“Sudah beres sholatnya?”Sebuah pertanyaan yang membuat jantungku seakan mau copot. Pertanyaan itu seolah terdengar, ‘apa kamu sudah siap malam ini?’.“Su-sudah,” jawabku tergagap.“Ayo,” ajaknya membuat mataku membulat sempurna. Ayo ke mana ini?“Ke-mana?” tanyaku terbata.“Lihat pemandangan malam dari sana,” tunjuknya ke area luar kamar yang terhubung dengan kolam renang dan tempat duduk out door tanpa atap.Mau tak mau aku bangkit. Tidak terlalu malu karena masih ada handuk kimono yang menutupi.Aku sambut uluran tangannya yang hangat. Mungkin karena dia habis tiduran. Sementara tanganku terasa dingin karena habis mandi walaupun dengan air hangat.Kelap-kelip lampu di kejauhan terlihat indah. Sepertinya dari hotel lain ataupun rumah penduduk.“Indah sekali,” bisiknya dari belakangku. Dia memelukku erat dari belakang. Berulang kali menghidu rambutku yang beriak tersapu angin. Tangannya melingkar ke perutku.Perlahan tangannya membuka tali simpul dari handuk kimono yang kupakai. Aku
POV Yasmin.Pagi-pagi di hari terakhir kami di Lombok. Dr.Radit mengajakku ke pantai, setelah hari kemarin malah kami habiskan sepanjang hari di kamar untuk menjalankan ritual pengantin baru yang sebenarnya sudah tidak baru.Aku sengaja memakai kaus ditambah sweater dan celana jins, soalnya kata dr.Radit kami akan keliling pantai naik ATV. Wah, pasti seru. Aku belum pernah menaiki kendaraan itu.Saat kami hendak keluar dan melalui loby hotel, sebuah suara juga sosok yang rasanya sangat kuhapal. Tentu saja, karena baru seminggu yang lalu kami bertemu. Aku dan dr.Radit langsung menghentikan langkah.Dia yang sedang berbicara dengan seorang wanita bercelana pendek dan memakai topi pun sama, dia berhenti dan menatapku juga dr.Radit bergantian.“Yas-min,” ucapnya mengeja namaku dengan mata berbinar.Dr.Radit langsung mengeratkan genggaman tangannya. Apalagi saat wanita yang sedang bersama Kak Jeff itu memasang wajah terpukau saat melihatku.“Inikah Yasmin itu?” pekiknya menghampiriku. Dia
“Yes, sure. Dia pasti tidak akan melepaskan Yasmin begitu saja. Karena itu, pertahankan dia, atau kau akan kehilangan dia selamanya. Jeff tidak akan menyia-nyiakan kesempatan.” Jennifer memperingatkan dr.Radit. “Terima kasih sudah memperingatkan,” sahut dr.Radit. “Kami akan pulang sore ini, karena itu kami pamit. Aku akan rekomendasikan hotel kalian pada teman-teman. Pelayanannya sangat memuaskan.”“Thank you. Oh ya, untuk liburan kalian kali ini anggap saja itu hadiah dariku untuk pernikahan kalian. Kalian tidak perlu membayarnya,” ujar Jennifer lalu menyeruput minuman dari gelasnya.“Tidak usah. Saya merasa tidak enak,” balas dr.Radit.“No, with my pleasure. Aku senang bisa membuat kalian bahagia datang ke tempat ini. datanglah kapan pun kalian mau. Aku akan siapkan tempat untuk kalian.” Jennifer berhenti, sepertinya sedang memikirkan sesuatu.“You know, aku sangat berterima kasih padamu, Yasmin. Karena kamu, dia punya semangat memperbaiki diri. Dia adalah anak paling bandel dan s
POV MaemunahTok, tok, tok.Siapa, ya, pagi-pagi begini udah bertamu? Nggak punya etika sama sekali. Aku lekas mengelap tangan yang basah karena lagi cuci piring dan gegas menuju pintu. Si Agus masih molor jam segini, begitu juga sama Mas Undang. Dua lakik gak ada guna. Pengen rasanya kutumbalkan saja pada siluman buaya, kali aja aku jadi mendadak kaya seperti yang pernah ditawarkan oleh Mbah Jamrong.Eh, tunggu, dari sosoknya rasanya itu Bu Kardun. Mau apa dia pagi-pagi begini? Mana larak-lirik ke kiri dan ke kanan pula, kayak yang takut ketahuan orang.“Eh, Bu Kardun. Ada apa pagi-pagi begini?” sapaku ramah, walaupun dalam hati masih ada mangkel juga dengan sikap Bu Kardun yang terakhir kali. Tapi … aku ingin tahu apakah jampi-jampi dari Mbah Jamrong itu bener-bener mempan? Baru saja kemarin aku dari dukun tua itu, dan sekarang sepertinya sudah menunjukan hasil yang memuaskan.“Ada yang ingin saya bicarakan dengan Bu Mae juga Agus,” katanya dengan mata masih saja larak-lirik ke kiri
