HARI hari berlalu dengan cepat. Sefti mulai jarang bertemu dengan Haidar. Ini karena ia sedang focus pada skripsi. Mereka hanya berkomunikasi via handphone.
Sefti menargetkan bisa selesai tepat waktu. Paling lamban, pertengahan 2018 mendatang, target melanjutkan magister di Australia.
Haidar akan mengambil masgister social atau pendidikan, dan Sefti sendiri menargetkan lanjutan ke magister komunikasi. Salah satu sasarannya adalah University of Sydney yang terletak di Sydney, Australia.
University of Sydney merupakan universitas yang sangat bergengsi di Australia, masuk dalam peringkat top 50 dunia versi Times Higher Education dan peringkat ke 3 Australia. University of Sydney didirikan pada tahun 1850 yang menjadikannya sebagai kampus tertua yang dibangun pertama kali di Australia.
Berlokasi di kota Sydney yang merupakan satu kota yang termasuk top 10 kota paling nyaman untuk dihuni didunia, sydney juga sudah sangat diakui dunia dalam hal kualitas pen
Pertengahan 2017 Sefti dan Insani akhirnya diwisuda. Insani telat satu tahun dari jadwal semestinya. Insani didampingi oleh kedua orangtuanya yang datang dari Aceh Jaya. Ia menggelar hajatan kecil-kecilan di salah satu rumah makan di seputaran Kota Banda Aceh. Haidar turut diundang untuk hadir ke sana. Yang anehnya, justru Sefti yang tak menggelar hajatan makan-makan seperti sarjana lainnya. Padahal, Sefti termasuk dari keluarga yang berada. Ini terlihat dari caranya berpakaian hingga aktivitas yang ditunjukannya selama ini. “Aku ingin berhemat. Hitung-hitung untuk nabung ke Australia nantinya,” ujar Sefti beralasan saat ditanya oleh Haidar terkait keputusannya itu. Haidar sendiri mendukung keputusan tersebut. Usai prosesi wisuda, gadis cantik peranakan Jawa-Aceh ini langsung menghilang dari kerumunan. Haidar menduga ada sesuatu yang ‘aneh’ dengan prilaku Sefti itu. Terlebih, tak satupun orangtuanya yang hadir ke AAC Dayan Daw
Haidar akhirnya balik kiri dan pulang ke kos di Kahju. Hari ini, ia memutuskan untuk tak berjualan di Warkop Pinggir Kali. Jantungnya berdetak kencang. Ia benar-benar tak menyangka jika Sefti tega mengkhianati dirinya. Haidar gelisah. Ia berulang kali menyakinkan diri bahwa apa yang dilihatnya tadi hanya halusinasi. Hanya ketakutannya yang berlebihan dan itu tidak benar adanya. Haidar mencoba tidur. Namun matanya tak juga bisa terpejam. Momen Sefti memeluk pria berpakaian loreng terus berulang di matanya. Ada trauma yang mendalam setiap kali ini melihat baju loreng. Kisah kelam di masa lalu kembali melintas di-ingatannya. Suara letusan senjata bergema seolah nyata. Darah yang mengalir di bajunya saat Budi roboh di depan mata. Penculikan paksa abangnya Raman. Mayat pamannya yang ditarik dalam karung di sungai Arakundo. Rumahnya yang tinggal puing. Tangisan sang ibu yang memeluk jasad ayahnya. Suara jeritan warga seolah melintas satu persatu di ingatann
Haidar seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan Insani. Ia tidak percaya bahwa selama ini ia mencintai anak seorang tentara. Sefti ternyata anak seorang tentara. Sementara dirinya adalah korban konflik yang memiliki sejarah kelam di masa lalu, saat Aceh masih berkonflik. Tak salah Sefti memang jika dia lahir dari keluarga tentara. Tapi untuk melupakan masa lalu juga sangat sulit bagi Haidar. Ia mungkin tak memiliki ideologi kuat seperti anak GAM pada umumnya. Tapi ingatan tentang masa lalu tetap menghantui hidupnya. Selama ini, Haidar begitu terus terang kepada Sefti bahwa ia membenci seragam loreng. Hati Sefti pasti remuk. Namun sosok itu masih tetap tersenyum ke arahnya. “Haruskah aku terus menyimpan dendam ini?” gumam Haidar dalam hati. Ia kemudian terdiam. Ia terdiam lama. Hatinya hancur dengan kenyataan yang disampaikan Insani. Haidar tak peduli jika Sefti adalah keturunan Jawa. Ayahnya semasa hidup tak berjuang melawan su
