“Kenapa dengan adikmu?” ujar pria berpakaian loreng di depannya lagi.
Budi sempat terdiam. Ia mencoba mencari jawaban yang singkat agar bisa pergi dari lokasi itu secepatnya.
“Dia ketakutan pak?” ujar Budi lagi. Pria yang bertanya tadi kemudian terdiam. Dia mundur beberapa langkah. Namun pria lainnya di belakang kembali bersuara.
“Ah kalian ini. Sama kami takut. Sama tentara nanggroe tidak. Jangan-jangan kalian anak orang GAM ya,” ujar pria itu tiba-tiba.
Wajah Budi hampir bias mendengarkan penuturan itu. Keadaan kian runyam. Ia tak mau memperpanjang urusan dengan tentara itu.
Budi memilih meneruskan langkah tanpa menjawab. Namun sikapnya ini justru membuat para tentara itu marah karena abai atas pertanyaan mereka.
“Hey bocah. Kau jawab dulu. Kalian anak GAM ya?” ujar pria tadi lagi sambil bergerak cepat ke arah mereka. Dalam hitungan menit, sosok itu sudah di depan Budi dengan posisi senjata k
SEPEKAN berada di rumah Ruslan membuat Sakdiah serba salah. Apalagi anaknya yang terkecil, Ibnu Haidar, selalu menjerit ketika melihat baju loreng milik Ruslan. Padahal, Ruslan sendiri memperlakukan mereka dengan sangat baik.Tempat itu nyaman baginya dan budi, tapi tidak bagi Haidar. Si Kecil bahkan sering bermimpi buruk ketika malam hari tiba.Sakdiah akhirnya meminta izin pada Ruslan untuk pamit. Namun Ruslan sendiri menolak keinginan Sakdiah.“Kakak bertahanlah beberapa hari lagi di sini hingga aku bisa menemukan rumah yang cocok untuk tinggal sementara,” kata Ruslan, Senin malam.“Kakak tak perlu merasa bersalah atas sikap Si Kecil. Kami sudah terbiasa dengannya. Dia masih anak-anak, tak mengerti dengan kondisi yang sedang terjadi,” ujar Ruslan. Pria itu terlihat sangat dewasa dan peduli.“Atau kakak bertahanlah hingga Bang Fiah datang menjemput. Atau hingga kita menemukan tempat tinggal yang cocok untuk kakak dan
DI Panton, Sakdiah dan dua anaknya berjalan kaki menelusuri kota kecil itu. Ia kalut karena harus meninggalkan rumah duka tanpa tujuan. Ia juga sedih atas tragedi yang menimpa almarhum Ruslan.Istri Ruslan juga menitip sejumlah uang kepada dirinya. Pria yang diminta menjaga mereka tadi hanya mengantar hingga ke jalan tembus menuju kota. Ia harus kembali untuk melaksanakan fadhu kifayah untuk abang iparnya itu.Di tengah kepanikan, ia tiba-tiba teringat dengan kampung halamannya di Nicah Awe. Sakdiah bertekad untuk pulang.Tak peduli sedang dicari oleh tentara republic, Sakdiah hanya berharap ada tempat berteduh bagi anak-anaknya nanti. Ia tak ingin lagi ada orang yang terluka dan menderita karena menampung mereka.Sakdiah menyetop bus antar kota ke arah Medan. Uang pemberian istri almarhum Ruslan digunakan untuk ongkos pulang. Hanya beberapa penumpang saat itu. Selama konflik, memang tak banyak warga yang rela menempuh perjalanan. Faktor razia dadakan ser
BUDI menelusuri desa. Ia mencari beberapa penghubung tentara nanggroe, yang diketahuinya, dekat dengan ayahnya. Haidar mengekor dari arah belakang. Bocah itu memang tak bisa jauh darinya selama beberapa bulan terakhir, terutama pasca abang tertua mereka dijemput paksa dan tidak ada kabar hingga kini.Bocah itu ngotot ingin ikut. Padahal misi yang diembannya cukup berbahaya.“Dar, kalau pulang saja. Kau jaga mamak di rumah Teungku Baka. Kasihan Mamak sedang sakit,” ujar Budi kepada adiknya itu di pematang sawah.Namun anak itu tetap menggeleng kepala. Ia keras kepala seperti abang tertua dan ayahnya yang kini entah di mana.“Aku ingin ketemu ayah. Dar ingin bilang kalau rumah kita gak ada lagi dan mamak sakit, sama ayah,” kata bocah tadi.Budi akhirnya menarik nafas panjang. Berdebat dengan adiknya itu hanya akan menghabiskan waktu. Sementara dia memang harus bertemu dengan salah seorang penghubung agar bisa berkomunikasi den
Haidar melempar lumpur ke barisan tentara. Bocah itu melakukan hal tadi berulang kali. Sejumlah tentara menjerit kesakitan. Lumpur mengenai wajah mereka dan masuk ke mata.Kuncian kaki Budi jadi longgar. Beberapa tentara menjauh karena tak dapat melihat. Dua orang di antara mereka tersungkur jatuh. Senjata mereka terlempar ke pangkuan Budi.Budi bermaksud mengembalikan senjata tadi kepada pemiliknya. Namun saat dia hendak bangun, rentetan peluru justru terdengar.“Tum, tum, tum,…tum.”Wajah Budi pucat. Sejumlah peluru bersarang di tubuhnya. Bajunya memerah. Percikan darah membasahi wajah Haidar.Ia roboh seketika ke lumpur. Ia yakin ini akhir dari perjalanan hidupnya selama ini. Namun Budi berharap masih bisa memeluk Haidar untuk terakhir kalinya. Menenangkan bocah itu sebelum ajalnya tiba.Namun matanya terlalu berat untuk dibuka. Tubuhnya dingin. Saratnya tak lagi berfungsi. Dunianya gelap dan tertutup untuk selamanya.