“Kalau mau ngundang ustaz kondang nggak bisa asal undang, Bu. Harus hubungi manajernya dari jauh-jauh hari. Jadwal mereka sibuk,” timpal Agus. Duh, ternyata susah mau ngundang ustadz artis. Ngundang siapa, ya? aku memutar otak.“Sudah saja ustadz kampung sini aja, Bu. Biar nggak susah,” timpal Bu Kardun, tapi aku langsung menolaknya. Enak saja. Aku nggak mau kalau sampai Agus kalah sama si Adit.“Ya sudah, saya serahkan saja sama Bu Mae. Saya ikut saja apa yang Bu Mae inginkan,” ucap Bu Kardun akhirnya. Aku kembali bersorak.“Nah, begitu, dong. Pokoknya Bu Kardun tau beres saja. Yang penting, uangnya jangan lupa kasih ke saya,” ucapku mengedipkan sebelah mata.Bu Kardun melongo. “Lho, kirain karena semua sesuai rencana sesuai keinginan Bu Mae, maka dari itu semua biaya Bu Mae sama Agus yang nanggung,” ujar Bu Kardun seenaknya. Duit dari mana aku?“Ya sudah gini saja, biayanya setengah-setengah saja,” timpal Agus dan membuatku melotot.“Setuju,” sahut Bu Kardun dan aku kembali melongo
POV LilisPagi-pagi aku akan dihias untuk acara pertunanganku dengan Mas Agus yang akan dilakukan di balai desa. Sesuai keinginan calon ibu mertuaku, kami semua memakai baju merah sesuai dengan dekorasi.Namun, saat aku mencium bau parfum penata rias, rasa mual tak tertahankan lagi. Aku berlari ke toilet dan memuntahkan air pahit, karena belum ada apapun yang masuk ke dalam perut. Anak ini benar-benar menyusahkan. Nggak kayak bikinnya sampe merem melek, pas hamilnya bikin senewen aja.“Neng Lilis, kenapa?” beberapa ibu-ibu yang bantu-bantu di rumah terlihat penasaran. Mereka juga melirik pada perutku yang tentu saja masih rata. Kepo banget mereka.“Nggak kenapa-napa, paling juga masuk angin. Soalnya semalem dia susah tidur, udah nggak sabar.” Untung saja Ibu segera menjawabnya, karena aku males banget menjawab. Perutku semakin bergejolak karena aroma masakan yang sedang diolah. Rasanya aku ingin pingsan saja dan bangun keesokan harinya setelah semuanya sudah selesai.Ibu-ibu kepo itu
“Bodoh! Kamu mau makan apa kalau kawin sama si Wahyu? Sudah jelas-jelas Ibu jodohin kamu sama si Agus. Kalau misalnya kehamilan kamu semakin besar, paling si Agus bawa kamu ke Jakarta. Orang-orang nggak bakalan tahu. Minimal si Agus itu kerjaannya jelas. Keluarganya juga terpandang. Masa depan kamu bakal lebih baik kalau sama si Agus. Ngerti?!” bentaknya sambil berkacak pinggang.Aku mendengkus dan mengambil lagi selimut dari lantai, lalu kembali menutupi tubuh di atas kasur.“Ibu akan minta mempercepat pesta pernikahan kalian. Kalau perlu minggu depan sekalian. Ibu tidak mau kalau sampai orang-orang curiga dengan kehamilanmu, terutama keluarga Bu Mae.”Itu kalimat terakhir dari mulut Ibu yang kudengar. Sebodo. Aku pusing.**POV Maemunah.Lho, kok, si Lilis muntah-muntah? Mencurigakan. Apa dia lagi hamil? Nggak mungkin kalau anaknya si Agus, orang dia baru keluar dari penjawa beberapa minggu lalu. Apalagi orang-orang pada bisik-bisik soal si Lilis yang muntah, juga rasa masakan yang
“Gini, deh, Bu Mae. Saya yang bayar semua. Nanti saya ganti kerugian Bu Mae. Semua uang yang sudah Bu Mae pake booking, saya ganti, deh. Lagian, kemarin juga pake duit saya sebagian, kan? Pokoknya, kalau minggu depan Lilis sama Agus kawin, biar saya aja yang nanggung,” kata Bu Kardun. Mataku langsung ijo. Kenapa nggak dari dulu aja. Nggak perlu susah-susah pinjem duit ke bank juga, kan. “Ya, sudahlah, Bu Kardun. Saya dan Agus setuju,” jawabku cepat walaupun Agus melirik dan mengunjak kakiku. Pasti dia nggak setuju. Bener, bagus juga si Agus cepet-cepet kawin sama si Lilis, biar bocah gendeng ini nggak perlu mikirin lagi perempuan kampung itu. Aku membalas injakan kaki Agus, hingga dia meringis. Rasain! Dan akhirnya sampai juga ke acara kawinannya si Agus. Bener meriah. Tapi … bunganya kok cuman bunga mati? Gak ada acara lengser seperti waktu kawinan si Adit. Sampe-sampe orang terhibur sama atraksi Nini, Aki di acara lengser. Baju yang dipakai Lillis juga nggak sebagus bajunya si Y