaget.” Akhirnya kalimat itu yang meluncur dari mulutku. “Wajar saja. Maaf jika membuatmu tidak nyaman,” timpalnya.“Saya kaget, Pak Dokter ngakuin saya sebagai calon istri. Memangnya Pak Dokter tidak malu?”Dia mengernyit sejenak. “Malu? Kenapa harus malu?” katanya. “Kamu wanita, seagama. Lalu apa yang bikin malu?”Duh, begini ternyata kalau ngomong sama orang pinter, bikin susah jawabnya.“Saya … hanya orang biasa. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan Pak Dokter,” jawabku seolah dia sedang melamarku. Kegeeran banget ya, aku ini.Dr.Radit tertawa pelan. “Memangnya saya ini siapa? Saya sama dengan kamu. Manusia biasa,” katanya dan membuatku mati kutu.“Saya hanya ingin berterima kasih karena kamu sudah mau menolong ibu saya dan menyelamatkan saya dari Vira, tadi.”Kata ‘menyelamatkan’ membuatku agak sedikit bingung.“Menyelamatkan?” aku hanya membahas kata itu tanpa mengungkit tentang pertolonganku pada Bu Wa
POV YasminAku meminta dr.Radit untuk masuk dulu ke rumah agar aku bisa mengobati luka di pipi juga ujung bibirnya yang pecah. Bersyukur aku bisa mengusir Mas Agus dengan mengguyurnya pakai seember air bekas ngepel tadi pagi. Kebetulan aku belum sempat membuangnya karena lupa.“Dikompres dulu, Pak Dokter.” Aku mengulurkan tangan yang memegang handuk kecil yang telah direndam air es. Dia meringis saat aku mengusap ujung bibirnya dengan handuk dingin.Tatapan dr.Radit terlihat kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Apakah dia memikirkan hal buruk tentangku? Entahlah.“Mas Agus itu suami kamu?” Akhirnya dr.Radit membuka suara. Aku menghentikan mengompres pipinya yang merah bekas tinju Mas Agus.“Lebih tepatnya … mantan,” ucapku lirih. Entah kenapa aku ingin sekali menceritakan tentang apa yang telah terjadi dengan pernikahanku juga Mas Agus. Aku menceritakan secara garis besar saja.“Apa? Hanya karena make up, dia sampai menuduh kamu tidak perawan bahkan menuduh kamu hamil?” dr.
Hingga malam itu ... aku makan malam dengan Ibu dan juga Yasmin. Dia masih secantik dulu, tapi rasa dalam hatiku sudah memudar. “Apa dia wanita yang pernah kamu ceritakan itu, Dit?” pertanyaan Ibu membuyarkanku dari lamunan. Aku menoleh. “Ah, iya,” jawabku singkat. “Sangat cantik,” gumam Ibu dan aku pun setuju dengannya. “Ibu tidak ingin menghancurkan masa depanmu, Dit. Jika kamu memang mencintainya, pergi dan kejarlah. Ibu ini sudah tua, tidak perlu kamu pikirkan. Kamu justru harus memikirkan masa depanmu yang masih panjang. Kamu pasti lebih maju jika di kota,” katanya. Tapi, bagiku itu justru membuatku semakin yakin jika aku harus merawatnya. Umur Ibu entah sampai kapan, dan aku ingin membahagiakan di sisa umurnya. Aku hanya tersenyum sebagai jawaban kalau aku tidak bisa memutuskan sesuai keinginannya. “Lalu, kenapa kamu justru mengenalkan Yasmin sebagi calon istri?” tanyanya dengan wajah yang serius. Aku tertawa tanpa suara. Mungkin memang ide itu sedikit gila. “Apa kamu m
POV YasminMas Agus pasti masuk kerja hari ini. Aku harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. Mungkin dia akan melakukan kekerasan, menghina atau entah apa.Melihat mobilnya saja sudah berasa seekor kelinci melihat elang. Aku mengendap, mudah-mudahan tiak bertemu dengannya di gedung yang tidak begitu besar itu. Apalagi posisiku selalu berada di depan karena menerima tamu dan telepon.“Sstt, Yasmin, sini,” bisik Tina office girl di sini. Aku mendekat.“Pak Agus udah masuk kerja. Tadi udah dateng,” katanya. Tina mungkin mengkhawatirkanku karena aku sudah menceritakan semua padanya juga pada beberapa teman yang heran karena aku pulang sebelum waktu cuti habis, juga pulang tanpa Mas Agus. Mereka saja merasa heran dengan mitos yang terlalu mengada-ada.“Ya sudah, nggak apa-apa. Aku mau pura-pura nggak lihat aja kalau dia lewat,” jawabku. Mau gimana lagi, kami berada di satu gedung yang sama.“Si Dini seneng banget paas tau kamu cerai sama Pak Agus. Kamu tau sendiri, kan, kalau dia
Dia tidak menjawab, malah semakin menarikku dengan semua kekuatannya.“Mas, apa-apaan ini?” ucapku setengah berteriak. Namun, dia menarik tubuh dan membekap mulutku. Kemudian menyeretku masuk ke rumah itu.“Lepaaass,” ucapku tidak jelas karena mulut masih dibekap.“Kau bisa menyerahkan tubuh pada siapapun. Aku juga mau mencicipi tubuhmu,” katanya menjijikan. Aku semakin berontak.“Aku sudah habis uang banyak untuk menikahimu kemarin. Karena itu aku mau menikmati tubuhmu sekarang.”Astagfirulloh. Kerasukan setan apa lelaki ini?Dengan sekuat tenaga aku membuka mulut dan menggigit tangan yang membekapku. Mas Agus mengaduh dan melepaskan tangannya dari mulutku. Aku berusaha lari, namun dia mengejar dan menraik tanganku. Setelah itu mengempaskanku hingga kepalaku terantuk ujung meja. Penglihatanku berkunang-kunang.Kembali kurasakan tangan Mas Agus menarikku agar kembali berdiri. Dia menarik tengkuk dan menciumku dengan brutal. Dengan sisa kesadaran aku menendang selangkangannya dengan lu