MEMASUKI kawasan Krueng Geukuh, suasana kembali sepi. Hanya beberapa kendaraan roda empat yang melintas. Wajah Irwan terlihat sedikit tegang. Pasalnya, dari informasi yang didapatnya, dari kawasan tersebut hingga Krueng Mane, tentara republic sering menggelar razia kendaraan.
“Bismillah,” ujarnya pelan tapi suaranya sampai juga ke telinga Teungku Fiah.
“Isya Allah tuhan bersama kita, anakku. Isya Allah aman,” ujar Teungku Fiah tiba-tiba. Mendengar ucapan Teungku Fiah, Irwan justru merasa tak enak hati. Ia seolah menebar ketakutan kepada dua pasukan nanggroe dan keluarga yang sedang di antarnya tersebut.
Keselamatan mereka bersama kini ada di tangannya.
“Teungku mohon dibaca doa peurabun beh. Masih ada ilmu di pesantren dulu kan,” ujar Irwan lagi mencoba bercanda.
Teungku Fiah mengangguk. Ia terlihat berkomat kamit serius. Entah apa yang sedang dibacanya. Demikian juga Mustafa.
Memasuki kawasan Bungkah, jalanan terlih
Ketiga tentara muda itu saling pandang. “Ya sudah kalau begitu. Kau jalan. Hati hati di jalan. Kalau ketemu dengan orang GAM, kasih tahu kami,” ujar salah seorang di antara mereka. Jantung Irwan yang awalnya berdetak cepat, tiba-tiba berubah plong. Irwan benar-benar tak menduga jika pemeriksaan terhadap dirinya berlangsung cepat. Terlebih lagi, para tentara juga tak memeriksa isi mobil. Irwan buru-buru mengangguk. Ia bergegas ke posisi sopir dan segera melaju dengan kecepatan sedang. Irwan tak ingin ketiga tentara tadi berubah pikiran dan memeriksa isi mobilnya lebih lama. Sedangkan Teungku Fiah dan Mustafa tak berbicara sedikit pun. Demikian juga Sakdiah dan gadis muda di sampingnya. Keduanya sempat berkeringat dingin ketika melihat ujung senjata milik tentara tadi. Sedangkan bocah dalam pelukan Sakdiah masih terlelap nyenyak. Mobil L300 itu kemudian melaju dengan kecepatan sedang meninggalkan kerumunan mobil yang masih menjalani peme
Darussalam, 2016 Haidar terdiam. Ia mengamati baju dan toga di depannya itu berulangkali. Beberapa hari lagi, ia akan mengenakan baju impian dari orangtuanya itu. Senat Umayah akan menarik tali di ujung toga itu sebagai tanda ia telah sarjana. Ini adalah harapan terakhir ayahnya semasa hidup. Pengorbanan dari ibunya yang selalu tersenyum tapi diam-diam menitihkan air mata dalam sujudnya di tengah malam. Ibu yang menanggung beban seorang diri pasca ditinggal syahid sang ayah di medan perang karena konflik. Mengingat almarhum ibunya, hati Haidar terasa sakit. Ia sempat membenci tuhan atas takdir yang mempermainkan hidupnya. Namun ia kemudian sadar bahwa ada banyak anak Aceh lainnya yang mengalami nasib serupa dengannya. Ada kampung janda, bukit tengkorak serta sejumlah tragedi mengerikan lainnya di kampung kampung seluruh Aceh. Namun itu masa lalu. Kini Aceh sudah damai. Haidar tak mau ia terjebak dengan masa lalu Aceh yang begi
SEJUMLAH pesan singkat mulai ke handphone sehari jelang wisuda. Pesan itu berisi undangan makan-makan bersama dari para calon sarjana. Haidar sendiri tak mengadakan acara makan-makan. Pertama, ia tak memiliki uang yang bisa digunakan untuk pesta keci-kecilan dalam rangka kelulusan. Sedangkan yang kedua, ia juga tak seperti calon sarjana lainnya yang memiliki keluarga. Sementara kawan-kawannya memiliki hajatan masing-masing. Haidar melihat sejumlah pesan singkat yang masuk ke handphone dalam kamar asrama. Termasuk pesan dari Rina yang juga akan diwisuda sepertinya. Beberapa hari terakhir, Haidar memang lebih banyak menghabiskan waktu dalam kamar. Haidar bimbang antara datang ke Mbak Moel untuk memenuhi undangan Rina atau tidak. Ia ingin meminta maaf pada gadis itu karena menjaga jarak dengannya selama ini. Mungkin, hajatan kecil yang dibuat Rina adalah pertemuan terakhir mereka. Karena setelah wisuda nanti, mereka akan sulit bertemu. Haidar sen