Pertengahan 1998 SUASANA di pedalaman Matang, Bireuen, terasa tak biasa. Angin yang biasanya berhembus kencang terasa tenang malam ini. Kicauan burung tak terdengar. Bahkan suara jangkrik pun seolah menghilang entah kemana. Para santri tertidur lelap di asrama masing-masing. Mereka mungkin telah terbuai dengan mimpi. Hanya beberapa lampu dayah yang masih menyala. Jam menunjukan pukul 00.23 dini hari. Tapi Teungku Fiah masih belum bisa memejamkan mata. Ini merupakan pekan kedua, ia dan keluarga, berada di komplek dayah di pedalaman Bireuen tadi. Teungku Fiah terlihat gelisah. Berulangkali ia balik badan di kasur kecil yang ditempatinya bersama Sakdiah. Sementara Haidar, anaknya yang tersisa, terlihat lelap di kasur lainnya yang berada tak jauh dari tempat tidur mereka. Gerak Teungku Fiah yang gelisah membuat Sakdiah terjaga. “Kenapa Abang gelisah tiba-tiba? Apakah ada sesuatu yang tidak bereh?” ujar Sakdiah. Ia kemudian
MALAM kian larut. Suara mobil reo tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Beberapa guru dayah ke luar dari bilik. Mereka terkejut saat melihat Mustafa memegang AK-47 dan pistol FN di tangan Teungku Fiah. Salah seorang di antara mereka kemudian mendekat. Pria itu adalah Teungku Wan, ia termasuk salah seorang guru senior di dayah itu. “Teungku-teungku lebih baik ke rumah pimpinan saja. Di sana lebih aman. Saya jamin tentara tak akan masuk ke sana,” ujarnya. “Kalau teungku membalas tembakan di sini. Dayah ini akan terbakar. Kasihan anak-anak miskin yang belajar di sini,” kata Teungku Wan lagi. Apa yang disampaikan oleh Teungku Wan memang benar adanya. Mustafa dan Teungku Fiah bisa saja membalas tembakan jika tentara republic masuk dayah dan mencari mereka. Namun yang dikhawatirkan justru efek pasca perang terbuka terjadi nantinya. Dayah akan dibakar. Suara reo kian terasa dekat. Suara itu terdengar jelas dari arah jalan desa. “Teungku Azwir, t
TEUNGKU Fiah dan Mustafa saling pandang. Mereka akhirnya tahu kenapa tentara republic akhirnya masuk dayah. “Ada cuak ternyata teungku,” bisik Mustafa ke telinga Teungku Fiah. Sementara Teungku Fiah mengangguk berulangkali. Dayah yang mereka tempati saat ini memang pro terhadap perjuangan tentara nanggroe. Namun selama ini tetap beraktivitas seperti biasa. Baru kali ini digerebek seperti sekarang. Teungku Fiah berharap suara senjata tadi hanya peringatan dan tembakan ke atas oleh tentara republic. Teungku Fiah tak ingin ada korban karena para teungku-teungku itu menjaga mereka. “Tum, tum, tum…..” Suara itu kembali terdengar. Kemudian disusul dengan suara jeritan orang-orang di luar kamar. “Sudah, sudah. Jangan ada tembakan lagi.” Seseorang terdengar berbicara setengah berteriak. Suara itu terdengar jelas hingga ke dalam kamar yang ditempati Teungku Fiah dan Mustafa. “Bawa mereka. Ini peringatan bagi siapa saja yang menc
DARI Matang, Bireuen, mobil Dam Truk yang disupiri oleh Ridwan memutar ke arah timur. Melintasi jalan raya untuk menuju Panton Labu. Tak ada rintangan yang berarti sepanjang perjalanan. Minimal hingga Lhokseumawe. Baik Teungku Fiah dan Mustafa lebih banyak tidur dan terdiam sepanjang jalan. Semalam mereka tak bisa tidur sama sekali. Suara jeritan dan letusan senjata api seolah masih terdengar di telinga mereka. Mereka sering melalui perang besar. Bahkan beberapa anggota pasukan Teungku Fiah syahid dalam pertempuran. Namun itu adalah jalan hidup mereka. Mereka sudah siap untuk menuai ajal dalam kondisi apapun. Namun kali ini, kasus sedikit berbeda. Yang meninggal adalah Teungku dayah yang mengabdi diri di jalan agama. Ridwan sendiri tahu dengan kondisi yang terjadi. Setidaknya, Lemha telah melaporkan beberapa keadaan pada dirinya sebelum diminta untuk menjemput dua petinggi sagoe Simpang Ulim itu. Ridwan focus pada jalanan yang masih sepi. Hari
TEUNGKU Fiah terdiam mendengar perkataan Ridwan. Ia tak pernah menyesali pilihan hidup yang ditempuhnya selama ini. Hanya saja, ia telah melihat kematian dari orang-orang yang tak bersalah. Ada teungku-teungku dayah di Matang yang harus menuai ajal. Ada Ruslan yang juga ditembak oleh pria misterius. Meskipun TNI, Ruslan selama ini sangat dekat dengan gerilyawan Aceh. Kemudian ada juga Budi, almarhum anaknya. Ia yakin, ada banyak kematian tiap hari di Aceh. Ada yang terungkap dan terabaikan begitu saja. “Aku tak pernah ragu dengan perjuangan Aceh. Kita pantas untuk merdeka. Minimal jika kita melihat prilaku pusat terhadap kita selama ini. Hanya saja, perjuangan ini telah banyak mengorbankan anak bangsa. Darah yang mengalir di negeri ini sudah terlalu banyak,” kata Teungku Fiah. Teungku Fiah kemudian terdiam. Ia seperti mencari-cari kalimat yang tepat untuk diungkapkan. “Di sini lain, TNI yang kita musuhi itu juga mayoritas beragama Islam. Kita