Pagi itu, Malik menyaksikan semuanya.
Adegan panas yang terjadi antara Isna dengan Wildan di dalam mobil Wildan meski hanya berupa siluet karena keadaan yang gelap. Tapi sorot lampu jalan yang tepat terarah ke mobil Wildan membuat Malik bisa merasakan betapa panas cumbuan Wildan terhadap Isna begitu pun sebaliknya.Malik masih terus menyaksikan adegan itu dari dalam mobilnya yang terparkir tepat di belakang mobil Wildan terparkir.Hingga setelahnya, Malik melihat Isna yang tiba-tiba berlari keluar.Setelah mobil Wildan pergi, Malik buru-buru keluar dan menyusul Isna ke kediamannya.Diketuknya pintu kamar Isna beberapa kali."Isna, kamu sudah tidur? Ini aku Malik," kata lelaki itu dengan segenap api cemburu yang seolah ingin meledak ke permukaan.Pagi itu, Malik tak mampu lagi menahan diri.Lelaki itu benar-benar menuntaskan kewajibannya sebagai seorang suami terhadap Isna, begitu pun sebaliknya.Isna tiFLASH BACK ON...Seharian ini setelah beristirahat selama beberapa jam di kediamannya, Wildan berniat untuk mendatangi Isna.Dia ingin mengajak Isna menghadiri acara yasinan nanti malam di kediamannya. Selain itu, Wildan juga ingin meminta maaf atas sikap kurang ajarnya pada Isna tadi pagi di mobil.Wildan sadar dirinya sangat kalut setelah mengalami tragedi kecelakaan itu hingga membuatnya lepas kontrol. Isna pasti marah padanya sampai puluhan pesan yang dia kirim sejak tadi pagi tak ada satu pun yang dibalas.Wildan baru saja memparkirkan mobilnya di tepi jalan tak jauh dari gang kediaman Isna.Lelaki berkemeja hitam itu pun melangkah keluar dari mobil dengan membawa setenteng buah tangan untuk Ayah Isna."Assalamualaikum," ucap Wildan memberi salam setelah lima menit dia berjalan kaki dan sampai di depan teras kediaman sang kekasih."Waalaikum salam," sahut sebuah suara dari arah dalam.Suara Hasna.Melihat kedatangan Wildan, wajah Hasna tampak bingung. Hal itu terbukti dari keruta
Jam di dinding ruang keluarga terus berputar, namun tak ada pergerakan dan suara yang terdengar dari mulut ketiga manusia yang sejak tadi duduk di sofa ruang keluarga.Mereka adalah Malik, Isna dan Wildan.Sejak kepergian Aryan dan Sonya beberapa menit yang lalu, Wildan memilih untuk melanjutkan niatnya semula, yakni mencari tahu kebenaran.Sebenarnya, saat Aryan hendak pergi tadi, Malik berniat untuk mengejar namun langkah lelaki itu tertahan saat dia melihat cairan bening yang perlahan menetes dari kelopak mata Isna.Di hadapan Wildan, Malik dengan leluasa menyeka air mata itu."Tadi, aku sempat mampir ke rumah kamu Isna," ucap Wildan memecah kesenyapan yang ada. Lelaki itu mencoba duduk serileks mungkin meski tak ada satu pun posisi duduk yang membuatnya merasa nyaman.Menyaksikan kedekatan Isna dengan Malik saat ini, Wildan ingin marah, meski tak diluapkannya juga.Kepala Isna yang sejak tadi menunduk akhirnya mendongak, membalas takut-takut tatapan Wildan."Aku udah tau semuanya,
"Nggak perlu Wil! Apapun yang kamu lakukan sekarang aku udah nggak perduli. Karena sekarang aku adalah istri Mas Malik. Hubungan kita udah berakhir Wil..."Lagi...Kalimat itu yang kembali terngiang dalam telinga Wildan.Mengaduk-ngaduk hati dan pikirannya.Memporak-porandakan harapannya.Menghancurkan impiannya.Kedatangannya ke Jakarta yang seharusnya menjadi indah kini hanya ada dalam angan-angan.Kenyataan tak sesuai bayangan.Isna bilang, alasan utama pada akhirnya dia lebih memilih Malik karena Wildan berselingkuh. Tanpa pernah Isna memberi Wildan kesempatan untuk membuktikan kebenaran.Semua Isna putuskan sendirian.Dan bagi Wildan, ini tidak adil.Bukankah dalam menjalani hubungan sebaiknya semua masalah diselesaikan berdua?Tidak seperti ini!Tidak seharusnya kini hanya dirinya yang menanggung kesakitan ini, sendirian!Kenapa Isna begitu tega padanya?Kenapa Isna bisa dengan mudah membuangnya, melupakannya, mengkhianatinya!Sungguh, Wildan benar-benar tak sanggup menahan beba
"Bagaimana? Apa sudah ada kabar?" Tanya Isna saat Malik memasuki mobil.Mereka baru saja mampir di kantor polisi untuk mendapat kejelasan lebih lanjut mengenai kasus hilangnya Aryan.Sejak malam di mana Malik dan Isna berkata jujur tentang hubungan mereka lalu Aryan pergi bersama Sonya, pemuda itu menghilang tanpa kabar.Setelah dia meminta Sonya untuk kembali ke Jogya lebih dulu dan hanya mengantar Sonya sampai stasiun, Sonya yang sempat ditemui Malik di Jogya pun tak tahu menahu kabar Aryan setelahnya."Saya dan Aryan pisah di Stasiun. Aryan belikan saya tiket ke Jogya dan dia cuma bilang kalau dia akan kembali ke Jogya besok. Itu aja Om, selebihnya saya nggak tahu Aryan kemana. Bahkan saat besoknya saya coba hubungi dia sesampainya saya di Jogya, nomor ponselnya udah nggak aktif,"Itulah keterangan yang berhasil didapat oleh Malik dari Sonya.Seluruh keluarga besar Malik sudah diberitahu soal ini dan Malik pun sudah menyebar foto-foto Aryan di berbagai tempat namun satu bulan berla