“Sefti,” gumam Haidar.Haidar mendekat dengan penuh keraguan. Ia takut jika kehadirannya justru menganggu komunikasi antara Insani dan gadis itu. Haidar menduga jika Insani adalah pria misterius yang selama ini membuat Sefti tak menghubunginya.Namun ia sudah palang tanggung. Kehadirannya sudah dilihat oleh kedua sosok itu.Haidar mencoba bersikap tenang. Wajahnya kemudian menyorot seisi kantin. Ada beberapa orang asing di sana tapi tak satupun dikenalnya. Ia mencoba mencari orang yang dibilang oleh Gunawan ingin ketemu dengannya. Namun di luar Insani, hanya Sefti yang dikenalnya di sana.“Mungkinkah Sefti yang mencariku?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian berjalan untuk mendekati meja tempat Insani dan Sefti duduk.“Hai San. Hai Sefti, apa kabar. Sorry jika aku menganggu nie. Tadi Gunawan bilang ada yang cari aku. Makanya ke kantin,” ujarnya pelan. Ada rasa cemburu dalam kalimatnya itu.Insani paham de
USAI Salat Subur, Haidar mulai merapikan diri. Ia memakai baju putih dan celana kain hitam. Ada juga sepatu dan jas hitam yang dipinjam dari Insani. Hari ini ia berpenampilan beda dari biasanya. Meskipun sepatu bermerek yang dipakaiannya adalah pinjaman belaka. Haidar mematung beberapa lama di depan kaca. Ia hampir tak mengenali dirinya sendiri. “Cukup ganteng. Mudah-mudahan setelah hari ini, garis hidupmu berubah, Dar,” ujar Insani tiba-tiba. Sosok ini berdiri di pintu kamar. Ia terlihat tersenyum di samping Gunawan yang juga terlihat sedang memandanginya. Kedua sosok itu juga terlihat berpakaian rapi. Haidar memandingi kedua kawan se-asrama ini dengan alis berkerut. Kemudian ia tiba-tiba tersenyum. “Kalian ikut aku juga ke lokasi wisuda? Terimakasih Wak, Dek Gun. Kalian temanku yang sangat baik,” ujar Haidar senang. Ia tidak memiliki keluarga kandung di hari wisuda, tapi ia masih memiliki sahabat. Insani tersenyum. Demikian juga deng
MOBIL itu dikemudi oleh Insani. Gunawan duduk di sisi kirinya. Sementara Sefti dan Haidar ditempatkan di deretan kedua. Mereka berdua terlihat sangat serasi. Seperti mempelai yang hendak menuju ke KUA.“Semoga kalian berdua dijodohkan,” ujar Insani sambil melirik Haidar dan Sefti dari kaca spion. Sefti tersenyum mendengar pengakuan Insani. Sementara Haidar berwajah merona tapi tak merespon perkataan Insani.Dari asrama, mobil itu mengarah ke AAC Dayan Dawood. Jaraknya sekitar satu kilometer.Sefti merapikan baju Haidar sebelum ia turun dan bergabung dalam antrian panjang para sarjana yang akan dikukuhkan beberapa jam lagi.Kebersamaan mereka berdua sempat diabadikan oleh Insani melalui kamera handphone secara diam-diam.Senyum keduanya terlihat lepas. Haidar seperti bahagia didampingi oleh Sefti meski tak memiliki keluarga untuk datang ke acara spesialnya.Insani dan Gunawan kemudian memilih menuju kantin untuk ngopi pagi.
PROSESI wisuda berakhir beberapa menit jelang azan Dhuhur. Sederetan upacara skaral dilalui Haidar dengan baik. Ia kini resmi menyandang gelar S.Pd. Title tingkat pertama untuk para sarjana pendidikan.Namun saat hendak keluar ruangan untuk bertemu dengan Sefti dan Insani. Di pintu keluar, ia berpas-pasan dengan Rina. Gadis mungil itu terlihat anggun dengan baju batik serta toga yang dikenakannya.“Dar, jadikan ke syukuran kecil-kecilan aku?”tanya Rina.“Aku tak bermaksud apa-apa kok! Aku tahu kalau kamu hanya menganggap aku teman. Aku restui kamu dengan Sefti. Aku sudah tahu semua kok. Yang aku harapkan, kamu bisa datang ke acaraku. Mungkin ini, bisa jadi pertemuan kita yang terakhir,” ujar Rina dengan nada pasrah.Haidar sempat bingung dengan kalimat Rina soal restu dan Sefti. Namun pernyataan Rina terakhir lebih penting untuk dijawab.“Boleh. Tapi aku datang bawa kawan ya,” ujar Haidar kemudian.Rina me
Sefti memberi isyarat ke Insani sambil menunjuk ke arah ayahnya. Insani yang awalnya garuk-garuk kepala akhirnya tahu apa yang terjadi. Ia mendekati Haidar dan mengajak sosok itu ke toilet dengan alasan minta ditemani. Untungnya, Haidar dengan cepat mengangguk tanda setuju. Keduanya kemudian melangkah ke arah belakang. Insani mencoba memisahkan Haidar agar tak ketemu dengan ayah Sefti yang sedang berpakaian loreng. Insani yakin jika Haidar shock jika mengetahui ayah Sefti, komandan Gusti, adalah seorang tentara. Di toilet, ternyata ada beberapa pengunjung yang sedang antri untuk tujuan yang sama. Insani justru senang akan keadaan tersebut sehingga mereka memiliki waktu yang relative lama untuk menghindari. “Dar, kita ke masjid aja yok. Aku tak tahan lagi nie,” ujar Insani beralasan agar mereka bisa keluar dari Café Mbak Moel. Haidar lagi-lagi mengangguk tanpa membantak. Haidar memang tipe orang yang setia kawan dan baik hati. Keduanya kemudian