POV LilisPagi-pagi aku akan dihias untuk acara pertunanganku dengan Mas Agus yang akan dilakukan di balai desa. Sesuai keinginan calon ibu mertuaku, kami semua memakai baju merah sesuai dengan dekorasi.Namun, saat aku mencium bau parfum penata rias, rasa mual tak tertahankan lagi. Aku berlari ke toilet dan memuntahkan air pahit, karena belum ada apapun yang masuk ke dalam perut. Anak ini benar-benar menyusahkan. Nggak kayak bikinnya sampe merem melek, pas hamilnya bikin senewen aja.“Neng Lilis, kenapa?” beberapa ibu-ibu yang bantu-bantu di rumah terlihat penasaran. Mereka juga melirik pada perutku yang tentu saja masih rata. Kepo banget mereka.“Nggak kenapa-napa, paling juga masuk angin. Soalnya semalem dia susah tidur, udah nggak sabar.” Untung saja Ibu segera menjawabnya, karena aku males banget menjawab. Perutku semakin bergejolak karena aroma masakan yang sedang diolah. Rasanya aku ingin pingsan saja dan bangun keesokan harinya setelah semuanya sudah selesai.Ibu-ibu kepo itu
“Bodoh! Kamu mau makan apa kalau kawin sama si Wahyu? Sudah jelas-jelas Ibu jodohin kamu sama si Agus. Kalau misalnya kehamilan kamu semakin besar, paling si Agus bawa kamu ke Jakarta. Orang-orang nggak bakalan tahu. Minimal si Agus itu kerjaannya jelas. Keluarganya juga terpandang. Masa depan kamu bakal lebih baik kalau sama si Agus. Ngerti?!” bentaknya sambil berkacak pinggang.Aku mendengkus dan mengambil lagi selimut dari lantai, lalu kembali menutupi tubuh di atas kasur.“Ibu akan minta mempercepat pesta pernikahan kalian. Kalau perlu minggu depan sekalian. Ibu tidak mau kalau sampai orang-orang curiga dengan kehamilanmu, terutama keluarga Bu Mae.”Itu kalimat terakhir dari mulut Ibu yang kudengar. Sebodo. Aku pusing.**POV Maemunah.Lho, kok, si Lilis muntah-muntah? Mencurigakan. Apa dia lagi hamil? Nggak mungkin kalau anaknya si Agus, orang dia baru keluar dari penjawa beberapa minggu lalu. Apalagi orang-orang pada bisik-bisik soal si Lilis yang muntah, juga rasa masakan yang
“Gini, deh, Bu Mae. Saya yang bayar semua. Nanti saya ganti kerugian Bu Mae. Semua uang yang sudah Bu Mae pake booking, saya ganti, deh. Lagian, kemarin juga pake duit saya sebagian, kan? Pokoknya, kalau minggu depan Lilis sama Agus kawin, biar saya aja yang nanggung,” kata Bu Kardun. Mataku langsung ijo. Kenapa nggak dari dulu aja. Nggak perlu susah-susah pinjem duit ke bank juga, kan. “Ya, sudahlah, Bu Kardun. Saya dan Agus setuju,” jawabku cepat walaupun Agus melirik dan mengunjak kakiku. Pasti dia nggak setuju. Bener, bagus juga si Agus cepet-cepet kawin sama si Lilis, biar bocah gendeng ini nggak perlu mikirin lagi perempuan kampung itu. Aku membalas injakan kaki Agus, hingga dia meringis. Rasain! Dan akhirnya sampai juga ke acara kawinannya si Agus. Bener meriah. Tapi … bunganya kok cuman bunga mati? Gak ada acara lengser seperti waktu kawinan si Adit. Sampe-sampe orang terhibur sama atraksi Nini, Aki di acara lengser. Baju yang dipakai Lillis juga nggak sebagus bajunya si Y
POV LilisKenapa jadi canggung gini ya? Padahal dulu aku begitu berani sama Mas Agus. Sampai-sampai aku sering sampering kalau dia pulang ke kampung sini. Mas Agus itu pemuda idaman setiap gadis di sini. Dia juga menjadi menantu idaman karena kerja di Jakarta sebagai seorang manajer di perusahaan bonafid, kata Bu Mae.Kita semua percaya, karena Mas Agus memang selalu berpenampilan keren. Setiap pulang ke sini pasti pakai mobil bagus. Beda sama dr.Radit, dulu kalau pulang ke sini paling naik angkot atau naik ojek. Nggak nyangka ternyata dia lebih mapan dari Mas Agus. Tahu gitu, dari dulu aku langsung deketin dr.Radit.Dulu nggak ada yang tahu kalau Radit itu menjadi seorang dokter. Bu Wati sama sekali tidak pernah bercerita pada tetangga di sini. Dia cuman bilang kalau Radit kerja di Jakarta sambil kuliah. Kami pikir, Radit hanya kerja biasa di pabrik. Penampilannya juga biasa saja, walaupun memang selalu rapi. Atau … apa mungkin karena dia tidak memakai mobil jadi terlihat biasa saja