Pedalaman Bener Meriah Awal 1998TEUNGKU FIAH mengamuk. Ini baru kali pertama orang tua itu terlihat begitu marah. Sejumlah ilalang di depannya dibabat habis.Kemarahannya mencapai ubun-ubun. Seakan ada bom yang meledak dalam tubuhnya. Hatinya hancur berkeping-keping.Ia benar-benar terluka tatkala mengetahui anaknya yang kedua tewas di ujung senjata tentara republic. Ia ingin cepat-cepat kembali ke Nicah Awe untuk melihat pemakaman terakhir untuk anak itu.Namun perintah komandan, ia tidak boleh turun gunung. Minimal hingga keadaan sedikit aman dan tenang. Sejumlah pasukan gabungan siaga di lokasi. Tak hanya dari wilayah Peureulak, tapi juga Pase dan Gayo, kini bergabung di lokasi itu.Rencananya akan ada rekrutmen pasukan baru.“Kalau turun, teungku tak lagi diizinkan kembali ke pasukan.”Begitu perintah yang datang dari para pimpinan di sana. Biarpun dirinya termasuk yang dituakan dalam perjuangan, teta
Hampir dua malam Teungku Fiah dalam kondisi terikat. Ia terus merontak-rontak untuk mengendurkan tali yang mengikat tangannya. Usahanya ternyata tak sia-sia. Di hari ketiga, tali yang melilit tangannya sedikit melonggar. Ia berhasil melepas ikatan di tangan dan kakinya.Saat itu suasana masih pagi. Seluruh pasukan berkumpul di atas bukit untuk apel dan pembagian tugas. Inilah kesempatan untuk lari. Ia hanya menunggu penjagaan longgar dan kemudian kabur.Saat suasana sepi. Ia mencoba keluar dari kamp yang dijadikan penjara oleh tentara nanggroe dan kemudian menelusuri hutan seorang diri.Senjatanya sudah dilucuti saat ditangkap beberapa hari lalu. Kini ia hanya memiliki pisau ukuran kecil untuk bertahan hidup.“Mudah-mudahan tak bertemu tentara republic di hutan. Kalau ular dan binatang justru bisa jadi makanan,” gumam Teungku Fiah.Tujuan Teungku Fiah ke arah timur untuk mencapai perkampungan. Dari sana, ia mungkin bisa bertemu beberapa
“Ngapain kau ke sumur magrib-magrib?” suara itu terdengar. Jumlah mereka diperkirakan lebih 10 orang. Di dalam rumah, wajah Teungku Fiah mulai pucat basi. Ia khawatir jika kedatangannya ke rumah itu sudah terpantau. Surat langkah terdengar mengelilingi rumah. Teungku Fiah sudah terkepung. “Untuk wudhu pak?” jawab sang pemuda tiba-tiba. “Untuk wudhu ayah saya yang sedang sakit di dalam rumah,” ujarnya lagi. Wanita paruh baya di dalam rumah menarik tangan Teungku Fiah untuk masuk dalam kamar. Ia memberi isyarat kepada Teungku Fiah untuk mencopot seluruh pakaiannya yang dikenakannya. Wanita itu menyerahkan kain sarung dan baju tua untuk dikenakan Teungku Fiah. Teungku Fiah menuruti permintaan wanita tadi. Ia tahu bahwa semua ini dilakukan untuk keselamatan dirinya. Sang wanita tua tadi juga meminta Teungku Fiah untuk tidur di atas kasur miliknya. “Druk.” Pintu rumah tiba-tiba terdobrak. Sejumlah pria berpakaian mil
USAI para pria berbaju loreng itu berlalu, Teungku Fiah mengucapkan terimakasih berulang kali kepada keluarga yang sudah membantunya itu. Ia bersyukur mendatangi rumah yang tepat.Wanita itu bertindak cepat saat saat genting tadi. Jika seandainya wanita tua tadi tak membantunya, nyawa Teungku Fiah tentu sudah melayang. Apalagi kini ia tak memiliki senjata untuk memberi perlawanan.Teungku Fiah kemudian salat dan menyantap sedikit nasi yang telah disediakan yang punya rumah. Sedangkan nasi kaleng yang diserahkan TNI tadi diletakan di dapur.Makanan itu dilahabnya dengan cepat. Ia memang benar-benar lapar.Sementara pemuda seumuran anaknya itu bernama Firmansyah. Ia alumni salah satu universitas di Banda Aceh. Ibunya bernama Rohana.Firman, demikian pria itu disapa, pulang kampung untuk menjaga ibunya yang kini tinggal seorang diri.Malam ini, ia memutuskan untuk menginap. Ia khawatir jika tentara tadi masih bertahan di perkampungan itu untuk