Wildan sampai di kostannya ketika hari sudah gelap.Tiket kepulangannya ke Jakarta sudah di tangan.Setelah mengemas barang-barangnya dan berpamitan pada pemilik kost dan beberapa penghuni Kost yang dikenalnya, Wildan akan langsung berangkat ke Bandara untuk kembali ke Ibukota malam ini juga."Oy Wil? Apa kabar? Lama nggak keliatan?" Sapa Mas Bari pemilik kost lain."Oy Mas, Alhamdulillah baik. Iya nih Mas, sibuk," jawab Wildan dengan kekehan khasnya. Penghuni kostan memang tak ada yang tahu tentang musibah yang baru saja menimpanya di Jakarta terkecuali Aryan, tentunya.Mas Bari hanya manggut-manggut dan menunjukkan ibu jarinya sebagai isyarat agar Wildan bisa kembali melanjutkan aktifitasnya.Sesampainya di kamar kost miliknya Wildan langsung mengeluarkan pakaiannya di lemari dan memasukkannya ke dalam koper yang sudah dia siapkan.Barang-barang Wildan memang tak banyak karena dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar daripada di kostan selama berkuliah di Jogya.Selain pakaia
"Kamukan sebentar lagi lulus Wil, kenapa pake pindah kuliah segala?" Tanya Tante Sinta, sang pemilik kost."Perusahaan Papah di Jakarta nggak ada yang urus, Tante," jawab Wildan apa adanya tanpa berniat memberitahu apa yang telah terjadi padanya satu bulan yang lalu."Wah, enak dong jadi Bos muda, bisa lah ajak-ajak Dodi kerja sama kamu di Jakarta," sahut wanita berusia 52 tahun itu.Wildan tertawa renyah. "Gampang itu Tante. Nanti kalau Dodi lulus kuliah dan mau melamar kerja, Tante hubungi saya aja di Jakarta,""Uluh, makasih ya Wildan, makin sayang deh sama kamu," Senyum lebar Tante Sinta mengembang. Janda beranak satu itu mencubit gemas pipi Wildan yang hanya bisa meringis. Tante Sinta itu memang terkenal genit pada anak-anak kost pria yang memiliki wajah tampan seperti Wildan."Oh ya Wil, itu si Aryan kemana sih? Dia belum bayar uang kost loh bulan ini. Dihubungin juga nggak bisa," tanya Tante Sinta kemudian."Ng, saya juga kurang tau sih Tante. Sebulan ini saya sibuk urus perusa
Seorang bocah kecil berusia lima tahun menangis saat dirinya lagi dan lagi menjadi sasaran bullying oleh anak-anak yang memiliki usia beberapa tahun lebih tua darinya.Mainan yang baru saja dibelikan oleh sang Papah untuknya telah dirusak oleh sekelompok bocah nakal itu."Hahaha, emang enak! Dasar idiot!" Maki salah satu anak yang terlihat menghantam sebuah mobil-mobilan remot dengan batu besar."Cengeng! Digituin aja nangis! Hahaha..." Sambung anak lain yang dengan kasar menoyor kepala sang bocah lelaki berusia lima tahun itu."Ayo sana ngadu sama bokap lo! Berani nggak?" Suara anak lain mengikuti."Anak baru aja belagu!"Bocah lelaki berusia lima tahun itu sukses menjadi bulan-bulanan kelima anak-anak nakal itu hingga kemudian seorang bocah perempuan datang dengan mengayuh sepeda dan menerobos kumpulan bocah nakal yang sedang membully anak lain.Kedatangan bocah perempuan itu jelas mengejutkan kelima bocah nakal tadi.Terlebih saat si bocah perempuan itu menghampiri mereka dan denga
"Tega kamu Aryan! Apa salahku? Apa salah Wildan sampai kamu tega menjebaknya?" Jerit Isna dengan luapan amarah dan kepedihannya.Aryan tertawa keras sebelum lelaki itu kembali bicara."Kesalahan Wildan sudah jelas Isna, karena dia sudah mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku! Yaitu kamu!"Kepala Isna menggeleng cepat. "Nggak! Sampai kapan pun, kamu nggak akan pernah bisa memiliki aku selain dalam khayalanmu, Aryan!""DIAM!" Aryan menghentak kursi yang dia duduki hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Tatapannya bengis ke arah Isna.Dengan napas yang naik turun, Aryan seolah berusaha menetralkan kembali emosinya. Dia kembali duduk dalam posisi tenang."Oke, cukup kita membahas masalah Wildan. Sekarang kita kembali ke permainan. Jawab pertanyaanku tadi," lanjutnya dengan suara yang melembut.Isna masih menangis. Penyesalannya karena sudah bersikap tak adil pada Wildan membuat dia tak mampu berkata- kata."Isna! Kamu mendengarkukan? Kenapa diam? Apa aku perlu mengulang pertany