Saat aku keluar, Mas Agus lagi duduk di kursi sambil merokok. Ya ampun, baunya bikin makin enek.Dia menatapku dari atas sampai bawah seperti binatang lapar. Semoga saja karena lagi ngebet dia gak sadar kalau aku nggak perawan.Mas Agus bangkit setelah mematikan rokoknya yang masih tersisa setengah. Menatapku lekat ke setiap sudut. Aku memang sengaja hanya memakai baju tidur yang pendek. Baju tidur yang bisa menampilkan keseksian tubuhku yang sintal.“Kamu lumayan cantik juga, Lis,” katanya. Tangannya mulai membelai ke rambut lalu turun ke pipi, bibir dan leher.“Dulu, malam pertamaku dengan Yasmin gagal, karena ibuku menuduhnya sudah tak perawan. Sekarang, aku harap kejadian seperti itu tidak akan terjadi lagi, karena kamu adalah pilihan ibuku. Aku yakin dia memilihkan jodoh yang terbaik,” katanya dengan deru napas yang mulai memburu.Mas Agus mulai mendaratkan ciumannya padaku. Permainannya biasa saja, masih lebih lihai si Wahyu. Mungkin, karena dia sudah sering melakukannya dengank
“Apa iya, Lilis?” tanya Bu Mae tegas.“Nggak, Bu. Itu cuman tuduhan Mas Agus aja. Bukan aku yang nggak perawan, tapi punya Mas Agus aja yang kekecilan.” AKu kembali beralasan. Wajah Agus memerah, mungkin karena malu atau juga marah karena rahasianya diungkap.Mas Agus maju, lalu ….Plak!Tamparannya mendarat di pipiku.“Bisa saja kamu cari alasan. Dasar lont*!” teriaknya. Aku terbelalak sambil memegangi pipiku yang perih.“MAsa iya, sih, punya kamu kecil, Gus?” Bu Mae menatap Agus dengan heran.“Ibu jangan dengarkan dia. Itu cuman karangannya saja. Dia memang sudah nggak perawan. Aku yakin itu!” Mas Agus berteriak marah.“Malam ini juga aku akan kembalikan kamu sama orangtua kamu. Aku ceraikan kamu,” kata Mas Agus.“Gus, jangan gitu. Masa kamu mengulang lagi masa lalu? Dulu sama si Yasmin, kamu cerai di saat malam pertama. Dan sekarang, kamu cerai lagi di malam pertama. Ibu malu … Gus, maluuuu,” kata Bu Mae berusaha mempertahankan. Hahaha. Bagus. Lumayan, ada yang belain.“Heh, Lili
POV AgusAneh, masa iya segampang itu kalau si Lilis masih perawan? Dia tidak terlihat kesakitan sama sekali. Apa aku tanya yang lain saja ya? Apa iya mereka juga semudah itu?Aku akan coba hubungi Wawan. Dia baru beberapa bulan yang lalu kawin, pasti masih ingat.Aku akan keluar dulu sambil mencari angin segar. Sumpek juga rasanya lihat si Lilis. Bikin aku ingat lagi kejadian tadi.Tuuutt. Tuuutt.“Halo?”“Halo, Wan. Sorry ganggu lu malem-malem. Gue cuman mau nanyain sesuatu yang agak tabu. Soal … soal malam pertama.” Aku hentikan kalimat, karena malu rasanya.Wawan tertawa. “Memangnya kenapa? Eluu belum bisa nembus? Sabaar, gue juga beberapa hari baru bisa lolos. Namanya pengantin baru, jangan terburu-buru,” jawabnya. Aku langsung garuk kepala yang tak gatal.“Justru itu, Wan. Kok gue tadi gampang banget, ya? Masa sekali langsung lolos. Gue jadi curiga, kalau—““Kalau bini elu udah gak perawan? Bisa jadi, Gus. Setau gue, namanya pertama itu pasti seret. Gue, kan, udah 2 kali dapet p
POV Santi.Waduh, jam segini kuda nil masih ngorok aja. Badannya semok, bajunya kebuka nggak beraturan. Perutnya berlipat-lipat kayak emak-emak. Apa ini perempuan pilihan Ibu? Kasian juga si Agus.“Lis, bangun.” Aku berbisik sambil menggoyangkan tubuhnya. Dia mengerjap.“Mbak Santi? Kok di sini? Ngapain?” tanyanya. Dia celingak-celinguk. “Mas Agus mana?”“Dia udah bangun, lagi di luar. Eh, cepetan kamu tampung air pipis, ke sini,” bisikku.Lilis mengernyit. “Buat apaan?” tanyanya.“Kata Ibu, buat dicampur ke minumannya Agus. Biar dia jadi cinta mati sama kamu. Biar tambah nurut.” Aku kembali berbisik. Lilis langsung membulatkan mulutnya.“Ooh. Bentar, Mbak. Tunggu, ya,” katanya langsung bangun dan menyambar mangkuk kecil dari tanganku.“Yes, berhasil,” aku memekik pelan. Tanpa menunggu lama Lilis udah kembali dan memberikan mangkuk kecil berisi air kencingnya Lilis. Duh, bau jengkol. Aku menutup hidung.“Maaf, Mbak, agak bau jengkol, soalnya kemarin semur jengkolnya enak banget,” kata